Setiap kali mendengar Kota Surabaya atau kota besar lainya, sebagai numerik hidup yang mapan, akan sangat mudah didefinisikan oleh siapa saja. Alasannya sederhana, narasi kota telah masyhur di berbagai ruang, mulai dari obrolan di warung kopi, cuitan di media sosial, berita di media massa, hingga berbagai opini di media digital bersama aset dan berita naik turunnya saham.
Asumsi kisah tentang kota yang megah menjanjikan hidup kecukupan, akan begitu mudah diamini, akan tetapi kota-kota besar bisa juga bersifat oksimoron, karena ia tidak hanya menjanjikan impian paling gemilang, barangkali juga hidup berkalang kesulitan.
Sebagai arena pertaruhan, tentu kota-kota besar menyimpan kisah kelam tersendiri. Boleh jadi separuh jumlah penduduk yang menghuni kota-kota itu, adalah mereka dari berbagai penjuru Indonesia. Mereka yang melempar dadu untuk masa depan, mengadu nasib kota-kota besar.
Kisah ini mungkin tidak akan pernah benar-benar mewakili kisah paradoks seorang perantau yang sebenarnya, namun menggambarkan bagaimana rasanya pergi dari tempat asal dan singgah ke luar kota. Absurditas kenyataan yang tak pernah bisa ditebak dari pengalaman yang kini bisa saya kenang.
5 tahun lalu menjalani hidup sebagai seorang perantau memberi pengalaman yang berharga bagi saya. Seusai menjadi buruh di salah satu kota besar yang super sibuk, ritme hidup yang berbalik dan terasa kontras saya rasakan ketika kembali ke kampung halaman di pinggiran kota Madiun.
Tak melulu soal pasangan dan rindu semata, engenang kota Madiun memicu kontemplasi tersendiri tentang apapun yang pernah dilalui di kota itu. Menghadirkan imaji kerlipan lampu kota dari kejauhan sekaligus nuansa nostalgis jalanan kosong dari bangku kota pada dini hari. Beragam ingatan lain bisa berupa warung pecel langganan yang setiap berangkat ke sekolah dasar selalu dikunjungi bersama Emak, penjual nasi goreng favorit sehabis kelayapan malam di Biliton bersama seorang kawan yang kini sudah tiada, atau stasiun kereta tempat mengantarkan kawan saya untuk terakhir kalinya.
Hari ini mengenang suatu tempat selalu membawa repertoar tentang pasangan, harapan, rindu, dan kemurungan. Tetapi setidaknya, tulisan ini mengisi ruang kosong tentang gagasan sosial, kultur, dan budaya masyarakat di salah satu desa dari Kabupaten Madiun, yaitu Sukosari, puak yang melahirkan saya. Kisah yang menjadi dokumentasi ringan dan menawarkan wacana-wacana tentang aspek yang kerap luput dari catatan, sekaligus romansa dari kumpulan bunga rampai yang lebih dari sekedar ‘klangenan’ belaka, yaitu sebuah upaya ala kadarnya untuk mengabadikan kembali tentang kampung halaman dan semua kearifan lokal di dalamnya.
Banyak hal pada kebudayaan yang tidak terbatas pada identitas sosial, kegiatan masyarakat, dan idiom guyub rukun semata, tetapi juga merambah ke persoalan yang mungkin dapat disangkutpautkan dengan makanan dan pekerjaan. Secara tidak langsung, menggambarkan wilayah saya tinggal. Atmosfernya, kehidupan sosial, kultur, dan geliat kehidupan masyarakat di dalamnya. Merentangkan jembatan agar khalayak dapat memahami geliat hidup masyarakat di wilayah saya tinggal, baik di antara saya dan seorang karib, maupun cerita hidup orang-orang desa yang tak pernah sempat ditulis.
Mesra dan Selaras
Mesra yang saya maksud disini mendefinisikan kompleksitas hubungan dalam masyarakat, rewang, gugur gunung dan cangkrukan. Sebagai masyarakat yang memiliki ikatan komunal yang kuat, idiom tersebut menjadi hubungan sosial yang menggambaran kerukunan. Hubungan ini terjalin kuat dalam benak masyarakat, membuat kita mafhum bahwa kultur dan adat istiadat membuat manusia di dalamnya manunggaling roso (menyatu dengan rasa).
Dalam Bahasa Jawa, manusia dikenal dengan istilah manungso yang berarti manunggaling roso atau tempat bersatunya segala rasa. Sebab, memahami kehidupan sebenarnya adalah tentang memahami diri kita sendiri. Dengan memahami diri sendiri dan secara perlahan belajar untuk menjadi seorang manusia yang mampu menanggapi sisi-sisi kehidupan, beserta alam dan segala isinya. Istilah ini kemudian mengisyaratkan diri sebagai adimanusia.
Saya tidak memiliki andil dalam menciptakan hal-hal itu, tetapi hanya menjadi lebih dekat dengan maknanya, dan melihat betapa bijaksananya itu, membuat segalanya lebih rukun (selaras) dan membuat setiap hubungan jauh lebih guyub. Kebersamaan yang dibingkai kegiatan rewang atau tradisi khas dalam membantu tetangga yang menggelar hajatan, khitanan, selamatan, dan lain sebagainya.
Lingkungan desa Sukosari begitu lengang. Nyaris tidak ada hiruk-pikuk yang begitu berarti selain obrolan-obrolan antarwarga di depan lelap rumah, gerdu atau gazebo yang terdapat tiap RW dan warung kopi. Pemukiman warga umumnya padat berjarak, daerah datar yang menyisir sepanjang bagian tepi sisi jalan membentang hamparan hijau sawah. Sedangkan daerah barat pemukiman menawarkan pemandangan gunung Lawu yang cukup menyejukkan mata.
Agaknya benar disebutkan bila hubungan selaras manusia dengan alam Sukosari begitu jamak. Kadang manusia menjadi tokoh antagonis dalam hubungan itu. Di lain waktu, mereka bisa teringat akan tradisi dan pesan-pesan leluhur yang mengajarkan untuk berpihak pada alam dan kelestariannya. Yang di akumulasikan pada istilah gugur gunung atau kerja bakti membersihkan sampah, menanam pohon dan bersih desa.
Sementara di lain waktu saya cangkrukan atau duduk dengan kawan dan bercanda tanpa ampun di bawah gerdu dan gubuk kayu. Cerita bergulir dengan lelucon khas masyarakat desa yang gemar menertawakan kawan yang gagap teknologi.
Cangkruk telah lama mengidentifikasikan konstruksi sosial dalam masyarakat dalam berbagai aspek. Melalui budaya cangkruk, setiap orang secara netral telah mendakwa diri tanpa diskriminasi dan ketidakadilan sosial. Pada kegiatan cangkruk ini setiap orang berpartisipasi dalam hubungan sosial satu sama lain, sehingga menciptakan kohesi sosial yang dinamis dalam hubungan bermasyarakat.
Pada tataran yang lebih luas, salah satu tujuan hidup adalah selaras dengan alam. Alam didefinisikan sebagai keseluruhan kosmos, termasuk rekan-rekan kita sesama manusia yang terjadi pada ruang konvensional demi tercapainya kehidupan yang rukun dan guyub (mesra dan selaras).
Geliat Hidup Masyarakat
Berjalan kaki, beberapa orang naik sepeda ontel dan motor tua berlapis lumpur. Dengan topi capil tanpa alas kaki, pada pagi hari dan kembali saat menjelang siang. Berangkat dan pulang dengan riuh masyarakat yang saling sapa, dengan sebongkah ketela di jok belakang kadang juga di pundak adalah ritual keseharian masyarakat Sukosari yang mayoritas sebagai petani.
Adegan ini membawa saya pada aktivitas seorang petani yang menjalankan siasatnya, sejak berangkat, turun ke sawah, pulang ke rumah, menikmati ketela rebus-goreng dengan teh atau kopi, hingga cuap-cuap ngalor-ngidul. Fenomena itu membuat saya merasa perlu kembali melewati sekian banyak momen yang sedemikian sejuk. Mengingatkan pula pada prinsip yang selama ini luput dan tenggelam dalam kehidupan modern dengan serba-serbi kebaruan dan kekinian, hingga saya lupa menengok akar sendiri pada falsafah hidup “alon-alon waton kelakon”.
“Pelan-pelan yang terpenting berhasil dicapai”, adalah sebuah pedoman hidup orang-orang Jawa terdahulu—yang menghidupi hari-harinya dengan sederhana dan bermakna. Sepertinya kita memang butuh waktu luang sejenak. Waktu yang tanpa konseskuesi. Waktu yang tidak diukur dengan standar atau yang dijejali oleh kepentingan industri ekonomi.
Adegan ini saya dapati saat melihat para petani yang menikmati rokoknya dalam jeda kegiatannya di pematang sawah atau di gubuk bambunya. Di antara waktu istirahatnya, ia mengamati pekerjaannya sendiri seraya berkata, “sek leren, di sawang karo rokok,an” (istirahat dulu sebentar, di amati sambil rokok,an.
Sebatang rokok yang dihisap oleh pak tani adalah waktu yang merdeka. Mereka sedang merayakan jeda di antara waktu kerja, mengatur hisapan dan hembusan nafasnya sendiri. Betapa merdekanya mereka. Terma alon-alon waton kelakon ini nampaknya juga mengandung kearifan lokal dan patut dimaknai lebih dalam lagi.
Ajakan untuk hidup lebih sadar dan tidak menyia-nyiakan sumber daya yang ada telah mendasari kehidupan masyarakat di Desa Sukosari. Mereka memperlakukan waktu dan segala sumber daya alam di sekitarnya secara efisien demi kehidupan yang lebih bermakna.
Seperti halnya kita kerap meromantisasi, menunjukkan sisi glamor berbagai eksistensi diri, terutama di media sosial hanya agar terlihat keren. Tapi pekerjaan itu sering kali membosankan, jauh berbeda dengan yang kita citrakan. Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan atas pekerjaan ini adalah fenomena yang dinamai sebagai “glossy work” atau pekerjaan polesan (berkilau) yang sesungguhnya terasa membosankan. Kecenderungan untuk menutupi fakta bahwa sebenarnya masih banyak isu-isu sosial yang luput kita amati di luar kefanaan media sosial. Kita mengabaikan kisah kemanusiaan demi memperoleh banyak atensi dan pengakuan dari hal-hal yang semu itu.
Penyunting: Nadya Gadzali