Ngumbai Lawok atau "mencuci laut" adalah cara masyarakat Lampung mengungkapkan rasa terima kasih kepada penguasa laut, sekaligus menjadi media silaturahmi di antara warga pesisir. Terminologi Ruwat Laut tak hanya dikenal dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Bugis, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat Lampung Pesisir, yaitu Ngumbai Lawok.
Tradisi ruwatan merupakan salah satu ritual yang sudah umum dilaksanakan oleh masyarakat di Pulau Jawa. Penamaan tradisi ini bermacam-macam, di antaranya, nadran dan hajat laut. Tradisi yang sudah mengakar di Pulau Jawa ini ditemukan juga di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Lampung.
Beberapa wilayah pesisir di Teluk Lampung, Teluk Semangka, Pesisir Barat dan Timur yang mengadakan tradisi ini, di antaranya Kota Bandar Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Timur dan Tulangbawang. Budayawan Koentjaraningrat (1995: 374) mendefinisikan ruwatan sebagai sebuah upaya pembersihan untuk membebaskan seseorang dari suatu kemalangan yang bukan disebabkan oleh kesalahan diri sendiri.
Masyarakat maritim (pesisir) menempatkan subjek puja pada laut sebagai penentu rezeki dan keselamatan melaut layaknya masyarakat agraris (petani) menempatkan Dewi Sri yang diyakini sebagai dewi kesuburan sebagai subjek pujanya, dengan keyakinan bahwa jika laut dibersihkan dengan Ngumbai Lawok memberikan persembahan berupa sesaji dan ubo rampe penguasa laut akan memberi kelimpahan rezeki dan keselamatan.
Kini, tradisi Ngumbai Lawok dijadikan salah satu daya tarik wisata. Hal yang mendasari lahirnya ritual Ngumbai Lawok ialah anggapan bahwa laut adalah ladang pencarian, tempat masyarakat pesisir mengais rezeki. Realitas lokal ini adalah bentuk pemujaan yang ditujukan kepada penguasa laut.
Di kawasan pantai utara dan selatan pulau Jawa seperti di Banten, Indramayu, Cirebon, Pangandaran dan Ciamis, Ngumbai Lawok dikenal sebagai acara nadran atau pesta laut. Acara ini juga merupakan ungkapan rasa syukur sekaligus permohonan masyarakat pesisir agar senantiasa diberikan keselamatan. Dalam hal ini, subjek pujanya adalah penguasa laut Selatan yang legendaris: Ratu Laut Kidul alias Nyi Roro Kidul.
Demikian juga tradisi Ngumbai Lawok atau meruwat laut dengan melibatkan prosesi larung sesaji, yakni terdiri dari kepala kerbau dan ubo rampe. Ritual ini dilaksanakan sebagai laku persembahan sekaligus implementasi rasa syukur dan pengorbanan masyarakat pesisir.
Merayakan Laut
Di Lampung, tradisi Ngumbai Lawok digelar di sepanjang pantai timur, mulai dari masyarakat pesisir Teladas, Sungai Burung, Muara Gading (Labuhan Maringgai), sepanjang pesisir Teluk Lampung mulai Kalianda, Lempasing dan Kota Agung.
Bahkan, di kawasan pesisir barat Lampung, di sepanjang Tanjung Setia hingga Labuhan Jukung, Ngumbai Lawok menjadi salah satu agenda dalam calender event serta ikon wisata setempat. Digelar secara meriah pada setiap bulan Desember, festival Ngumbai Lawok dipusatkan di Labuhan Jukung, Krui, Pesisir Barat.
Menurut seniman pesisir Barat Rizki Febriansyah, masyarakat pesisir di kawasan ini, dulu menggelar tradisi Ngumbai Lawok secara turun temurun. Masyarakat Pekon (kampung) bersama-sama memotong kerbau, dagingnya dimasak bersama-sama untuk cuak mengan. Sedangkan kepala kerbau, dilengkapi ubo rampe (sesaji) dan dilarung (dihanyutkan) ke laut untuk penguasa laut.
Dalam tradisi Ngumbai Lawok juga digelar pentas kesenian, termasuk tari tradisi. ”Tradisi Ngumbai Lawok ini dulu jadi salah satu kalender tetap pariwisata di kawasan pesisir Barat,” ujar Rizki, Sarjana Etnomusikologi jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 2013. Namun, lanjut Rizki, sudah beberapa tahun ini Ngumbai Lawok tak diselenggarakan lagi. Pasalnya, para ulama menganggap kegiatan ini mengarah ke tindakan musyrik, karena ada pelarungan kepala kerbau dan sesaji ke laut sebagai persembahan. “Maka sudah beberapa tahun ini kegiatan Ngumbai Lawok tak digelar,” terang Rizki.
Sementara itu, Sekretaris Kampung Sungai Burung, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulangbawang mengatakan bahwa gelaran Ruwat Laut atau Pesta Laut biasanya digelar setiap tahun. Kegiatan Pesta Laut diselenggarakan sebagai ajang silaturahmi antar warga, juga untuk menebar harapan agar para nelayan diberkati saat menjemput rezeki di laut. “Tetapi untuk tahun ini, pesta laut tak digelar karena pandemi COVID-19. Mudah-mudahan tahun depan bisa dilaksanakan lagi,” ujar putra Bugis yang sudah lama bermukim di Kampung Sungai Burung yang berbatasan dengan Taman nasional Way Kambas ini.
Tradisi Ngumbai Lawok memiliki nilai kultural, spirit pengorbanan dan silaturahmi. Semangat berkorban dalam Ngumbai Lawok tampak dari kebersamaan masyarakat yang saban tahun menyisihkan sebagian rezekinya untuk menyiapkan sesaji, berupa kepala kerbau dan ubo rampe. Selain itu, kegiatan menggotong bersama (sakai sambaian) dalam menyiapkan pesta cuak mengan atau makan bersama pada puncak acara.
Ngumbai Lawok sebagai subkultur, merupakan penanda tradisi rohani masyarakat pesisir Lampung. Ngumbai Lawok dalam bahasa lokal masyarakat Lampung pesisir berarti mengucapkan rasa syukur kepada Sang Kuasa sekaligus memohon keselamatan dan limpahan rezeki.
Tradisi Ngumbai Lawok dimulai dengan pemotongan kerbau yang dilakukan oleh paraji atau tetua adat. Biasanya, sebelum acara pelarungan digelar, pementasan kesenian rakyat seperti tayuban dan jaipong mendahului ritual. Tetapi kini, panggung kesenian sering diganti dengan pentas dangdut atau musik organ tunggal.
Kemudian, kepala kerbau dan ubo rampe (perlengkapan lainnya) secara bersama-sama diarak keliling kampung sebelum dilarung ke tengah laut. Sepanjang menghantar sesaji ke tengah laut, rakyat bersukacita mengawal sesaji menggunakan perahu. Sementara sang paraji atau pawang, tetap merapal mantra di antara kepulan dupa.
Setelah kepala kerbau dan sesaji lainnya yang ditata rapi, dilarung dan tenggelam, masyarakat pun berebutan untuk ngalab berkah yang diyakininya akan membawa keberuntungan. Sesaji hanya boleh diperebutkan setelah tenggelam, yang artinya sesaji sudah diterima oleh sang penguasa laut. Kemudian, masyarakat berpesta sambil saling menyemburkan air.
Pada acara pesta laut ini, tua-muda, laki-perempuan, kaya-miskin, tak memandang status: tak boleh marah jika diguyur air. Sebaliknya, cipratan air justru membuat mereka senang, sebab mereka yakin akan dibanjiri rezeki lewat hasil tangkapan laut. Pekerjaan yang dilakukan ke depannya, diyakini akan berlimpah. Sepulang dari laut, acara dilanjutkan dengan cuak mengan atau makan bersama.
Mitologi Tentang Laut
Peristiwa Ngumbai Lawok menunjukkan sikap keterbukaan masyarakat Lampung. Selain itu, pengakuan terhadap sang murbening dumadi (sang penguasa) sebagaimana yang terdedah dalam filosofi Martin Buber dikatakan, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Tradisi Ngumbai Lawok di pesisir Lampung maupun nadran di Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa memang kental nuansa mitologi. Boleh jadi, di Pantai Selatan pulau Jawa, ada hal-hal yang dihubungkan dengan penguasa laut yang legendaris: Nyi Roro Kidul.
Tradisi yang masih terus bergulir dan bertahan di tengah gelombang globalisasi, terus menderas hingga ke kampung-kampung . Tradisi Ngumbai Lawok masih tetap eksis dan bertahan karena masyarakat pendukungnya masih terus memelihara dan mengugemi ritual ini sebagai sesuatu yang sakral.
Ngumbai Lawok, selain sebagai sarana perayaan, juga merupakan jalan silaturahmi bagi masyarakat pesisir Lampung. Ada benang merah hubungan ke atas (vertikal ) dan juga terhadap sesama (horizontal). Kini, lebih luas lagi, peristiwa budaya ini semakin memperkaya destinasi wisata Lampung, bahkan dijadikan ikon dalam calendar event pariwisata daerah setempat.
Ngumbai Lawok dan Pariwisata
Terlepas dari Ngumbai Lawok, perubahan alur dari sakral ke unsur ekonomi pada masa sebelum penyebaran agama Islam di Lampung, tradisi Ruwat Laut di Lampung sudah ada. Keterkaitan antara upacara Ruwat Laut di Lampung dengan di Jawa dapat dilihat dari hasil penelitian Saputra (2011) bertajuk “Tradisi Ruwat Laut (Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung dalam Perspektif Hukum Islam”, bahwa pelaksanaan upacara Ruwat Laut berawal dari nelayan Cirebon yang datang dan singgah di wilayah Bandar Lampung saat ini.
Proses akulturasi membuat beberapa tradisi masyarakat Cirebon turut menjadi bagian dalam kehidupan ritual masyarakat di Kelurahan Kangkung (Gudang Lelang dan sekitarnya) yang menjadi wilayah hunian bagi masyarakat Cirebon, Lampung dan beberapa suku bangsa lainnya.
Masyarakat di Lampung Selatan, Pesisir Tulang Bawang, Lampung Timur, Pesisir Barat, Tanggamus juga menggelar Upacara Ruwat Laut. Tradisi ini dilakukan setahun sekali dan dimasukkan ke dalam agenda pariwisata Kabupaten setempat. Namun tentunya, butuh waktu dan kesepakatan agar gagasan tradisi Ruwat Laut dapat diterima oleh masyarakat.
Pemerintah memegang peranan penting dalam sektor pariwisata, sehingga tradisi Ruwat Laut dapat dilaksanakan kembali. Meskipun demikian, masih tetap diperlukan proses adaptasi seluruh masyarakat, agar ke depannya tidak timbul perdebatan. Ngumbai Lawok menekankan kedekatan hubungan antara manusia dan alam, yaitu nelayan dengan laut. Sebab, selain sumber penghasilan masyarakat pesisir, laut juga menjadi daya tarik wisata.
Penyunting: Nadya Gadzali