Sudah jadi cerita turun-temurun di Sulawesi Selatan khususnya Makassar, kalau tari pepe-pepeka ri makka punya hubungan dengan Nabi Ibrahim.
Etnis.ID – Masyarakat di Paropo, Kecamatan Panakukkang, salah satu daerah di Makassar, Sulawesi Selatan, dikenal dengan paganrang bulo. Jika ada hajatan, mereka kerap diundang untuk menampilkan tarian tersebut.
Selain paganrang bulo, Paropo juga identik dengan tarian pepe-pepeka ri makka. Tarian ini cukup unik, karena penarinya membiarkan api menjilati pakaiannya. Namun, para penari tak terbakar sama sekali.
Dalam buku Abdurrazak, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, tari pepe-pepeka ri makka adalah salah satu jenis kesenian tradisi rakyat di kalangan etnis Makassar.
Secara historis tari pepe-pepeka ri makka terkait dengan penyebaran agama Islam sekitar abad ke-17 terutama di Kabupaten Gowa yang merupakan gerbang awal masuknya agama Islam.
Dalam jurnal yang ditulis Afidatul Asmar, Pesan Dakwah dalam tari pepe-pepeka ri makka, disebut kalau tari pepe-pepeka ri makka mulai muncul di Kampung Sero pada tahun 1942, yang waktu itu digabungkan dalam paket seni tradisi rakyat yang ada pada masyarakat etnis Makassar yang disebut ganrang bulo.
Tari pepe-pepeka ri makka merupakan bentuk pertunjukan seni
tradisi rakyat yang bernafaskan Islam yang dilengkapi dengan properti api (Syakhruni, Fungsi dan Bentuk Penyajian Tari Pepe-pepeka ri Makka pada Masyarakat Etnis Makassar).
Ide-ide tersebut muncul berdasarkan kisah ketika Nabi Ibrahim pada waktu dibakar, namun tidak dimakan api. Tarian ini juga memiliki nilai ritual ritual, begitu pula dengan musik dan syairnya yang berkisah tentang nabi Ibrahim. Mantra itu pun diadopsi dalam bahasa Makassar (Abdurrazak. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan).
Berikut secuplik syair yang dikemas Afidatul, yang berhubungan dengan tarian api itu: Pepe-pepeka ri Makka lanterayya ri Madinah, parombasai natakabbere dunia yang artinya api di Mekah lentera atau obor dari Madinah kobarkanlah sehingga dunia berkumandang takbir.
Cukup menarik jika mendengar dan menyaksikan ganrang bulo dan pepe-pepe ka ri makka, sebab musik dan bunyi kendangnya enak didengar. Menjalankan ritus ini, memang harus memainkan biola khas Makassar yang bentuknya menyerupai rebab (alat musik gesek khas Arab), dan rebana.
Lebih jauh soal sejarah mengapa pepeka ri makka, konon Raja Gowa I Manga’rangi menuntut Dato ri Bandang menunjukkan kedahsyatan agama Islam.
Ulama Minangkabau ini pun menusukkan badik ke lengannya. Ajaib, darah tak mengucur. ”Kisah pengislaman raja-raja di Sulsel memang diwarnai kesaktian dan supranatural,” ujar Dr. Abu Hamid, dosen Antropologi Unhas, semasa hidupnya, yang dijuluki Kitab Hdup Bugis-Makassar.
Sementara Daeng Arsyad, pemain ganrang bulo dalam banyak literatur juga mengaku, kalau semasa bocah, penghuni Kampung Paropo selalu menarikannya di saat menjelang lebaran.
Mengutip kisah leluhurnya, Arsyad menyebutkan, ketika Ramadan hampir usai, umat Islam di sana bergembira. Cermin kegembiraannya, mereka pun memasang obor di halaman rumah.
Di saat seperti itu, penduduk turun ke halaman. Kegembiraan yang meluap membikin mereka memainkan api obor. ”Mungkin dari situ tercipta tari pepe,” kisah Arsyad.
Dari buyut Arsyad, turun ke kakeknya. Kemudian, kekeknya mewariskan kepada orangtuanya. Kini, Arsyad giat melatih 14 pemuda untuk mewariskan tradisi leluhurnya. ”Mereka justru kini lebih kuat dan tahan lama dipanggang,” tandas Arsyad.