Malam itu terdengar suara terbahak-bahak dari balai desa. Waktu menunjukkan pukul satu malam dan Mohamad Zahid sedang bertutur cerita dihadapan puluhan warga yang datang menyaksikannya bersahibul hikayat semalam suntuk. Tuan rumah telah menyediakan pisang goreng, singkong rebus, dan teh hangat untuk dinikmati oleh tukang cerita beserta dengan tamu-tamunya.

Pertunjukan seperti ini tidak asing bagi masyarakat Betawi. Setiap ada acara, mereka dapat memilih beberapa kesenian tradisional Betawi untuk ditampilkan, seperti gambang kromong, gambang rancag, lenong, dan sahibul hikayat. Mereka hanya perlu memilih kesenian mana yang menurut penyelenggara dapat menghibur tamu-tamu sekaligus menjadi pelipur lara.

Ruchiat dalam bukunya yang berjudul "Ikhtisar Kesenian Betawi", menjelaskan bahwa sahibul hikayat memiliki arti ‘yang empunya cerita’. Penutur sahibul hikayat disebut dengan tukang cerita dan mereka pada umumnya membawakan kisah-kisah Seribu Satu Malam, tetapi tukang cerita juga dapat menciptakan ceritanya sendiri. Selain itu, cerita juga dapat berasal dari kisah dan legenda dari masyarakat Betawi. Tukang cerita akan memulai kisahnya dengan frasa “menurut sahibul hikayat” atau “sahibul hikayat” yang menandakan bahwa kisah akan segera dimulai.

Sebagai salah satu bentuk sastra lisan asal Betawi, cerita-cerita yang dituturkan oleh tukang cerita disampaikan secara lisan, tanpa mengacu pada naskah yang dapat dijadikan referensi. Selain itu, penyebaran dan penyampaian ceritanya dilakukan melalui seorang penutur dan berlanjut ke penutur lainnya, inilah peran seorang penutur sahibul hikayat.

Menurut Yahya Andi Saputra, seorang peneliti dan pemuka kebudayaan Betawi, pada akhir abad ke-19, setelah seorang sastrawan yang bernama Muhammad Bakir menuliskan puluhan manuskrip hikayat yang berasal dari cerita-cerita masyarakat dan legenda Betawi, ia kemudian menyewakan hasil-hasil tulisan tersebut kepada masyarakat. Orang-orang yang membaca kisah-kisah hikayat tersebut menceritakannya kembali ke masyarakat luas. Menurut Yahya Andi Saputra, inilah awal mula sahibul hikayat muncul dalam kesadaran kolektif masyarakat Betawi.

Pakem-pakem Pertunjukan

Meskipun tidak ditetapkan secara sengaja, sebuah pertunjukan sahibul hikayat pada umumnya memiliki struktur yang formulaik. Meliputi mukadimah, sembe tuan tamu, angkat hikayat, beber pituah, turun ngaso, gancang hikayat, dan penutupan.

Mukadimah berisikan selawat dan doa kepada yang Maha Kuasa. Di sini, tukang cerita akan memulai acara dengan selawat serta salam agar diberikan keberkatan dan kemampuan untuk menceritakan kisahnya dengan baik, mendoakan agar pengunjung diberikan keberkahan, serta memahami pesan yang akan disampaikan oleh tukang cerita. Sembe tuan tamu adalah sambutan dan ucapan terima kasih yang dilakukan oleh tukang cerita kepada tuan tamu yang sudah mengundang tukang cerita untuk bersahibul hikayat. Pada bagian ini, pencerita juga memohon maklum atau meminta maaf kepada penonton apabila ada salah kata atau kesalahan.

Selanjutnya adalah angkat hikayat. Pada bagian ini, tukang cerita menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai kisah seperti apa yang akan diceritakannya, siapa saja tokoh yang akan diceritakan, dan bagaimana latar tempat dan waktu dalam kisah ini. Kemudian, angkat hikayat diikuti dengan beber pituah. Pada bagian ini, tukang cerita akan menyampaikan pesan-pesan moral dan edukatif yang terkandung dalam kisah yang ia sedang ceritakan kepada penonton. Tukang cerita menyampaikan pesan-pesan ini.

Lantaran pada penampilan sesungguhnya sahibul hikayat diceritakan semalam suntuk, terdapat bagian yang bernama turun ngaso. Pada bagian ini, tukang cerita menghentikan kisahnya untuk sementara waktu dan mengajak penonton untuk beristirahat. Tukang cerita biasanya akan memberi tahu penonton bahwa santapan yang disediakan oleh tuan tamu atau orang yang mengundang tukang cerita sudah siap untuk dinikmati.

Terakhir adalah bagian gancang hikayat. Pada bagian ini, tukang cerita melanjutkan kisahnya dengan cara yang lebih bergairah dan lebih semangat. Alur cerita juga sudah berada pada titik klimaks konflik cerita. Kemudian, gancang hikayat diikuti dengan penutup. Tukang cerita menutup kisahnya dengan kembali menyampaikan pesan moral dan pamit untuk mengundurkan diri.

Kisah-kisah Sahibul Hikayat

Tukang cerita akan memulai pertunjukan dengan frasa “menurut sahibul hikayat” atau “sahibul hikayat” yang disampaikan berasal dari yang “empunya cerita”. Pemilik cerita yang mereka sampaikan, entah siapa tidak ada yang tahu. Hal ini digunakan untuk menghilangkan tanggung jawab tukang cerita terhadap cerita yang akan ia sampaikan. Meskipun demikian, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, cerita dapat berasal dari Seribu Satu Malam, ciptaan mereka sendiri, dan juga dapat berasal dari kisah dan legenda dari masyarakat Betawi, antara lain Nurul Laila, Nyai Dasima, Raja Namrut, Hayatun Nufus Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Gambus 12, dan Ahmad Merebut Masjid.

Penyampaian kisah juga tidak sekedar bercerita, tetapi menggunakan ekspresi dan intonasi yang sesuai dengan cerita. Tukang cerita akan mencoba untuk menirukan suara dan gaya berbicara tokoh dalam cerita sesuai dengan karakter dan latar belakang mereka. Tukang cerita akan mendeskripsikan berbagai aspek dalam cerita secara mendetail seperti bagaimana seorang Bapak memiliki jenggot yang tebal dan kriting, alisnya tipis karena luka bakar ketika sedang memasak sate dan rambutnya yang jabrik karena pernah terseterum tiang listrik ketika sedang lomba panjat pinang. Tukang cerita akan mendeskripsikannya serinci dan sedetail mungkin sehingga penonton dapat membayangkannya dengan jelas di dalam kepala mereka. Selayaknya mata yang sedang menyaksikan televisi.

Salah seorang maestro ternama yang dikenal secara luas adalah Mohamad Zahid. Karena namanya sangat lekat dengan sahibul hikayat, penikmat tradisi lisan sering kali menyebut mendengarkan atau menyaksikan sahibul hikayat sebagai “nge-jaid” seperti dalam konteks mengajak “yuk kita nge-jaid malam ini”. Ketenaran ini juga dilanjutkan oleh anaknya, Ahmad Sofyan Zahid.

Sayangnya, sahibul hikayat sudah mulai menghilang dari kesadaran kolektif masyarakat Indonesia. Kemunculan televisi, radio, komputer, internet, media hiburan dan edukatif lainnya mengikis minat masyarakat terhadap sahibul hikayat dan tradisi lisan serupa lainnya. Akan tetapi, sahibul hikayat memiliki potensi untuk tetap bertahan menggunakan media-media yang sebelumnya telah menggesernya, yaitu internet, televisi, dan radio.

Saat ini, kita dengan mudah dapat menemukan rekaman-rekaman penampilan sahibul hikayat di internet, bahkan rekaman-rekaman lama yang telah diunggah ke internet. Selain itu, terdapat satu stasiun radio hingga saat ini memiliki segmen khusus menyiarkan sahibul hikayat, yaitu Bens Radio.

Setiap hari Kamis, pukul delapan malam, stasiun radio yang memiliki slogan “Betawi punye gaye, selera siape aje” ini menyiarkan segmen khusus sahibul hikayat yang dibawakan oleh Hj. Fandi Baskara. Acara ini telah berjalan sejak tahun 1993 oleh Ahmad Softan Zahid. Bens Radio masih terus menyiarkan sahibul hikayat karena tujuan pendiri stasiun radio ini, Benyamin Sueb, bercita-cita membuat sebuah stasiun radio yang memiliki identitas Betawi yang kental. Dari cara penyiar-penyiarnya berbicara, pilihan musik yang disiarkan, hingga acara-acara yang diadakan.

Penyunting: Nadya Gadzali