Etnis.id - Menarik membaca salah satu ulasan Jufra Udo tentang lesung yang tayang di Etnis, pada 2 November 2019 lalu. Jufra Udo menyoroti betapa modernisasi perlahan mengikis habis peralatan pertanian yang berhasil diciptakan masyarakat Nusantara, ratusan bahkan ribuan tahun silam.

Alat yang digunakan sebagai media partisi antara gabah dengan kulit padi untuk menghasilkan beras ini, terbuat dari kayu pilihan. Kayu yang keras sehingga tahan lama meski dibenturkan dengan ‘alu’ berulang kali.

Setelah membaca ulasan tersebut, saya jadi teringat salah satu kesenian yang ada di Nusantara, utamanya jawa Tengah dan Yogyakarta, yaitu gejog lesung. Para pemainnya terdiri dari enam sampai delapan orang.

Alu sudah tergenggam di tangan. Alu tersebut lantas dihantamkan ke lesung. Dari sana, racikan ritmikal yang terdiri dari dua warna suara, suara rendah dan tinggi dimulai. Lagunya bebas. Bisa lagu apa saja. Dari lagu lama hingga kekinian. Campursari hingga dangdut semua bisa dimainkan.

Iya, kemudian suara lesung membumbung tinggi mengangkasa. Membuat suasana menjadi ramai. Namun sebelum mengenal lebih jauh tentang musik gejog lesung, ada baiknya kita menikmati salah satu legenda yang terkenal di tanah Jawa.

Salah satu legenda yang memuat lesung sebagai alat musik sekaligus alat komunikasi adalah mitologi tentang kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, sebagaimana kisah yang sering kita dengar.

Dikisahkan, Roro Jonggrang enggan dipinang oleh lekaki kuat nan hebat bernama Bandung Bondowoso. Segala syarat sudah dipenuhi. Hingga Roro Jonggrang menyebutkan syarat yang berada di luar nalar. Minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.

Proyek harus selesai sebelum matahari menampakkan diri. Bondowoso yang merasa tertantang, kemudian menyanggupinya. Dengan berbekal bantuan makhluk dimensi lain, Bondowoso berhasil menyelesaikan 999 candi. Tetapi begitu akan membuat candi keseribu, Roro Jonggrang memerintahkan para bawahannya untuk memukul lesung dengan begitu keras untuk membangunkan ayam.

Suara lesung bertalu-talu. Ayam-ayam itu lalu bangun dan berkokok. Padahal sejatinya hari masih belum pagi. Suara lesung dimanfaatkan untuk membuat Bondowoso gugup dan gagal menyelesaikan proyeknya. Setelah itu kita semua tahu, ada Candi Roro Jonggrang di kompleks Candi Prambanan.

Terlihat bagaimana lesung sudah akrab di dalam kebudayaan masyarakat Jawa di luar fungsinya sebagai teknologi pertanian.  Kita patut tengok kembali musik gejog lesung. Senyum para pemain tersungging. Lagu-lagu itu dinyanyikan dengan sangat enerjik dan riang. Menggambarkan betapa meski didera kelelahan yang luar biasa ketika menumbuk padi, tetapi semangat harus tetap dijaga.

Karena beras yang dihasilkan haruslah benar-benar berkualitas. Selain untuk konsumsi sendiri, juga bisa ditukarkan dengan bahan makanan lain seperti ikan dan daging. Maka sudah selayaknya proses menumbuk padi harus dilakoni dengan hati yang segembira mungkin. Ekspresi kesyukuran muncul di sana.

Konon selain bisa mengusir kebosanan ketika menumbuk padi, memperlakukan lesung secara musikal bisa dianggap sebagai penolak bala. Khususnya ketika gerhana bulan tiba. Saat itu, dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memainkan gejog lesung.

Gejog, kata ini merujuk kepada cara memukulkan alu ke lesung supaya menghasilkan warna dan karakter serta desibel suara yang dikehendaki. Ngegejog, memukulkan alu (yang cukup berat) ke lesung. Kalau tidak dengan kekuatan menumbuk titik yang pas di lesung, sepertinya sulit untuk mendapatkan warna suara yang diinginkan.

Meski hanya terdiri dari suara tinggi dan rendah, namun hal itu tidak mengurangi estetika bunyi dalam musik gejog lesung. Justru hal itu memberikan nuansa khas, yang belum tentu didapatkan dari perangkat musik lain. Karena pada awalnya lesung tidak dicipta sebagai alat musik, melainkan alat bantu tepat guna untuk pertanian.

Maka tidaklah mengherankan jika suara yang dihasilkan sangat terbatas. Justru dengan keterbatasan itu, olah rasa yang ada di dalam jiwa para petani, bisa muncul. Rasa syukur kepada Sang Pencipta mewujud ke dalam rangsangan musikal untuk kemudian diwujudkan dalam alunan ritmikal pukulan alu di tangan.

Jadi meski lesung kini mulai ditinggalkan dan anggap saja kalah dari modernitas, toh kita bisa masih bisa menyaksikan jejak-jejak betapa bangga dan bahagianya manusia Nusantara menjadi para petani.

Menjadi petani tidak menghalangi mereka untuk menjadi musisi (musikus). Menjadi petani yang setiap hari berjibaku dengan tanah lumpur dan kotoran kerbau tetap berhak untuk meracik bebunyian yang indah. Iya, lesung memang telah kalah fungsi sebagai teknologi pertanian, namun lesung bertransformasi menjadi alat musikal non tekno yang menghibur.

Editor: Almaliki