Kuburan itu riuh. Alat-alat musik dibunyikan,jampi-jampi dirapalkan, diiringi tarian para perempuan. Calon Arang berjalan ke tengah kuburan, mencari seonggok mayat. Jasad itu diikatnya ke pohon kepuh lalu dihidupkan kembali. Tak lama kemudian, sang janda memenggal leher mayat hidup itu. Darah yang mengucur ia balurkan ke rambutnya, usus yang terburai ia pakai sebagai kalung. Tubuh yang sudah mati dua kali itu ia persembahkan kepada Durga. Sihir Calon Arang begitu dahsyat, menyebar ke segala penjuru. Mayat-mayat membusuk di mana-mana.

Pengeras suara masjid mengusik tidur kami sejak subuh tadi. Bagaimana tidak, suara sang merbot yang fals dan jauh dari merdu, ditambah volume pengeras suara yang tak tanggung-tanggung sangat memekakan telinga. Saya mencoba tetap terlelap selagi langit masih gelap. Begitu saya membuka mata, mentari sudah memancarkan sinarnya yang lembut menembus tirai dan kusen jendela, menyinari bentang alam Lembana, sebuah tempat di pelosok Sumenep.

Sesuai agenda semalam, usai mengisi perut, kami beranjak menuju sebuah kompleks pemakaman kuno yang berada di puncak Bukit Perigi. Konon, keberadaan kuburan tua itu telah menyelamatkan bukit cadas ini dari kehancuran dengan dalih pembangunan. Untuk melihat kuburan yang diyakini warga sebagai makam orang suci itu, kami harus meniti anak tangga yang cukup banyak.

Tiba di puncak bukit, kami disambut kuburan-kuburan tua yang sudah tak jelas lagi si empunya, hanya batuan cadas yang ditumpuk ala kadarnya, tanpa nisan atau penanda tertulis lainnya. Di tengah pusara-pusara tak bernama itu, dua pohon besar menjulang. Pokok-pokok itu begitu besar hingga tampak jelas bahkan dari bawah bukit. Keduanya adalah pohon yang lazim terlihat di kuburan, yaitu pohon kepuh dan randu alas. Saya mendongakkan kepala, kagum pada keagungan keduanya.

Sekilas, kedua pohon tersebut terlihat mirip. Bagaimana tidak, keduanya berasal dari suku yang sama, yaitu Malvaceae. Jadi, tak heran jika orang awam terkadang susah membedakan keduanya. Bahkan semalam, seorang teman berkata bahwa yang tumbuh di tengah kuburan itu adalah pohon kepuh, tanpa menyebut randu alas.

Kedua teman saya tampak heran karena tak menyangka bahwa kedua raksasa tersebut adalah jenis yang berbeda. Saat itu musim kemarau, pohon randu alas sedang meranggas, tapi kepuh masih utuh, ranting-rantingnya rimbun. Saya memungut  bunga dan buah dari keduanya yang berjatuhan untuk menjelaskan perbedaannya kepada teman-teman yang sudah penasaran. Di atas batu cadas, kami mengamati pohon-pohon megah itu, dua jenis pohon yang diceritakan kidung Sudamala sebagai penghuni Setragandamayit.

Pohon kepuh (Sterculia foetida), yang juga disebut sebagai kelompang oleh orang Madura, merupakan tumbuhan yang dianggap angker dan menjadi sarang setan. Aura wingit itu diperkuat dengan lazimnya pohon ini tumbuh di area kuburan (meski kini mulai susah dijumpai dan menjadi tumbuhan langka).

Pohon kepuh bisa tumbuh hingga 30 meter dengan kanopi yang lebat, sehingga sangat mencolok jika dibandingkan dengan pohon lain di sekitarnya. Masyarakat cenderung meyakini bahwa pohon besar sebagai tempat angker. Kepercayaan semacam ini juga kerap saya dengar ketika masih kanak-kanak, sehingga dulu saya bahkan tak berani melewati pohon besar saat hari mulai gelap. Namun, selain perawakannya yang tinggi besar, pohon kepuh memiliki hikayatnya sendiri.

Kisah tentang pohon kepuh tercatat dalam serat Calon Arang. Dikisahkan, Calon Arang adalah penganut aliran tantra yang taat, seorang pertapa, sebelum akhirnya janda itu murka dan menebar teluh. Mandala tempat penyihir itu mengajarkan tantra kepada murid-muridnya adalah kuburan dengan pohon kepuh di tengahnya.

Pada batang pohon itulah sang penyihir mengikat mayat yang dihidupkannya kembali sebagai persembahan bagi Durga. Dengan demikian, pohon ini sudah identik dengan kuburan setidaknya sejak serat Calon Arang ditulis. Masyarakat Bali juga meyakini bahwa pohon kepuh adalah sarang Banaspati Raja, sang penguasa pohon-pohon besar.

Meskipun dikenal sebagai sarang lelembut, pohon kepuh toh memiliki berbagai manfaat bagi manusia dan lingkungan. Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Akarnya dapat digunakan sebagai obat sifilis, daunnya untuk obat luka, demam, pusing, dan TBC. Kulit batang kepuh mengandung zat abortivum sehingga seduhannya dapat digunakan sebagai obat penggugur kandungan alami. Biji kepuh, selain dapat dikonsumsi juga menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak biji kepuh bisa diolah menjadi biofuel. Tidak heran jika dulu minyaknya digunakan sebagai bahan bakar lampu. Banir-banir akar kepuh sangat berguna melindungi tanah dari erosi dan potensi longsor.

Hingga kini, masih banyak orang yang percaya bahwa pohon ini angker, meskipun pohon tersebut tidak tumbuh di kuburan dan hanya di pinggir jalan. Seorang teman saya yang melakukan penelitian di beberapa daerah untuk tesisnya melaporkan bahwa orang-orang menebang pohon ini karena diyakini sebagai sarang demit.

Tepat di sebelah pohon kepuh, berdiri pohon randu alas yang tak kalah megah. Kanopinya gundul, daun-daunnya habis meranggas, menyisakan cabang-cabang kokoh bak tangan-tangan raksasa. Daripada pohon kepuh, saya lebih sering melihat randu alas. Tampaknya, pohon kepuh kini memang lebih langka daripada randu alas.

Sebagaimana pohon kepuh, randu alas juga lazim ditemukan di kuburan dan tempat-tempat yang dianggap suci (konon, pohon ini juga ditemukan di reruntuhan Candi Pawon saat bangunan suci itu ditemukan). Keberadaannya di kuburan tidak bisa tidak membuatnya diasosiasikan dengan kematian, terlebih saat cabang-cabangnya meranggas di musim kemarau. Layaknya pohon kepuh, randu alas memiliki kisahnya sendiri.

Riwayat randu alas sebagai tumbuhan kuburan tampaknya tersirat dalam kisah Sudamala yang terukir dalam salah satu panel relief Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu. Dalam kidung Sudamala, Batari Durga yang murka terhadap Sadewa usai menolak permintaannya untuk meruwat dan mengembalikan sang batari ke wujud aslinya, yaitu Uma yang cantik jelita, mengikat Pandawa bungsu itu ke batang pohon randu di Setragandamayit.

“Sekarang Sadewa  diceritakan. Ia mengalami gangguan di Setra, diikat erat pada pohon randu. Semarlah yang menunggu. Ia menjaga. Semar bertanya kepada diri sendiri: “Nah apa dayaku kini mengalami peristiwa seperti sekarang ini?”

Setra atau Setragandamayit adalah tempat angker berbau mayat, tempat hantu dan siluman bergentayangan, singgasana Sang Durga setelah dikutuk oleh suaminya sendiri, Batara Guru. Bagian tersebut memang hanya menyebut randu dan tidak spesifik menyebut randu alas sebagai  pohon yang dimaksud. Namun, bagian lain dari kisah ini memberi petunjuk yang lebih jelas sekaligus menyebut pohon kepuh sebagai penghuni Setra.

“Sunyi senyap, kosong melompong keadaan di Setra hanya sepasang randu hutan tampak berbunga merah. Bambu muda berderet menyerupai tiang-tiang upacara tegak terpancang sepanjang jalan. Pohon kepuh dan randu merupakan hiasan tempat itu”

Selain menyebutnya sebagai randu hutan (hutan dalam bahasa Jawa adalah alas), kisah tersebut juga menjelaskan bahwa pohon randu ini berbunga merah. Tak seperti randu alas, pohon randu biasa atau kapuk (Ceiba pentandra) bunganya tidak berwarna merah. Jelaslah yang dimaksud sebagai randu hutan di sini adalah randu alas.

Barangkali, jejak magis randu alas dapat ditelusuri lebih jauh ke kosmologi Hindu. Randu alas merupakan pohon suci bagi umat Hindu. Berbagai ritual dan mitos dikaitkan dengannya. Masyarakat India menyebutnya sebagai yamadruma yang artinya ‘pohon Yama’ (Yama adalah dewa kematian dalam mitologi Hindu). Layaknya zaqqum dalam Islam, yamadruma diyakini sebagai pohon neraka. Konon, duri-duri di batangnya digunakan untuk menyiksa jiwa-jiwa penuh dosa.

Penampakan pohon ini yang besar dan gundul saat kemarau, seolah mati, tak pelak lagi mengasosiasikannya dengan kematian. Meskipun secara ilmiah, meranggas adalah kondisi alami tumbuhan untuk mengurangi laju transpirasi saat suhu udara terlalu panas yang justru bertujuan agar tumbuhan tidak mati.

Selain itu, randu alas dikisahkan menjadi tempat beristirahat Pitamaha (pencipta alam semesta dalam mitologi Hindu) usai menyelesaikan pekerjaannya. Bunganya yang berbentuk mangkuk dikuduskan bagi Shiva. Saat cabang-cabangnya dipenuhi bunga berwarna merah yang indah, pohon ini diasosiasikan dengan Lakshmi, sang dewi keberuntungan.

Randu alas memiliki banyak manfaat. Rambut-rambut halus pada bijinya (trikoma) atau yang lumrah disebut sebagai kapuk dapat digunakan sebagai bahan pengisi bantal dan kasur. Selain itu, biji dan daun mudanya dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Bunganya yang indah juga dilaporkan mengandung senyawa astringen yang berguna mengatasi masalah kulit.

Kayu randu alas yang ringan dapat digunakan sebagai bahan pembuat korek api dan biduk. Seperti kepuh, biji randu alas juga menghasilkan minyak yang kaya manfaat. Lebih dari itu, pohon ini dapat digunakan sebagai spesies perintis dalam restorasi lahan hutan.

Kisah-kisah tersebut memberikan posisi sosiokultural bagi pohon kepuh dan randu alas sehingga masuk akal rasanya jika kedua jenis tumbuhan itu seringkali ditemukan di tempat-tempat yang disakralkan. Bahkan, jika pohon-pohon tersebut tumbuh di sembarang tempat, seperti di pinggir jalan atau di tengah kebun, mereka tidak kehilangan maginya. Dianggap angker , suci, dihormati manusia. Kepercayaan-kepercayaan semacam ini dapat digunakan sebagai sarana etnokonservasi bagi kedua jenis tumbuhan itu.

Dalam berbagai kebudayaan, pohon merupakan simbol axis mundi, poros semesta. Dengan akarnya yang menancap ke dalam tanah (simbol dunia bawah) dan cabang-cabangnya yang menjulang ke langit (simbol dunia atas, alam para dewa), pohon disimbolkan sebagai penghubung manusia dengan jagat niskala, tempat para roh dan dewa berada. Konsep ini sangat cocok dengan tempat suci dan kuburan. Akan tetapi, barangkali masyarakat punya alasan lain yang lebih praktis untuk menghormati kedua spesies tersebut sejak dulu.

Keduanya memiliki banyak kegunaan. Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan manusia. Lebih-lebih, akar-akarnya yang kuat dan sangat penting bagi kepadatan tanah dan ketersediaan air di dalamnya. Tanpa dua jenis pohon itu, barangkali tanah menjadi lebih mudah terkena erosi dan longsor, yang pastinya akan sangat merugikan, lebih-lebih jika terjadi pada tempat suci atau area kuburan.

Menanam pohon kepuh dan randu alas di tempat-tempat itu, rasanya cukup masuk akal. Menjaga tempat suci dan pusara-pusara leluhur dari bencana longsor. Atau, boleh jadi lebih sederhana lagi, yakni sebagai pohon peneduh. Tajuk pohon kepuh dan randu alas yang rindang menaungi para peziarah yang sedang berkomunikasi dengan arwah.

Status istimewa sebagai pohon sakral seharusnya bisa melindungi kedua jenis pohon tersebut dari gangguan manusia. Namun, nyatanya kedua spesies tersebut kini tidak lagi mudah ditemukan. Bisa saja hanya ada beberapa pohon randu alas atau kepuh di suatu desa (kalau bukan tidak ada sama sekali).

Manusia lebih takut kekurangan lahan daripada kutukan leluhur atau gangguan jin penunggu pohon. Reputasi angker yang disandangnya pun kerap membuat pohon kepuh ditebang supaya tidak menjadi sarang lelembut. Padahal, banyak makhluk kasat mata, seperti burung, kadal, tupai, dan serangga, yang menjadikan pokok-pokok besar seperti kepuh dan randu alas sebagai habitat mereka. Ironis sekali, pohon yang identik dengan kematian, nyatanya malah berfungsi sebagai penyokong kehidupan.

Matahari meninggi di sisi timur, menembus celah dedaunan pohon kepuh yang menaungi kami. Seekor burung pelatuk mematuki dahan pohon randu alas di sebelahnya, mencoba mencari serangga yang bersembunyi di balik kulit kayunya. Kutilang dan cerukcuk mengoceh, berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Tupai melompatdengan cekatan, memanjat hingga cabang terkecil.

Kami melangkah meninggalkan kuburan, meniti anak tangga, meninggalkan dua pohon besar itu berikut secercah harapan agar keduanya tetap berdiri tegak, menjaga setiap bentuk kehidupan di bawah naungannya.

Penyunting: Nadya Gadzali