Setiap kebudayaan lahir dari tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi itu tidak terlepas dari realitas sosial yang membentuknya dan berkembang seiring kemajuan ilmu ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan, dan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat.

Modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang ditandai dengan berkembangnya teknologi, pola pikir, dan struktur sosial yang lebih maju. Dalam konteks ini, tradisi yang diwariskan secara turun-temurun seringkali menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan perubahan zaman.

Tradisi yang semula mengakar kuat pada nilai-nilai budaya dan kepercayaan lokal seringkali perlu disesuaikan dengan kehidupan modern. Hal ini memunculkan fenomena modernisasi tradisi, dimana unsur-unsur tradisional berubah bentuk, makna, atau praktiknya tanpa meninggalkan esensinya.

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai luhur dan tradisi, terbukti dengan adanya berbagai adat istiadat yang terintegrasi dalam setiap aktivitas sosial. Komunitas ini menjunjung tinggi aspek sakral dalam kehidupan dan menghargai harmonisasi antara Tuhan, manusia, dan alam. Koneksi ini mencakup dunia kita (alam) dan dunia spiritual. Sepanjang sejarah, masyarakat Jawa telah mengalami berbagai sinkretisme budaya yang dipengaruhi oleh tradisi seperti Hindu, Buddha, Tiongkok, Persia, dan lain-lain.

Dalam buku "The Religion of Java" yang dibuat oleh Clifford Geertz, Masyarakat Jawa digambarkan identik dengan mistisisme. Ia mengatakan bahwasanya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menghargai derajat mahkluk hidup. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi selamatan dari percakapannya dengan seorang tukang batu yang berusia lanjut di Mojokuto.

Geertz memperoleh jawaban bahwa tujuan selametan diadakan untuk menghormati mahkluk halus (roh) atau dunia yang lain agar manusia memperoleh keselamatan (tidak ada musibah yang menimpanya). Salah satu tradisi yang masih lestari dan mengalami pergesaran di tengah arus globalisasi, yakni selametan bayi yang baru lahir yakni “Pitonan” (Geertz, 1960).

Pitonan zaman dahulu di kalangan masyarakat Jawa sekurangnya ada  7 macam, sejak bayi lahir sampai berumur satu tahun, antara lain: (1) brokohan (selamatan kelahiran bayi), (2) sepasaran (selamatan 5 hari kelahiran bayi), (3) selapanan (selamatan 35 hari kelahiran bayi), (4) telonan (selamatan 3 bulan kelahiran bayi), (5) pitonan (selamatan 7 bulan kelahiran bayi), (6) setahunan (selamatan 1 tahun kelahiran bayi), dan (7) aqiqah (selamatan  bayi  bagi  orang  Jawa yang beragama Islam) (Wulandari, 2024).

Tradisi ini merupakan serangkaian ritual untuk mewujudkan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan wujud doa atas kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan bayi dan ibu oleh Tuhan Yang Maha Esa, supaya dari ritual yang tercipta keselarasan dan keseimbangan alam antara bayi, ibu, dengan Tuhan dan Dunia (Arif Budiman, 2022)

Pitonan diambil dari kata “pitu” yakni tujuh, ketika bayi beranjak usia tujuh bulan. Masyarakat Jawa meyakini angaka tujuh adalah angka yang sakral, dan membawa keberuntungan. Maka daripada itu ritual ini digelar. Selain Simbol Tujuh, Masyarakat Jawa juga melengkapinya dengan simbol ritual dalam tradisi pitonan yakni adanya ubarampe—simbol perwujudan pikiran, keinginan dan perasaan umat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Upaya pendekatan diri melalui ritual perlindungan anak merupakan salah satu bentuk akumulasi budaya yang abstrak. Ubarampe merupakan upaya negosiasi spiritual agar entitas supranatural yang berada di atas manusia tidak meberikan dampak negatif.

Ubarampe atau sesajen (sarana) kelengkapan dalam tradisi pitonan ini biasanya terdiri dari sesajen tujuh buah, gayung dari klapa yang masih ada dagingnya, bunga mawar (simbol niat kuat), bunga mawar merah (simbol ibu yang dianggap tempat jiwa-jiwa diukir), bunga putih (simbol sosok bapak), tumpengan atau berkatan (nasi, srundeng, telur, lodho ayam, tahu, mie, iwel- iwel), dupa, jenang abang, dan jenang putih.

Terkhusus iwel-iwel pada pitonan zaman dahulu iwel-iwel merupakan bagian terpenting, karena simbol dari tauhid, dan berasal dari ucapan “Waliwalidaya” artinya kedua orang tua untuk selalu didoakan (Wulandari, 2024)

Prosesi yang pertama biasanya keluarga memberi tahu keluarga terdekat, tetangga, bahwasanya akan diadakan pitonan. Kemudian keluarga mempersiapkan aneka hidangan dan perlengkapan seperti telur yang dibungkus daun pisang untuk ditaruh disamping tempat bayi dimandikan. Setelah itu pembukaan yang akan dibuka oleh sesepuh keluarga atau desa (tokoh adat) pembacaan tawasul, dan pengajian.

Setelah itu pemberian makna simbolis yakni bayi diberi suapan makan simbol agar bayi dapat mandiri kelak dan hiasan bunga pada topi si bayi. Kemudian bayi dimandikan dengan air yang sudah diberikan bunga-bunga tadi simbolis untuk pembersihan dan harapan bayi terhindar dari hal buruk.

Kemudian pemakaian baju, dan biasanya ada yang mempersiapkan kurungan ayam yang dihias jajan dan pernak-pernik, bayi dimasukan kurungan dan ayam Jawa, simbolik bayi semoga kelak akan berjumpa jodohnya, kemudian lanjut prosesi si bayi menaiki tangga tebu yang merupakan simbol si bayi diharapkan akan mampu melewati fase-fase dalam kehidupanya. Setelah itu dukun atau tokoh adat membacakan doa kepada bayi, dan terakhir adalah kenduri yang diiringi pembacaan tahlil.

Perbedaan pitonan tradisional dan pitonan modern

Perbedaan yang mencolok dalam tradisi pitonan sekarang ada dalam prosesi undangan dan dekorasi, yang mana dahulu hanya berpatok pada undangan lisan kini beralih kepada undangan digital atau undangan dengan design unik berbagai variasi.

Dahulu pitonan hanya diutamakan kepada prosesi setiap prosesi dan sesajen yang ada, tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat Jawa modern pada tradisi pitonan lebih menekankan pada dekorasi yang menarik, dan kemeriahan acara pada prosesi pitonan.

Mulai dari balon- balon, dekorasi panggung, baju si bayi, lampu-lampu yang berwarna-warni. serta tradisi pitonan modern, dalam proses kendurinya diletakan diawal daripada diakhir seperti pitonan tradisional, dilakukan dengan cara islami, yakni pembacaan tahlil dan tahmid. Kemudian proses pitonan modern juga turut mengundang badut- badut sebagai pemandu acara yang akan memeriahkan acara pitonan, ditambah dengan pemberian hadiah- hadiah dari para undangan yang diundang.

Biasanya undangan ini ada dua untuk orangtua lebih khususnya undangan kenduri, untuk anaknya untuk undangan pitonan. Kemudian juga perbedaanya terletak prosesi pemandian si bayi banyak disederhanakan hanya menggunakan minyak telon dan minyak wangi.

Karena masyarakat Jawa modern seiring berkembangnya zaman lebih mengutamakan kepraktisan dan kemeriahan dalam menyelenggarakan tradisi pitonan yang terkadang persiapannya cukup sulit, namun pada akhirnya tidak meninggalkan esensi dari kegiatan tersebut, yakni rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.

Dok/Foto: "Portrait of a Javanese Woman with Child in a Sling"/Augusta Curiel

Penyunting: Nadya Gadzali