Karya seni seringkali merupakan hasil pengamatan dan penghayatan manusia terhadap berbagai fenomena. Begitu pula dengan kesenian buhun (kuno), yang terinspirasi dari peristiwa atau pengalaman masyarakat terdahulu.
Namun, karya-karya yang didasarkan pada pemikiran masyarakat pra-modern seringkali dianggap tak lagi relevan. Beberapa di antaranya bahkan hilang seiring waktu lantaran dianggap sudah ketinggalan zaman.
Transformasi nilai-nilai tradisional ke modern merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa disadari pembaharuan ini juga membuat kita terlupa akan pentingnya melestarikan karya seni klasik, seni buhun yang murni dan tanpa modifikasi.
Masyarakat yang masih berusaha mempertahankan tradisi warisan leluhurnya pasti pernah mengalami pasang surut yang membuat mereka enggan melepaskan pakem-pakem lama tersebut. Salah satunya, Kampung Adat Banceuy, sebuah desa di Kabupaten Subang yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya arkais dan merasa perlu tetap terhubung dengan kebijaksanaan hidup leluhurnya.
Kampung Adat Banceuy secara administratif berada dalam pemerintahan Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Letaknya tak begitu jauh dari Gunung Tangkuban Parahu dan kawasan pemandian air panas Ciater. Semula, Kampung Banceuy bernama Kampung Negla, sebelum bencana alam puting beliung meluluhlantakkan tempat tinggal dan lahan pertanian warga.
Untuk memulihkan kampung pada situasi damainya semula, tujuh tokoh masyarakat bermusyawarah untuk menentukan lokasi yang lebih aman untuk dijadikan tempat tinggal.
Masyarakat Banceuy menyebut kegiatan berunding semacam itu dengan istilah "ngabanceuy", yang kemudian menjadi cikal bakal pergantian nama dari Kampung Negla menjadi Kampung Banceuy. Sedangkan sebutan kampung adat, baru dimulai pada tahun 2000, setelah dilakukan pembinaan agar masyarakat mampu secara konsisten menjaga kearifan lokal dan melestarikan khazanah kekayaan budaya, baik budaya Banceuy maupun budaya Sunda pada umumnya.
Sejak didaulat menjadi Desa Wisata Wangun Harja oleh Pemerintah Kabupaten Subang, Kampung Adat Banceuy semakin bergiat di industri pariwisata. Melalui pemanfaatan media sosial, masyarakatnya membangun penguatan nilai-nilai tradisi kepada khalayak. Tak terkecuali, tradisi "Ruwatan Bumi", hajat komunal yang sarat akan ritus-ritus pemuliaan alam dan seluruh makhluk.
Perhelatan budaya yang digelar setiap hari Rabu terakhir di bulan Dzulhijah itu digelar bukan hanya untuk menyambut perayaan Tahun Baru Islam, tetapi juga sebuah kenduri sekaligus wujud rasa syukur atas karunia Sang Pencipta.
Tahun Baru Islam yang jatuh pada tanggal 1 Muharam (dalam sistem penanggalan Jawa dikenal dengan 1 Suro), dimaknai sebagai hijrah atau perpindahan dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik. Khususnya etnis Jawa dan Sunda, 1 Suro dimaknai sebagai hari yang tepat untuk meruwat atau membersihkan diri, ditandai dengan pelaksanaan upacara-upacara adat sakral seperti Ruwatan Bumi.
Helaran Ngarak Dewi Sri adalah satu dari rangkaian acara bertema lingkungan dalam tradisi Ruwatan Bumi. Seluruh benda yang digunakan dalam arak-arakan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar kampung, termasuk dongdang, pikulan untuk mengangkut hasil pertanian yang juga terbuat dari pohon kawung.
Suburnya lahan pertanian di Tatar Sunda melatari pelaksanaan arak-arakan dongdang. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Sunda Kuno, tradisi ini ditujukan untuk memuliakan Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi kesuburan dalam jagat mitologi masyarakat Sunda yang awalnya tercipta dari hasil pengamatan manusia terhadap kekuatan alam.
Dalam arak-arakan dongdang (wadah pengangkut hasil pertanian), perwujudan Nyai Pohaci dirangkai dari seikat padi untuk kemudian disandingkan dengan Ujang Sarana, dualisme yang mewakili gagasan oposisi biner dalam tradisi kepercayaan masyarakat Sunda Kuno.
Begitu pula dengan persinggungannya dengan aspek spiritual, arak-arakan dongdang tak dapat dilepaskan dari tradisi berziarah ke tempat-tempat suci. Situs keramat yang diziarahi meliputi makam tiga orang pendiri Kampung Adat Banceuy, yaitu Aki Leutik (Raden Ismail Saleh), Eyang Ito (Prabu Jaya Tumenggung), dan makam Eyang Haji Pungkur (Syekh Singadiraksa)—untuk kemudian berakhir lagi di balai musyawarah.
Di sektor pariwisata, tradisi Ruwatan Bumi barangkali tak berbeda dari gelaran budaya pada umumnya. Sama-sama menggelar ritus sakral, atraksi rakyat, dan kesenian daerah. Namun dalam konteks pelestarian budaya, Ruwatan Bumi menjelma sarana untuk mengabadikan karya seni adiluhung. Salah satunya dengan menampilkan kesenian gembyung buhun, seni kahurmatan untuk leluhur yang telah mewariskan pedoman hidup bagi masyarakat Sunda.
Istilah gembyung diambil dari onomatopoeia bunyi yang dihasilkan oleh alat musik genjring, instrumen utama pada kesenian gembyung yang dipahami pula secara filosofis sebagai akronim dari ageman (ajaran) dan kabiruyungan (kepastian). Pemaknaan ini muncul berdasarkan analisa terhadap fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian gembyung.
Dalam tradisi Ruwatan Bumi, magis kesenian gembyung ditopang oleh 5 orang nayaga. Terdiri dari 3 orang nayaga yang menabuh genjring atau gembyung—sejenis rebana berukuran besar; 1 orang nayaga yang memainkan alat musik kendang, dan 1 orang nayaga yang membawakan instrumen musik kecrek.
Gembyung berkembang pada masa penyebaran Islam di Jawa Barat di bawah bimbingan sesepuh pondok pesantren, hingga akhirnya tersebar ke beberapa wilayah, termasuk Kabupaten Subang. Sunan Gunungjati dan para pengikutnya menyulih tradisi pembelajaran agama Islam yang semula terasa monoton menjadi sebuah laku artistik dengan menggunakan kesenian gembyung sebagai media syiar.
Tanpa mereduksi kedalaman makna dan keluhuran ajaran agama Islam, gembyung buhun didirikan di atas pondasi kultural dan istiadat Sunda agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa Barat.
Kesakralannya dapat ditelusuri melalui pola artistik dan frekuensi nada yang dihasilkan. Tak hanya membentuk harmoni, tetapi juga menguar getaran magis. Hal inilah yang membuat kesenian gembyung terasa utuh dan mendalam saat dibawakan.
Karena itu, ciri khas yang menonjol pada kesenian gembyung buhun adalah ekspresi musikal yang sesuai dengan pakem ajaran lama atau bukan tergolong kesenian gembyung kreasi baru, yaitu dengan menekankan fokus estetika pada syair selawatan (puji-pujian) untuk Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Saya terbawa dalam kokoh dan limbungnya hentakan kaki para penari. Bebunyian alat musik dan lantunan syair pada kesenian gembyung buhun yang masih dipegang teguh oleh para nayaga, menjadikan atmosfir balai musyawarah terasa begitu magis. Suara dari lingkungan akustik pun terdengar begitu megah kendati malam itu pertunjukan gembyung ditampilkan dalam ruangan yang tak seberapa luas.
Sulit menggambarkan perasaan ketika menyaksikan kesenian gembyung dalam jarak begini dekat. Tabuhan waditra (alat musik), 9 rumpaka (syair) yang berkelindan dengan kepulan asap kemenyan seakan mengantarkan penikmatnya pada pengalaman sadar yang lebih tinggi, pengalaman mendengar dan merasa yang lebih tajam, namun di saat yang sama juga lesap ke ruang transenden.
Tataran nirsadar itu muncul dalam bentuk tarian tak berpola dari para penari partisipan, meskipun unsur tarian dalam kesenian gembyung hanya sebagai ungkapan, ekspresi, atau respon musikal. Sebaliknya, aspek musikal pada kesenian gembyung tidak ditujukan untuk mengiringi tarian.
Masa depan diversitas budaya Indonesia yang sedemikian kompleks menjadi lebih terang dalam event-event budaya seperti Ruwatan Bumi, sebab kebudayaan lampau tetap terwadahi dan menjadi bagian dari realitas masyarakat modern.
Kesadaran kolektif semacam itu tidak terlahir di ruang hampa, diperlukan pewarisan tradisi pada generasi muda agar tren budaya populer tak menjadikan khazanah kekayaan budaya yang kita miliki kian terlupakan.