Etnis.id - Kain tenun khas Bali merupakan salah satu bagian dari kekayaan wastra nusantara yang dimiliki Indonesia. Kain tenun ini masih aktif diproduksi dengan cara dan alat yang tradisional.

Indonesia memiliki banyak ragam wastra nusantara. Tidak hanya batik, kain tenun juga populer di kalangan masyarakat luas. Di Bali, ada kain tenun ikat yang dalam Bahasa Bali disebut kain endek.

Kain endek sendiri saat ini masih diproduksi dengan alat tenun tradisional atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang ukurannya cukup besar. Masih ada pula penenun yang menggunakan alat tenun bernama cag-cag yang digunakan dengan cara duduk di tanah atau lantai.

Kain endek mulai dikenal sejak abad ke 18 Masehi. Kemunculannya dimulai pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Kerajaan Gelgel, Klungkung. Kehadiran kain endek juga menjadi salah satu bukti warisan peninggalan Kerajaan Gelgel berupa kain tradisional khas Bali.

Sekitar tahun 1975, kain endek terus berkembang terutama di wilayah Klungkung. Satu dekade kemudian, ia mulai diperhatikan pemerintah Indonesia untuk diproduksi dan dilestarikan.

Pada masa awal kemunculannya, penggunaan kain endek terbatas hanya digunakan oleh para bangsawan atau para tetua adat. Selain itu, dulunya kain endek hanya digunakan pada upacara-upacara khusus seperti saat upacara adat perkawinan, potong gigi, upacara ngaben dan upacara adat serta keagamaan lainnya.

Hingga kini, pembuatan kain endek mulai tersebar luas, tidak hanya di daerah Klungkung saja. Masyarakat Bali berusaha menjaga kelestariannya dengan mempertahankan proses pembuatan yang tradisional.

Saat ini, kain endek sudah dapat dikenakan oleh masyarakat tidak terbatas pada kaum bangsawan saja. Pun dalam perkembangannya, kain endek juga mulai dijadikan seragam di kantor pemerintahan, kantor swasta, hingga sekolah.

Ragam kreasi produk menggunakan kain endek juga mulai dikembangkan, sehingga saat ini terdapat tas dalam pelbagai model yang menggunakan endek sebagai material utamanya. Hal ini dilakukan agar kain endek tetap lestari dan dapat digunakan oleh siapa saja.

Kain Endek khas Bali ini memiliki ciri dari warnanya yang klasik. Dari padupadan warna, terlahir harmonisasi warna yang meriah dan indah. Meski begitu, cerita ihwal endek tak melulu gemintang. Ia pernah melewati masa-masa sulit.

Hal itu terjadi saat bahan baku sulit didapatkan dan memengaruhi proses produksi kain endek. Tingginya persaingan juga membuat bahan baku menjadi mahal. Selain masalah pada bahan baku, kain endek yang sudah jadi, biasanya dihargai tinggi karena mengingat proses pembuatannya yang tidak mudah. Hal itu memicu munculnya kain endek tiruan yang dapat dibeli dengan harga yang sangat murah.

Munculnya kendala tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat Bali untuk menjaga kelestarian kain tenun ini. Mereka terus berupaya meneruskan keterampilan menenun pada generasi penerus dan menggandeng pemerintah setempat untuk dapat menjaga eksistensi kain endek.

Upaya pelestarian ini sampai dilakukan dengan mengadakan ajang pemilihan duta endek setiap tahunnya, agar generasi muda memiliki wawasan tentang kain endek dan nantinya dapat berperan dalam promosi kain endek dalam tingkat nasional sampai internasional.

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang digunakan untuk proses menenun/Etnis/Maya Arina

Proses Pembuatan

Butuh ketelitian dan kesabaran tingkat tinggi saat membuat endek, karena prosesnya yang sangatlah rumit dari awal hingga akhir. Pembuatan kain tenun khas Bali memerlukan waktu paling sebentar tujuh hari.

Proses pembuatannya harus teliti terutama saat mewarnai dan penenunan. Sebab rumitnya, kain endek dapat diperoleh mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Proses pembuatan kain endek dimulai dari pemintalan helai-helai benang menjadi kain pada papan pintal. Benang-benang dipintal sejajar satu arah, baik secara vertikal atau horizontal saja, sehingga terlihat barisan garis yang rapi.

Setelah benang kain dasar terbentuk, kemudian proses penggambaran motif dimulai, penggambaran motif ini dilakukan dengan mengikat benang-benang kain dasar menggunakan tali. Nantinya, barulah proses pewarnaan dilakukan sesuai dengan pola ikat yang telah dibuat sebelumnya.

Pewarnaan ini dapat menggunakan bahan-bahan alami atau bahan sintetis. Cara pewarnaannya yaitu dengan merebus kain beserta cairan warna, kemudian menjemur kain yang telah diwarnai. Pascaproses ini, barulah kain ditenun.

Saat proses menenun, warna-warni gulungan benang disilangkan dan dianyam pada alat tenun. Penenunan dilakukan agar dapat mengisi benang pada pola warna yang telah terbentuk. Saat dilihat, proses menenun ini terlihat sangat mudah, namun saat dicoba sangat rumit dan membutuhkan ketelitian tingkat tinggi.

Soal siapa yang menenun kain endek, mereka didominasi oleh kaum perempuan hebat, mulai dari remaja hingga lansia. Lebih dari itu, kain endek juga melambangkan sebuah ikatan persaudaraan karena proses pembuatan yang diikat-ikat dan juga melewati proses yang panjang.

Sekarang, pusat produksi kain endek yang terbesar berada di wilayah Klungkung. Tetapi saat ini sudah banyak pengrajin yang membuka workshop berskala besar maupun kecil di wilayah Karangasem, Denpasar dan Gianyar.

Pengerajin yang sedang menenun kain tenun ikat/Etnis/Maya Arina

Ragam Motif

Kain endek memiliki ragam motif yang cukup banyak. Meski sudah bisa dikenakan secara bebas, namun tetap ada motif-motif hanya bisa digunakan oleh sosok-sosok tertentu saja.

Ada juga ragam motif yang dikenakan saat upacara adat di pura, seperti motif encak saji. Motif encak saji memiliki detail pola yang menggambarkan ornamen-ornamen pada pura hingga alat persembahan.

Selain itu, ada motif endek patra yang hanya dikenakan saat ada upacara adat di pura. Kain endek dengan motif patra merupakan kain yang sakral, tidak boleh sembarangan dikenakan. Dulunya kain endek patra juga hanya bisa dipakai oleh para penguasa.

Ragam motif yang tergambar pada kain endek juga dapat merepresentasikan wilayah penenunnya. Misalnya, kain endek wajik ukir yang berasal dari Klungkung. Motif wajik ukir juga sering disebut motif endek Klungkung.

Selain itu, terdapat kain endek rang-rang yang ditenun oleh masyarakat di Nusa Penida. Motif rang-rang memiliki kombinasi warna yang cerah seperti merah, kuning, oranye, ungu, hijau, biru dan terkadang dikombinasikan dengan warna hitam. Bagi orang awam, motif rang-rang terlihat seperti motif zig-zag.

Orang Bali meyakini, bahwa beberapa kain memiliki fungsi dan kekuatan tersendiri. Hal ini juga dapat dilihat dari penggunaan kain pada objek-objek tertentu maupun penggunaan kain pada upacara-upacara adat.

Selain motif-motif tersebut, terdapat motif-motif yang dikenal sebagai motif asli kain endek, seperti motif endek gringsing dan endek bebali. Motif-motif ini dipercaya memiliki fungsi sebagai penangkal energi negatif atau penolak bala.

Kain endek dengan motif gringsing juga dipercaya dapat menangkal wabah penyakit bagi yang menggunakannya. Cara penggunaannya dapat dililitkan ke tubuh dan dijadikan kemben atau juga dengan menyimpan potongan kain dengan motif yang diperlukan. Motif-motif endek juga ada yang berbentuk bunga, tokoh-tokoh pewayangan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan nilai keagamaan.

Editor: Almaliki