Di era yang serba cepat ini, segala bentuk kebudayaan seakan lekas timbul dan lekas hilang. Dalam proses itu kerap terjadi seleksi di mana ada kebudayaan yang tersisih karena kehadiran budaya baru dan ada juga yang tenggelam karena tidak memiliki pendukung lagi meski masih dianggap berharga atau karena telah ditempa dalam tempo yang lama.
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di mana budaya masyarakatnya begitu sarat dengan tradisi menari dan memainkan musik. Namun, dibalik itu terdapat beberapa tradisi teatrikal yang justru lahir dari tradisi menari dan bermusik masyarakat Sumatera Utara, antara lain Opera Batak yang eksistensinya pada hari ini dapat dikatakan mulai meredup.
Opera Batak adalah seni teatrikal yang dalam perkembangannya dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, Opera Batak Klasik yang didirikan oleh Tilhang Gultom dan Opera Batak Transisi yang dikembangkan oleh Thompson Hutasoit.
Secara esensial, kehadiran dua perspektif Opera Batak ini disebabkan oleh eksistensi Opera Batak itu sendiri di tengah masyarakat pendukungnya. Dapat kita katakan bahwa pada hari ini Opera Batak kehilangan eksistensinya karena hanya dihidupkan oleh segelintir kelompok. Performativitasnya menurun karena hanya dipertunjukkan untuk tujuan terbatas, seperti dalam hajatan dan helatan kedatangan kepala daerah.
Opera Batak Klasik yang dihidupkan oleh Tilhang Opera Batak (TOB) merupakan kelompok Opera Batak yang sangat populer di masa lalu. Kelompok yang didirikan oleh Tilhang Oberlin Gultom tahun 1928 ini tercatat mendayung popularitasnya hingga tahun 1980-an.
TOB pernah beberapa kali berganti nama menjadi Tilhang Batak Hindia Toneel untuk menghindari konfrontasi dengan otoritas badan intelijen politik. Setelah itu kemudian berganti nama menjadi Tilhang Serindo karena perubahan orientasi kelompok ke wilayah keagamaan dan penyajian repertoar yang mengarah kepada mitologi Batak. Selain itu, Tilhang Serindo juga menampilkan nilai-nilai kepahlawan dari Si Singamangaraja XII.
Selama enam dekade, Tilhang menyelenggarakan pertunjukannya secara independen. Pertunjukan Opera Batak yang disajikan memiliki ciri khas seperti Gondang Hasapi yang merupakan ansambel musik Batak yang kerap disebut Uning-Uningan.
Keberadaan musik dalam pertunjukan Opera Batak bersifat profan, artinya musik hanya ditujukan untuk hiburan dan sekuler semata. Bentuk dialog yang dimunculkan kerap berbentuk komedi yang kentara sehingga kerap memunculkan gaya akting yang komikal.
Opera Batak klasik juga menjadi bentuk perlawanan masyarakat Batak terhadap penjajahan Belanda sekaligus sebagai sarana persatuan masyarakat. Perbedaan Opera Batak klasik dengan Opera Batak yang berkembang saat ini justru terletak pada fungsi dan perkembangan tema serta plot yang dihadirkan.
Opera Batak hari ini merupakan pertunjukan yang merespon sensitivitas isu-isu aktual seperti masalah lingkungan, sosial, hingga hiburan. Dalam wawancara bersama Thompson (2022), Opera Batak hari ini dapat dikatakan sebagai penghubung antara tradisi dengan realitas modern.
Thompson juga menyebutkan bahwa bentuk Opera Batak hari ini dapat disebutkan sebagai Opera Batak Transisi karena kehadirannya pun berada pada masa peralihan teater tradisi ke teater modern ke Indonesia.
Tilhang Serindo kerap ditampilkan di malam hari dan dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya (kecuali pesanan). Durasi perjalanan yang dilakukan Tilhang Serindo pun relatif, dapat berhari-hari atau mungkin saja berbulan-bulan lamanya.
Panggung yang digunakan juga kondisional, di luar ruangan atau dengan panggung sistem bongkar pasang. Pasca 1977, Tilhang Serindo mulai menggunakan gedung pertemuan yang digunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara perkawinan sebagai pengganti halaman di kampung.
Durasi pertunjukan untuk masing-masing repertoar pun dapat berlangsung hingga dua belas jam lamanya, disisipi selingan antara repertoar satu dengan yang lainnya. Pertunjukan akan dimulai oleh parmusik yang membawakan musik pembuka sesuai dengan cerita yang dibawakan.
Transisi antar babak diselingi dengan lagu Batak atau tarian tor-tor, dan kecenderungan improvisasi komikal di luar tema cerita. Posisi parmusik menyeseuaikan dengan kebutuhan cerita, terkadang jika pemusik menjadi bagian dari cerita, maka posisinya berada di depan panggung. Interaksi antara penonton dan tontonannya juga lebih melebur dengan tradisi manggalang dalam ansambel Gondang.
Pada tahun 2002, Opera Batak muncul kembali setelah lama vakum sejak tahun 1980-an dengan membawakan naskah Perempuan di Pinggir Danau. Pertunjukan tersebut ditulis dalam berbagai bahasa oleh Lena Simanjuntak dan Mertes yang berdomisili di Koeln (Jerman) dalam Bahasa Indonesia, Thompson HS dalam aksara Batak Toba. Sedangkan untuk bahasa asing ditulis oleh Sabine Mueller dalam bahasa Jerman.
Tujuan penulisan dan penerjemahan dalam berbagai bahasa dilakukan guna memperluas jangkauan tema dari Opera Batak. Selain itu, naskah Perempuan di Pinggir Danau juga menjadi salah satu pencatatan penting dalam perkembangan Opera Batak yang dalam sejarahnya tidak memiliki naskah tertulis dikarenakan kecenderungan improvisasi dari pemain Opera Batak terdahulu.
Dalam wawancara bersama Thompson (2022), Perempuan di Pinggir Danau menjadi patokan eksistensi Opera Batak hari ini. Sebab, secara tidak langsung menjadi pembeda dari Opera Batak klasik dan berhasil mementaskan Opera Batak hingga ke Eropa.
Sejak tahun 2005, Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) yang didirikan Thompson mengusung Opera Batak dengan naskah. Gagasan tersebut dicetuskan Thompson dengan tujuan adanya regenerasi Opera Batak menimbang faktor kebiasaan generasi muda hari ini yang cenderung instan sehingga penggunaan naskah dalam latihan dapat mendukung proses belajar.
Dalam mengelola produksi, terdapat perbedaan yang mendasar antara Tilhang Serindo dengan PLOt. Perbedaan tersebut mengacu pada kecenderungan dari setiap kelompok. Tilhang Serindo menentukan waktu pertunjukan yang tepat (Martiti ari) berdasarkan sistem ari na tolupulu (hari ke 30 kalender Batak) yang dipimpin oleh ulu punguan (pemimpin).
Tilhang Serindo memilih waktu yang tepat untuk pertunjukan lantaran adanya kepercayaan untuk mendapatkan restu dari Debata Mula Jadi Na Bolon dengan mengawali pertunjukan dengan ritual terlebih dahulu. Selain itu dikarenakan cerita yang ditampilkan berasal dari legenda, perjuangan rakyat, mitologi adat dan kepercayaan Batak (parmalim).
Setelah menentukan hari, diberikanlah sesaji sehari sebelum pertunjukan dengan membakar kemenyan untuk mengiringi tonggo (mantra atau doa) oleh paropera yang berpuasa dan tidak melakukan pekerjaan berat. Sesaji berupa indahan (nasi), pira ni manuk (telur ayam kampung), sitompion (sagu), lampet (kue beras dengan daun), gambiri (kemiri), ansimun (mentimun), itak gur-gur (kue beras tanpa daun), parbue (beras), pisang dan aek sitio-tio (air putih) yang diletakkan di dalam mombang (tampah dari pelepah enau atau kelapa).
Berbanding terbalik dengan Tilhang Serindo, PLOt melakukan proses produksi dengan menggunakan pendekatan manajerial yang diorganisir. Tahap pertama PLOt adalah dengan melaksanakan rapat koordinasi dan berdiskusi mengenai kegiatan yang akan dijalankan karena biasanya jadwal pertunjukan bersifat pesanan.
Proses produksi PLOt terdiri dari: (1) mengatur agenda; (2) menyediakan naskah; (3) menyalurkan materi dan menjadwalkan latihan; (4) latihan yang bersifat individual; (5) latihan secara kolektif yang dilakukan minimal 3 kali seminggu; (6) mempersiapkan artistik dan orientasi panggung dan; (7) Pertunjukan. Sebelum menggelar pertunjukan, Thompson menginisiasi kebiasaan vegetarian selama 1-3 hari. Tujuan dari kebiasaan tersebut untuk meningkatkan performa dari para penari, parmusik, aktor dan paropera.
Dalam mementaskan pertunjukannya, PLOt kerap menggunakan folklore masyarakat Batak yang dimodifikasi menggunakan struktur pertunjukan teater modern. Perancangan pertunjukan pun menggunakan formula dramaturgi yang dikemukakan oleh George R. Kernodle yang meliputi struktur (alur, tokoh, tema) dan tekstur (dialog, mood, spektakel). Rancangan dramaturgi dalam cerita Perempuan di Pinggir Danau terdiri dari: (1) Pembukaan; (2) Eksposisi; (3) Konflik/Pertikaian; (4) Hiburan tari; (5) Klimaks dan Resolusi; dan (6) Penutup pertunjukan.
Dalam perkembangan terbaru, Opera Batak kerap dikembangkan dengan melakukan penguatan dari segi teknis pemanggungannya. Beberapa institusi akademik seperti Prodi Seni Pertunjukan UNIMED dan ISI Padangpanjang kerap mementaskan Opera Batak dalam bentuk yang lebih canggih dengan unsur drama yang disusun dalam format well made play. Sehingga terkadang agak sulit membedakan Opera Batak dengan teater modern yang sekedar ‘mencaplok' idiom tradisi.
Penyunting: Nadya Gadzali