Etnis.id - Dalam sejarah kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar, pernah terjadi suatu musibah yang mengancam kesehatan dan keselamatan hidup. Babbara namanya, berarti bencana, wabah, atau penyakit.

Untuk menangkalnya, dilaksanakan ritual Songkabala, yang dalam bahasa Makassar dipahami sebagai tolak bala atau diartikan meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini telah berlangsung sekian ratus tahun lamanya.

Secara universal, segala kejadian dimaknai tidak terjadi begitu saja. Bencana adalah jawaban atas segala tindak tanduk manusia di bumi yang direspons oleh alam itu sendiri.

Jika manusia berbuat baik, alam akan merespons dengan memberi nikmat. Jika manusia menabur keburukan, maka alam memberi bencana atau wabah. Manusia dan alam semesta dengan segala isinya saling bersimbiosis mutualis.

Dahulu, Songakabala dilakukan dengan membakar daun lawarni (leko' lanra, Makassar-lawarani, Bugis). Biasanya ritus ini dilakukan pada sore hari menjelang Magrib.

Caranya, siapkan mangkok lalu masukkan sabut kelapa, bakar sabut kelapa itu, lalu masukkan daun lawarni. Jika sudah berasap, simpan mangkok di belakang atau depan pintu rumah.

Asap itu (diyakini) menghalau virus agar tidak masuk ke dalam rumah, sehingga orang yang tinggal di dalamnya terhidar dari wabah. Saat asap membubung, doa-doa kepada Tuhan lalu dibacakan. Doa diyakini sebagai penghantar energi, bentuk komunikasi tertinggi hamba kepada Tuhannya sebagai bentuk harapan, tujuan dan cita-cita.

Lawarani, menurut orang Bugis berarti berani, mungkin kerena khasiatnya yang konon mampu membunuh kuman di udara yang bisa menimbulakan penyakit menular.

Lawarni tersebut termasuk tanaman perdu. Pada umumnya tanaman ini tumbuh liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, di tepi jalan, pematang sawah. Usai diteliti, kandungan senyawa aktif dalam daun ini nyatanya berkhasiat bagi kesehatan.

Dulunya, Songkabala dijadikan kebiasaan nenek moyang saat wabah malaria melanda pada musim perang dengan Belanda. Pada saat perang Makassar
terjadi pada 1668, wabah besar pernah terjadi, sehingga pertempuran itu mereda karena epidemi yang menimbulakan penyakit menular.

Di tengah-tengah masa perang, yaitu April sampai Juli 1668, berjangkitlah epidemi, sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekira tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari sekutunya pasukan Bugis, terserang penyakit panas dan meninggal (Sartono 1987).

Diceritakan pula oleh Razak Patunru dalam bukunya Perang Makassar, bahwa setiap hari banyak pasukan VOC yang mati karena sakit. Adakalanya dalam sehari, tujuh sampai delapan orang dikuburkan. Bahkan Speelman juga jatuh sakit terserang wabah yang mengakibatkan ia mulas dan muntah-muntah.

Orang-orang Makassar juga mengalami hal yang sama. Mereka banyak yang terserang penyakit dan tak terhitung banyaknya jumlah korban yang terpapar wabah mengerikan.

Sekitar tahun 1980-an ke bawah, saat bencana malaria melanda Sulawesi Selatan dengan kelengkapan fasilitas kesehatan waktu itu belum memadai, masyarakat menjadikan tradisi bakar lawarani menjadi rutinitas menjelang Magrib.

Mengapa Magrib? Sebab saat itu, kondisi bumi berpindah dari siang ke malam. Konon mitos larangan keluar saat Magrib dikarenakan banyak setan atau jin yang bergentayangan di luar rumah, sehingga rumah harus dijaga agar tidak kemasukah roh jahat.

Dalam pandangan Islam, Magrib menjadi permulaan waktu malam. Dalam Alquran, kata Magrib disebutkan berkaitan dengan tempat yang artinya barat, kebalikan dari kata masyiq yang artinya timur. Rasulullah Saw dalam sabdanya mengkaitkan Magrib atau waktu senja dengan kemunculan setan.

Selain membakar daun lawarni, buah pisang biasanya digunakan dan diletakkan di atas wadah. Pisang lebih dulu dipotong ujungnya atau nissunaki, sembari dicuci. Nisunnaki dianggap membuang kotoran pada pisang. Setelah prosesi ini, pisang bisa diolah untuk dimakan bersama.

Pisang kaya vitamin dan mengonsumsinya akan meningkatakan vitalitas. Pisang juga berfungsi sebagai anti detoks sehingga meningkatakan daya tahan tubuh dan terhidar dari penyakit.

Itu untuk Songkabala rumahan. Jika untuk satu komunal dalam kampung, umumnya dilakukan dengan berbagai macam ritual khusus, disertai sajian seperti ka’do massingkulu’, lappa-lappa, dan  sebagainya.

Sajian diletakaan di wadah besar yang berbentuk bulat yang terbuat dari bahan besi (kappara) yang ditutup menggunakan daun lontar yang sudah dibentuk bulat. Penganan ditata rapi lalu ditutupi kain putih. Maksudnya agar jiwa-jiwa manusia yang senantiasa ternoda, kembali ke fitrahnya menjadi putih bersih.

Makanan itu kemudian dibawa ke masjid sebelum Magrib. Di sana, penganan dikumpul. Usai salat Magrib, doa-doa dipanjatkan oleh para tokoh agama dan para tokoh masyarakat untuk memohon selamat dari segala bala yang akan terjadi pada saat itu dan bulan tersebut.

Selesai berdoa, penganan itu dimakan bersama-sama. Pasca makan, masyarakat tetap tinggal di masjid untuk melanjutkan salat Isya, dilanjutkan dengan berzikir dan memanjatkan doa meminta kepada Allah Swt agar apa yang diinginkan terkabul (Rismawati 2014).

Tata cara tradisi songkabala di setiap daerah bisa saja berbeda. Ada yang melaksanan di masjid, rumah adat, atau rumah yang dianggap sepuh. Tetapi, makna yang terkandung di dalamnya sama, yaitu tolak bala. Kini, tradisi ini sudah jarang dilakukan, mungkin karena tidak paham tata cara ritual atau tidak mengetahu esensi ritus.

Selain itu, Songkabala dianggap sebagai tradisi Hindu-Budha yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Praktik ini dianggap bid'ah, sehingga para generasi selanjutnya banyak yang mengingkari, bahkan ada yang berusaha meniadakan tradisi leluhur ini.

Songkabala hanya sebatas kearifan lokal yang diwariskan sebagai khazanah budaya. Kita tidak mampu lagi mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata, karena zaman yang terus berubah. Maka tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal ini suatu saat akan hilang. Sekarang, tugas kita adalah menjaganya sebagai identitas bangsa.

Editor: Almaliki