Bagi masyarakat Batak Toba, ulos bukanlah kain tenun yang tidak memiliki makna dan fungsi. Kain tenun ulos memiliki nilai dan sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum terbentuknya kesepakatan adat-istiadat yang berkembang.

Dahulu, ulos digunakan sebagai penghangat tubuh, namun setelah berjalannya sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba, ritus peralihan dan ritual-ritual, ulos tidak lagi dilihat sebatas penggunaannya saja. Seringkali kita melihat ulos pada upacara adat masyarakat Batak Toba, maka tak heran jika ulos menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari adat istiadat.

Jika melihat fungsinya dalam kebiasaan masyarakat Batak Toba, ulos diposisikan sebagai penyampaian harapan, doa-doa, ucapan terima kasih, tanda duka dan sukacita, serta bentuk penghargaan. Dari penjelasan tersebut dapat kita cermati bahwa ulos berfungsi sebagai media dan simbol yang memiliki nilai-nilai kultural.

Kompleksitas filosofi yang dikaitkan dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba menjadikan ulos kebutuhan yang sangat mendasar. Penjelasan tentang filosofi yang terkandung di dalamnya membutuhkan pemaparan yang cukup panjang, terkait setiap jenis ulos yang memiliki makna dan fungsi berbeda. Sebagai contoh, ulos ragihotang yang digunakan dalam acara pernikahan, ulos sibolang yang biasanya digunakan dalam upacara kematian, dan ulos sampetua yang sering kita jumpai pada acara syukuran memasuki rumah baru.

Filosofi dan pemaknaan tersebut sudah lama berkembang dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Namun, dalam tulisan ini kita tidak mendeskripsikan makna dan filosofi ulos secara detail agar fokus pembahasan tidak meluas.

Melihat perkembangan dan kebutuhan ulos pada masyarakat Batak Toba, tentu saja terbentuknya sebuah komoditi dimanfaatkan menjadi industri kreatif. Seiring perkembangan zaman, peran ulos tidak lagi hanya diperuntukkan dalam upacara adat, melainkan dikemas menarik menjadi model selendang ataupun kemeja yang diperjualbelikan di daerah-daerah wisata kawasan Danau Toba.

Ulos juga menjadi cenderamata dalam acara-acara formal maupun nonformal. Sebagai contoh, seorang narasumber dalam kegiatan seminar, diberikan ulos sebagai bentuk apresiasi di penghujung acara. Pada acara formal seperti penyambutan pejabat negara atau tamu yang dianggap penting berkunjung ke daerah-daerah di Sumatera Utara, ulos dimaknai secara simbolis sebagai ucapan terima kasih dan juga kenang-kenangan.

Keberadaan ulos sebagai warisan budaya dianggap bernilai sebagai benda (tangible) maupun tak benda (intangible). Bagi masyarakat Sumatera Utara khususnya Suku Batak, ulos merupakan suatu kebanggaan yang patut diperlihatkan kepada masyarakat luas.  

Ulos Sebagai Komoditi

Penenun ulos menjadi profesi yang cukup menjanjikan. Tak sedikit penenun yang meninggalkan mata pencaharian sebelumnya, seperti petani yang kini menjadi penenun. Sebagian besar aktivitas martonun dilakoni oleh kaum perempuan, sementara laki-laki tetap berladang atau bekerja diluar rumah. Hal ini dianggap sangat menguntungkan, sebab ibu-ibu penenun masih tetap bisa melakukan kegiatan rumah tangga seperti memasak dan mengurus anak di sela-sela waktu mereka, karena kegiatan martonun tidak perlu jauh meninggalkan rumah.

Profesi penenun tidak bisa dianggap sebelah mata. Hasil bertenun seorang single parent mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, bahkan hingga lulus sarjana. Begitulah cerita hidup sebagian penenun yang dijumpai di perkampungan Batak. Permintaan ulos yang kian tinggi di pasaran adalah dampak dari banyaknya pesta adat Batak yang dilaksanakan.

Berbicara tentang industri kain tenun ulos, para pemilik toko tidak cukup puas dengan produk yang disajikan jika hanya ulos semata. Di sini dapat kita temukan letak transformasi ulos yang menjadi sebuah komoditi dalam industri kreatif. Adanya pasar dengan peluang yang tinggi membuat para pedagang atau pengusaha mulai menciptakan kreasi-kreasi produk berbahan dasar ulos seperti baju, selendang, kemeja, tas, sepatu, jas, dan berbagai macam souvenir wisata. Komodifikasi ini mulai menjamur dan didukung oleh berbagai program pemerintah yang menggalakkan kain tenun Nusantara sebagai identitas di rumah sendiri dan primadona di mata dunia, seperti batik, ulos, songket, dan lain sebagainya.

Para desainer mulai melirik tenun tradisional sebagai bahan dasar pembuatan karyanya, sebab nilai kearifan lokal memiliki market yang tinggi jika dikemas sedemikian menarik. Para agen ialah orang yang memiliki modal yang cukup dan membeli langsung dari para penenun, kemudian menjualnya ke toko-toko. Tak jarang, agen menjadi pemodal bagi bahan dasar pembuatan ulos seperti benang, pewarna, dan lain-lain.

Setelah komoditi ulos terbentuk, muncullah peran mesin sebagai alat produksi ulos. Mesin digunakan sebagai solusi agar proses produksi lebih cepat, ulos dari hasil produksi dari mesin biasanya digunakan dalam industri kreatif atau ulos sebagai hadiah. Ulos yang diproduksi dari mesin lebih terjangkau harganya, berbeda dengan ulos yang dihasilkan oleh para penenun.

Alat-alat pembuatan tenun ulos/ Denata Rajagukguk

Martonun dan Pandemi

Jika kita melihat dinamika sosial yang terjadi, dalam hal mata pencaharian masyarakat yang profesinya sebagai seorang penenun, ada dampak yang sangat signifikan selama situasi pandemi. Tentunya permintaan ulos menurun drastis lantaran acara adat istiadat tidak boleh dilaksanakan agar tak terjadi kerumunan dan menekan penularan wabah Covid-19.

Oleh sebab itu, permintaan ulos mengalami penurunan, akibat imbas dari pandemi. Banyaknya penenun yang kehilangan pekerjaan, membuat konsumsi beralih pada sektor primer. Walaupun pakaian termasuk ke dalam kebutuhan primer, namun aksesoris dan produk-produk kreasi ulos agaknya tidak menjadi kebutuhan yang mendesak.

Lain halnya jika pesta adat tetap berjalan, ulos akan tetap menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini, ulos kita bedakan menjadi dua kategori, yaitu ulos sebagai produk industri kreatif dan ulos sebagai produk budaya.

Jika kita melihat ulos sebagai produk budaya, permintaannya cukup tinggi ketika masyarakat ramai menggelar acara adat. Kini nilai jual ulos turun sampai lima puluh persen. Fakta ini diperoleh langsung ketika penulis melakukan wawancara dengan ibu-ibu penenun di kawasan Tapanuli Utara, tepatnya di Kabupaten Tarutung.

Lalu apakah rajutan tangan para penenun di tengah pandemi akan berakhir di dalam lemari? Fakta lain yang tidak kalah menyedihkan adalah ketika para penenun memilih untuk kembali berladang demi memenuhi kebutuhan hidup. Kata menyedihkan di sini bukan semata berbicara tentang pendapatan, namun . ini sungguh disematkan untuk situasi pandemi yang menghentikan proses budaya dalam potret bertenun ulos.

Andaikata pandemi merubah pola kebudayaan bertenun ulos, hal ini dapat diartikan sebagai proses mematikan kesinambungan ulos secara kultural. Mesin memang akan bekerja, namun nilai kearifan lokal yang terkandung pada ulos akan tergerus.

Penyunting: Nadya Gadzali