“Perilaku tumbuh atas kebiasaan-kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan akan menyebar di setiap lini kebudayaan. Musik, salah satu pengejawantahan dari hal itu. Tidak hanya berwujud tekstual, melainkan kontekstual. Nusantara, berpijak pada hal itu. Dan pijakan ini patut untuk dilestarikan.” Juli, 2021.
Di Jawa, gamelan sudah merasuk dalam sanubari manusianya. Dalam berbagai rentetan kehidupan manusia Jawa, berdampingan dengan eksistensi gamelan untuk kepeluan upacara, keperluan hiburan, dan lain sebagainya. Gamelan menjadi pendamping keperluan-keperluan manusia Jawa pada umumnya.
Kini, keberadaan gamelan semakin tergerus oleh perkembangan zaman. Dapat kita lihat melalui peristiwa di sekitar kita. Pada saat upacara pernikahan misalnya, gamelan hadir sebagai pengiring upacara tersebut. Namun, kini sudah jarang dilihat peristiwa semacam itu. Tidak hanya upacara pernikahan, di pelbagai upacara lain juga mengalami peristiwa yang sama.
Peristiwa tersebut kemudian membakar semangat pemusik tradisi untuk melestarikan gamelan dari sisi lainnya, mulai dari menggabungkannya dengan instrumen lain, memberikan pengajaran pada anak-anak, serta menuliskan dan menyebarkan pengetahuan tentang gamelan.
Salah satu wujud pelestarian gamelan adalah dengan mengajarkan masyarakat untuk bermain gamelan. Untuk mempermudah pengajaran tersebut, diperlukan media untuk mentransmisikan wujud bunyi menjadi wujud tulisan, yakni notasi. Selain untuk mempermudah proses transmisi, juga mempermudah penyampaian kepada anak-anak.
Dalam Gamelan Jawa, setidaknya terdapat delapan notasi yang digunakan, yaitu Notasi Kadipaten, Notasi Andha, Notasi Soeryo Poetran, Notasi Jayadipuran, Notasi Sariswara oleh Ki Hajar Dewantara, Notasi Rante, Notasi Angka Kepatihan, dan Notasi Angka Sulardi (dalam Rusdiyanto, 2011:5-6).
Dari kedelapan notasi tersebut, hingga kini notasi yang digunakan secara parsial adalah notasi kepatihan. Secara subyektif, notasi kepatihan dirasa memiliki keunikan tersendiri dalam pengaplikasiannya. Biasanya, dalam memainkan suatu gendhing akan terdapat sebuah notasi penuntun (sering disebut balungan notasi).
Biasanya, balungan notasi ini dimainkan oleh ricikan wilahan; saron, demung, peking dan juga diikuti oleh ricikan wingking atau sering disebut ricikan struktural; gong, kempul, kethuk, dan kenong. Namun dalam notasi tersebut tidak dituliskan detail notasi per instrumen dalam suatu ansambel. Kemudian, bagaimana instrument yang lainnya dimainkan (selain ricikan wilahan dan ricikan struktural)?
Notasi Stimulan
Ya, notasi kepatihan memang dapat disebut sebagai notasi stimulan karena notasi pada saat memainkan satu gendhing hanya dituliskan balungan notasinya. Notasi balungan ini difungsikan sebagai koridor jalannya sajian repertoar bagi keseluruhan instrumen. Namun, dalam penerapannya, instrumen yang menabuh notasi balungan ini adalah ricikan wilahan dan ricikan struktural yang terpapar dalam notasi tersebut. Sedangkan bagi ricikan penghias seperti rebab, siter, gambang, gender, dan lain sebagainya tidak dituliskan.
Namun, keunikannya adalah ricikan penghias ini akan mengikuti koridor notasi balungan tersebut. Isian not yang dimainkan oleh ricikan penghias ini disebut dengan cengkok. Meskipun, ketika dianalisis cengkok ini dapat dirumuskan menggunakan notasi kepatihan, namun dalam fakta lapangan setiap kali memainkan ricikan penghias, para pemain tidak melakoni hal tersebut. Hal inilah yang menjadikan notasi kepatihan patut untuk disematkan sebagai notasi stimulan, karena notnya memberikan stimulus bagi ricikan penghias khususnya. Misalnya:
Dari gambar di atas, terlihat notasi gambang dengan notasi balungan . 2 . 1. 6 . 5, kemudian notasi balungan tersebut menghasilkan cengkok gambang yang sedemikian rupa. Begitupun selanjutnya, notasi balungan . 2 . 5 . 2 . 1 juga menghasilkan cengkok gambang yang sedemikian rupa. Begitupun seterusnya.
Gambar di atas menerangkan bahwa notasi balungan di atas adalah 6 5 3 2. Dengan notasi balungan tersebut, akan menghasilkan cengkok siter yang sedemikian rupa. Kemudian, notasi balungan 3 2 5 3 juga akan melahirkan cengkok siter sedemikian rupa. Begitupun seterusnya.
Masih banyak lagi berbagai cengkok dari setiap instrumen dalam ricikan penghias yang kurang lebih sama polanya. Dari kedua contoh tersebut, tampak bahwa dalam permainan di gamelan Jawa, sistem notasi kepatihan merupakan sebuah sistem stimulan.
Ruang Kultural Masyarakat Jawa
Suatu ketika saat saya menempuh mata kuliah Praktik Instrumen Tunggal (PIT) Siter, saya diberikan materi mengenai berbagai macam gaya cengkok siter. Dalam benak, apakah cengkok ini begitu pakem? Pasalnya, satu cengkok dengan nama yang sama akan melahirkan isian notasi yang berbeda pada setiap orang.
Selepas kuliah saya ke kantin kampus untuk mengobrol dengan salah seorang dosen yang mengampu PIT Sinden atau vokal Jawa. Dalam obrolan tersebut, tergarisbawahi bahwa memang setiap cengkok dari setiap pemain akan berbeda. Di sudut ruangan, ada seseorang yang bertanya apakah ada cengkok pakem dari setiap instrumen? Jawabannya adalah tidak ada.
Pada pekan berikutnya, ketika saya menempuh mata kuliah yang sama, obrolan tersebut saya tanyakan kembali pada dosen yang pengampu saya. Jawabannya adalah memang tidak ada pakem mengenai cengkok setiap instrumen. Hal dasar yang menjadi kunci untuk tetap harmonis dalam permainan cengkok adalah memperhatikan seleh. Misalnya, terdapat notasi 5 3 2 1. Seleh atau akhiran yang digunakan harus mengikuti notasi balungan tersebut.
Terlepas dari pembahasan akademik, saya melanjutkan pertanyaan kepada beberapa orang yang menekuni gamelan di desa saya. Jawaban yang diberikan mengenai cengkok lebih mengarah pada penggunaan rasa dalam memainkan cengkok-cengkok tersebut. Namun, setelah dijabarkan cukup panjang, terdapat kesamaan dalam jawaban itu, yakni dengan memperhatikan seleh pada notasi balungan.
Selain itu, terdapat pembebasan ruang bermain bagi para pemain untuk menemukan kebebasannya dalam memainkan cengkok-cengkoknya, asalkan tetap mematuhi koridor notasi yang diberikan. Secara subjektif, peristiwa ini menggambarkan tentang perilaku kultural orang Jawa yang kemudian menjadikan wujud perilaku musikalnya.
Orang Jawa dikenal dengan sikapnya untuk menghargai satu sama lainnya. Dalam hal ini, penghargaan tersebut berwujud pembebasan akan kreativitas pemain dalam mengembangkan cengkok personalnya. Meskipun ada batasan dalam sajian repertoar gendhing, namun batasan ini sifatnya luwes. Sehingga dapat diartikan bahwa dalam kultur musikal yang terbangun saat ini merepresentasikan kultur budaya yang telah tumbuh sebelumnya.
Dalam kacamata etnomusikologi, musik merupakan sebuah gambaran perilaku dan kebudayaan masyarakatnya. Tercermin pada notasi stimulan yang berkembang pada gamelan masyarakat Jawa. Semoga saja panjang umur, penghargaan untuk setiap insan mewujud dalam setiap sisi kehidupan, sehingga kerukunan senantiasa terjalin, meskipun terdapat koridor ataupun peraturan yang harus dipatuhi bersama. Amin!
Penyunting: Nadya Gadzali