Kepulauan Sangihe adalah beranda terdepan Nusantara, terhampar bagai taburan permata yang memanjang di Pasifik. Rangkaian pulau-pulau ini merupakan jembatan alami yang menghubungkan gugusan kepulauan Timur jauh, Taiwan, Filipina hingga Nusantara.

Konon, gugusan ini adalah tempat berlalunya migrasi Austronesia yang menjadi moyang masyarakat Indo-Pasifik. Sejarah yang tersimpan erat dalam cerita rakyat mendongengkan sosok Gumansalangi, seorang pangeran dari Kesultanan Mindanao, cendekia perdana yang mendirikan peradaban. Ia adalah pendiri kerajaan Tampungan Lawo, peletak gemerlap budaya termasuk musik sebagai aksesorisnya. Sejak abad ke-13, kepulauan ini adalah simpul dari jalur perdagangan rempah antara kekaisaran China dan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Ekspedisi Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1413 hingga 1415 mencatatkan nama Kepulauan Sangihe sebagai titik simpul penting. Pada tahun 1528, Giacomo Gastaldi seorang kartografer asal Italia mencantumkan kepulauan ini dalam peta dunianya. Alhasil, lalu lalang para pelaut se-antero dunia menghampiri. Para pedagang timur tengah telah menjamahnya, jejak peninggalan peradaban Islam di semenanjung kepulauan Filipina hingga Maluku menjadi bukti.

Pelaut Portugis dan Spanyol datang silih berganti, hingga akhirnya pada abad ke-18 perairan kepulauan ini dikuasai oleh VOC yang menerapkan monopoli perdagangan dan pengolahan hasil bumi. Putaran waktu terus bergulir, Kepulauan Sangihe bersalin rupa, beranda terdepan menjadi halaman belakang. Jauh dari hingar bingar gemerlap ibu kota, hampir luput dan terlupakan.

Namun, musik menyimpan cerita. Melaluinya kita temukan kelindan kisah dan tafsir sejarah peradaban masa lalu. Ini adalah kisah yang tersimpan dari Tagonggong dan Sasambo, bunyi samar dari utara. Instrumen dan lagunya pagi itu di pelataran halaman Gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, seorang lelaki paruh baya menabuh sebuah genderang kayu dan merapal syair dengan lengkingan suara tinggi. Suara yang menyayat diikuti dentuman genderang bernada berat menghentikan seluruh hiruk pikuk dengan segera.

Tak lama berjinjit dengan gemulai para penari cantik mengibaskan lengan berbalutkan selendang berwarna putih, bergerak mengikuti irama dentuman genderang, menyambut sosok kharismatik Bupati Kepulauan Sangihe dan rombongan yang baru saja tiba diperhelatan acara.

Pagi itu tak terdengar kicauan burung atau ramainya lalu lalang kendaraan bermotor, semua terhanyut dalam prosesi Mendangeng Sake, upacara penyambutan tamu agung yang ditandai dengan nyaringnya tabuhan tagonggong dan lantuan sasambo lelaki paruh baya.

Tagonggong ialah alat musik perkusi terbuat dari kayu (umumnya kayu nangka, kayu hitam, dan kayu besi) dengan membraphone berbahan kulit kambing. Sekilas Tagonggong  mirip dengan djimbe (djembe), perkusi dari Afrika, dabakan perkusi dari Filipina ataupun darbuka atau dombak, perkusi dari Timur Tengah.

Tagonggong dapat dimainkan secara solo ataupun berkelompok, ditabuh dengan cara diletakkan secara horizontal, biasanya di paha para pemain, lalu dibunyikan dengan tepakan tangan atau lidi. Sepintas, teknik membunyikan tagonggong mirip dengan para pemusik menabuh darbuka atau rebana.

Bagi masyarakat Sangihe, tagonggong merupakan instrumen utama yang hadir dalam setiap perhelatan. Ia adalah jantung dari tabuhan ritual upacara, penanda bergantinya musim hingga pengiring lagu pelipur lara. Dentuman tagonggong akan mengiringi sasambo, sastra tua yang melantunkan mantra-mantra.

Syair sambo adalah puisi tua yang memiliki daya magis, musik dan kata yang memiliki daya karena terlantun sebagai ungkapan semesta. Ditemani sagu bakar dan secangkir kopi robusta dari Desa Tamako, saya menghabiskan sore hari berbincang bersama Jupiter Makasangkil, budayawan Sangihe, tentang makna sasambo dan tagongong. Menurut penuturannya, kata sasambo berasal dari bahasa Sangihe yang dibentuk dari dua suku kata, yakni sasasa yang berarti pengajaran (petuah, penyucian) dan sambo berarti syair (kalimat petuah yang magi).

Bagi masyarakat Sangihe, sasambo merupakan sastra tua yang tak sembarang boleh diucapkan. Magisme sasambo berasal dari musikalitas bahasa yang dipengaruhi unsur bunyi, sedangkan tagonggong adalah media spirit yang bertemu dengan pesan dalam syair, sebuah penyatuan kosmik manusia dengan kekuatan alam yang bersifat Ilahiah.

Syair dan lagu sasambo terdiri dari beberapa jenis, di antaranya a) lagung bawine: berisi petuah berumah tangga atau syair cinta, b) lagung kakumbaede atau sasahola: berisi syair makrifat pengantar tidur, c) lagung duluhuang: berisi syair kearifan pesisir, d) lagung balang: berisi kearifan lautan, e) lagung sasonda: berisi syair perang, dan f) lagung kafire: berisi mantra mencelakakan.

Dalam bukunya Sejarah Nusa Utara dari prasejarah hingga zaman kerajaan, Iverdixon Tinungki menuliskan bahwa magisme sasambo dan tagonggong berada pada musikalitas bahasa yang dipengaruhi unsur bunyi (lagung). Tagonggong berfungsi sebagai instrumen pengatur tempo dan memberikan nuansa pada lagu, sedangkan sasambo adalah lagunya.

Nada yang dipergunakan umumnya nada minor atau modus aeolis. Secara penyajian, tagonggong memiliki tata cara dan urutan repertoire yang membangun nuansa lagu sesuai dengan maksud yang dituju. Urutan lagung yang dibawakan umumnya beranjak dari bawine, sasahola, sonda dan balang (atau lagung lainnya).

Syair pembuka haruslah berupa petuah atau pujian dan ditutup oleh syair kunci maksud dari lagu tersebut. Lagu dapat dimaksudkan untuk mohonan  kebaikan ataupun keburukan. Dalam permainan tagonggong, tempo yang dilantunkan cenderung lambat. Tagonggong ditabuh dengan gaya seragam (unison), namun seiring berjalannya lagu, dinamisasi tempo dan bunyi terjadi.

Lagung yang berkarakter sonda umumnya bertempo cepat, ritmis, dan kaya akan aksentuasi dari para pemain. Lengkingan-lengkingan sambo dilantunkan dengan liukan nada seolah mengimajinasikan kita akan pasang surutnya gelombang laut tatkala para nelayan berlayar.

Dalam permainan tagonggong secara rampak, selalu dipilih seorang pemimpin lagu yang memberikan penada dimulainya dan diakhirinya ketukan lagu. Dalam beberapa lagu, terdapat pola berbalas-balasan yang disebut dengan mebawalase. Pola berbalas-balas ini seolah menjadi penanda klimaks dari lantunan pertunjukan yang sedang disajikan. Pada pelantunan sasambo, syair adalah sabda dan musik tagonggong adalah perahunya.

Instrumen dan lagunya merupakan refleksi penyatuan manusia, alam semesta, dan Ilahi. Masyarakat Sangihe meyakini adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia yang berada di jagad semesta. Hal ini dapat menimbulkan kebahagiaan ataupun pemusnahan. Karenanya, aspek pikiran dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan daya adikodrati, tagonggong beserta sasambo adalah kuncinya.  

Menurut budayawan Sangihe, John Rahasia, dalam sasambo dan tagonggong masyarakat Sangihe menjalankan filsafat kehidupannya. Filsafat yang menekankan dalam empat unsur penting yakni 1) tembo (kepala) yang dimaknai sebagai sumber kecerdasan dan kearifan, 2) seba kauneng dan seba kuihi (suara dada kanan dan dada kiri) yang berasal napas (paru-paru) sebagai simbol dari kemanusiaan dan keyakinan, 3) tiang (suara perut) yang bermakna kesejahteraan, dan 4) manu kadio (cakra) sebagai simbol regenerasi.  

Ketika bangsa Eropa datang ke tanah Sangihe, teknik vokal sasambo pun berkembang. Pola paduan suara (choir) yang terdapat dalam musik gerejawi diserap. Teknik harmoni vokal mewarnai pelantunan lagu-lagu. Seperti halnya kesenian beluk di Jawa Barat, para pelantun syair sasambo menguasai dengan baik teknik falsetto, suara dada maupun suara perut.

Dentuman tagonggong dan lengkingan sasambo merefleksikan imaji masyarakat Sangihe akan keadaan harmoni tanah dan lautnya. Bunyi samar yang semakin pudar saat ini adalah lantunan sasambo dan dentuman tagonggong, masih terdengar nyaring di Sangihe, hanya saja syair magi ini dilantunkan oleh para penabuh yang telah berusia senja.

Hampir sulit menemukan para pemuda yang berminat melanjutkan jalan sasambo, mewarisi syair dan lagu yang penuh makna. Jalan sasambo adalah jalan yang penuh liku. Ia tak dapat menemui riuh tepuk tangan penghargaan, ketenaran, maupun kilauan lampu-lampu gedung pertunjukan.

Ia adalah jalan syahdu yang menuntun jiwa menemukan jalan semesta. Seperti putaran zaman yang terus menggelinding, manusia dan alam pun terus berevolusi. Apakah tagonggong dan sasambo hanya akan menjadi kenangan dan terlupakan? Atau, jiwanya masih dapat menjadi pelita penuntun langkah kaki kita ke jalan yang kehendaki semesta? Tagonggong dan sasambo menanti kita untuk menjawabnya.

Penyunting: Nadya Gadzali