Etnis.id - Heri Prasetyo atau yang lebih akrab dipanggil Heri Lentho, seniman asal Jawa Timur, membuat grup WhatsApp berjudul “Gotong Royong Pekerja Seni”. Grup itu berisi jaringan seni lintas batas, baik seniman, budayawan, pemangkukepentingan, pejabat, dan sebagainya.
Grup bertujuan untuk mengumpulkan sumbangan yang ditujukan bagi seniman dan pekerja seni (penata lampu, rias, panggung dan sebagainya) terdampak virus corona (covid-19). Sebagaimana diketahui, seniman dan pekerja seni yang selama ini menggantungkan hidup dari gelaran kesenian, memprihatinkan kondisinya.
Beberapa saat setelah instrusi pemerintah agar meniadakan acara yang berpotensi mengumpulkan massa, akibat meluasnya virus itu, semua acara-acara seni dibatalkan. Tidak hanya gelaran dalam cakupan besar seperti festival yang kebanyakan diinisasi oleh lembaga atau institusi formal, bahkan hajatan-hajatan di kampung yang menjadi penopang hidup seniman tradisi juga mengalami nasib serupa.
Pemerintah belum menyiapkan perangkat berupa regulasi ideal, bagaimana seniman harus bertahan hidup di tengah situasi yang demikian. Sekadar perbandingan, di Perancis, saat negara itu mengkarantina wilayah akibat virus serupa, seniman mendapatkan intensif dana hidup bulanan, diperoleh dari hasil pajak yang dipungut dari mereka di tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana dengan di negara ini?
Pongah
Kerja-kerja kebudayaan-kesenian yang sebelumnya telah dirancang matang, melibatkan berbagai pihak dengan pembiayaan yang tidak murah, akhirnya ditunda sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan.
Peristiwa itu tidak saja mengurangi secara drastis forum-forum kesenian bermutu yang selama ini dinanti, tetapi juga membuat gejolak lain tentang polemik nasib hidup seniman.
Di liminasa media sosial, hampir semua seniman mengeluh (menjerit) sebab pelbagai pembatalan kontrak yang didapatnya. Yang paling terdampak tentu saja seniman tradisi.
Untuk menjaga agar dapur tetap mengepul, mereka harus menjual apapun yang bisa dijual. Tidak ada kepastian sampai kapan musibah ini akan berlalu. Berdiam di rumah, sebagaimana anjuran pemerintah agar bekerja dari rumah (work from home) tidak berlaku bagi mereka. Apa yang harus dikerjakan dari rumah oleh pemain ludruk dan ketoprak, pemain campur sari, biduan dangdut, pengrawit, dalang, penari gandrung?
Mereka adalah penjual jasa, bukan pegawai kantoran yang dapat mengalihkan pekerjaannya dari kantor ke rumah. Jasa seni apa yang mereka jual jika hanya berdiam diri di rumah? Siapa yang akan menanggung kebutuhan hidup saat mereka tidak memiliki ruang untuk bekerja?
Setiap tahun seniman dan pekerja seni diharuskan membayar pajak pada negara. Terlebih saat seniman harus diundang untuk tampil di gelaran lembaga formal plat merah, sejak awal honorarium yang didapat telah terpotong beberapa persen berdalih pajak.
Wajar kemudian apabila ada pertanyaan, apa yang bisa dilakukan negara pada mereka dalam situasi kini? Sejak awal, negara memang terkesan tidak serius menghadapi bencana virus corona.
Lihatlah di awal-awal, saat negara lain beribaku melawan pandemi virus itu, sementara di Indonesia belum ada satu warganya yang dinyatakan positif, negara (lewat pejabat terkait, terutama Menteri Kesehatan) dengan bangganya berujar bahwa “Indonesia kebal corona”.
Bahkan Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan yang saat ini dinyatakan positif terjangkit virus Corona, sebelumnya bercanda bahwa Corona tak mempan bagi masyarakat Indonesia karena “kebanyakan makan nasi kucing”.
Pun dalam situasi yang belum menuju darurat, negara justru menggenjot sektor pariwisata dengan memberikan diskon intensif hingga 30 persen bagi turis mancanegara dan domestik.
Masyarakat dibuai dengan pernyataan-pernyataan bahwa Indonesia bebas corona. Negara tidak pernah mengeluarkan instruksi untuk “bersiap-siap” menghadapi badai corona yang segara menerjang Indonesia. Semua dijalani dengan guyonan tanpa
keseriusan.
Seniman dan pekerja seni dengan demikian sama sekali tidak memiliki rasa kekhawatiran bahwa virus itu akan berdampak pada tergulingnya periuk hidup mereka. Hingga tiba saatnya virus itu benar-benar menjangkiti dan semakin meluas, negara tertatih-tatih tanpa kesiapan matang.
Indikasinya, tidak ada regulasi apapun tentang solusi ideal bagi warganya yang selama ini berprofesi menjual jasa, pekerja seni dan seniman, sementara mereka diwajibkan berdiam diri di rumah. Sementara di Eropa, kesiapan itu tampak, dengan membuat aturan terdampak untuk profesi-profesi penjual jasa, salah satunya seniman dan pekerja seni.
Bekerjasama
Oleh karena itu, apabila pemerintah tidak lagi bisa diharapkan, maka uluran dari sesama menjadi mendesak dilakukan. Di tengah kondisi bencana inilah jiwa kemanusian diuji. Dengan membantu profesi-profesi terdampak corona (tidak semata seniman), adalah sebuah upaya menjaga keseimbangan hidup tetap terjaga.
Tidak mustahil akan terjadinya kerusuhan, penjarahan, bahkan kejahatan dengan kekerasan apabila ketimpangan dibiarkan terus terjadi. Sebagai akibat dari frustasinya masyarakat yang tak dapat mencukupi kebutuhan, tertutupnya akses, dan kejenuhan memuncak berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan apapun.
Bekerjasama menutupi kekurangan menjadi sebuah ikhtiar mulia dan menemukan momentumnya di hari ini. Seniman dan pekerja seni terdampak corona mungkin hanya sebagian kecil dari banyaknya profesi terdampak. Makanya tidak salah membuat gerakan serupa untuk profesi sejenis lainnya.
Membantu meringkankan beban hidup mereka dalam takaran sekecil apapun lebih berarti daripada sekadar acuh, membiarkan yang lain susah, sementara diri sendiri penuh ketercukupan dan kenyamanan di dalam rumah.
Seniman dan pekerja seni selama ini berupaya memberi asupan nilai estetis pada publik. Mereka adalah orang-orang yang dengan tekun berproses menyuguhkan sajian (pertunjukan) bermutu agar masyarakat tetap bahagia (terhibur dan tertawa), merasa memiliki harapan hidup di tengah kondisi politik kita yang seringkali membuat sakit dan luka. Kini saatnya giliran kita membantu mereka yang sedang dilanda derita dan sedih.
Editor: Almaliki