Perkembangan dan masuknya Islam di Nusantara tidak dengan serta merta melunturkan karakter masyarakat lokal. Bahkan, pada beberapa kasus, budaya lokal justru dimanfaatkan oleh para wali dan ulama sebagai jalan Islamisasi. Penyebaran Islam yang tanpa kekerasan budaya membuat unsur-unsur kepercayaan lokal menjadi bagian dari karakter budaya masyarakat yang terwariskan meski masyarakat telah memeluk Islam.
Di antara unsur kepercayaan lokal yang terwariskan itu, sebagaimana dalam bukunya Robert Day McAmis, berjudul Malay Muslims, adalah kultus leluhur. Ia mengutip penjelasan yang menerangkan kalau, Muslim Malay (baca: Nusantara) banyak yang tetap meyakini kekuatan leluhur, dalam keteguhan mereka menjalani kehidupan berdasarkan ajaran Islam.
Contoh kecil dalam masyarakat Muslim Bolaang Mongondow, semisal keyakinan terhadap kekeramatan para bogani atau mogoguyang (leluhur). Cerita tentang mereka yang hingga kini dipercaya masyarakat adalah sebagai sosok keramat, suci, bijaksana, dan kuat. Kekeramatan mereka (spirit atau roh mereka) dipercaya masih terus melingkupi dan menjaga orang Bolaang Mongondow hingga saat ini.
Sebagaimana penelitian Seven Kosel, dalam The History of Islam in Bolaang Mongondow, bahwa ancestor worship (kultus leluhur) merupakan elemen sentral dalam agama tradisional orang Bolaang Mongondow. Berdasarkan argumen Kosel itu, dapat dikatakan kalau kepercayaan kepada kekeramatan leluhur termasuk unsur kepercayaan lokal yang mewarnai memori kolektif Muslim Bolaang Mongondow.
Muslim yang melakukan ritus lokal
Selain keyakinan terhadap kekeramatan leluhur, ritus lokal juga menjadi warisan kepercayaan sebelum Islam. Sebagai contoh, ketika ada yang sakit, khususnya yang sudah tidak tertangani medis, di beberapa masyarakat Muslim Bolaang Mongondow masih ada yang melakukan Motayok, Bagoini, maupun istilah lainnya. Harapannya, melalui pelaksanaan ritus itu, Ki Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) memberikan kesembuhan.
Ritus lokal itu dilakukan oleh masyarakat yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim. Jadi, ini fenomena yang berbeda dengan Penghayat yang menjalankan ritus kepercayaan lokal. Sebab, Penghayat mengidentifikasi diri sebagai Penghayat, bukan sebagai Muslim. Sehingga, pengamalan Penghayat tidak ada keterkaitan dengan standar Islami atau tidak-Islami, sebab mereka adalah Penghayat.
Namun di Bolaang Mongondow, umumnya orang-orang yang melakukan Motayok, atau ritus lokal lainnya, mengidentifikasi diri sebagai Muslim. Dan, memang pada kenyataannya mereka adalah Muslim yang menjalankan syariat.
Ini termasuk kondisi yang dalam bahasa Thomas Bauer, karyanya A Culture of Ambiguity, adalah ambiguitas budaya di mana unsur-unsur yang berbeda dapat co-exist (hidup berdampingan) dalam satu masyarakat.Satu sisi Muslim Bolaang Mongondow hidup berdasarkan ajaran Islam, dan di sisi lain masih mempertahankan ritus warisan kepercayaan sebelum Islam.
Sehingga bukan sesuatu yang mengherankan jika ada yang menilai fenomena ini dengan ukuran Islami atau tidak, sejalan dengan ajaran Islam atau bertentangan. Ya, sekalipun kita mendikotomi agama dan budaya, namun sebab ini fenomena yang terjadi dalam masyarakat Muslim, maka tafsir-tafsir berdasarkan ukuran agama muncul. Karena pada realitanya, agama dan budaya overlapping (tumpang-tindih) dalam kehidupan masyarakat.
Di titik ini, kita perlu memahami pengamalan ritus lokal masyarakat Muslim Nusantara, seperti pelaksanaan Motayok atau Bagoini di Bolaang Mongondow, berdasarkan kerangka nalar Islam Nusantara itu sendiri.
Antara teks dan tradisi Islam
Dalam The Idea of an Anthropology of Islam, Talal Asad menjelaskan kalau masa lalu terhubung dengan praktik masa sekarang. Pandangan ini mengacu pada konsep tradisi diskursif Islam, di mana tradisi Islam yang dilakukan oleh masyarakat Muslim saat ini, dalam pembentukannya pada masa lalu, memiliki arah diskursif pada ajaran Islam. Sekalipun tradisi itu berangkat dari budaya lokal.
Hal itu menjadikan tradisi Islam memiliki diskursif Islam di dalamnya. Dan, kalau kita masih mengacu pada pandangan tradisi diskursifnya Asad, maka justifikasi diskursif Islam itu adalah teks Islam; al-Qur’an dan Hadis, termasuk kitab-kitab rujukan.
Lantas bagaimana jika satu kebiasaan masyarakat Muslim kosong dari diskursif Islam?
Ya, berarti itu bukan bagian dari tradisi Islam. Hanya merupakan warisan dari ekspresi budaya yang dijalankan oleh masyarakat Muslim. Sebab, bukan berarti tradisi atau praktik ritual yang dijalankan oleh masyarakat Muslim tiba-tiba semuanya adalah Islam, kan?
Bagaimana dengan ritus lokal seperti Motayok yang dilakukan oleh Muslim Bolaang Mongondow?
Jawabannya, jika berdasarkan pada teks, tentu ritus lokal itu kosong dari diskursif Islam. Sebab, kita tahu bahwa itu adalah ritus warisan kepercayaan lokal, bukan tradisi atau kebiasaan masyarakat yang lahir dari ajaran teks Islam.
Sampai di sini, hasil pemahaman atas pengamalan ritus lokal mengarah pada dikotomi agama dan budaya. Bahwa, ritus lokal yang dilakukan oleh Muslim bukan bagian dari ekspresi agama. Meski ritus adalah unsur dari kepercayaan lokal, namun ia terwariskan sebagai tradisi dalam masyarakat Muslim, sebab telah mengakar dan menjadi bagian dari eskpresi budaya setempat.
Sudah bisakah kita mencukupkan pemahaman sampai sini?
Melampaui teks, Islam dalam kesadaran dan imajinasi
Konstruksi nalar Islam Nusantara sebatas pada teks rasanya belum cukup. Sebab ukuran Islami hanya sebatas pada teks Islam yang berpotensi menyudutkan banyak tradisi lokal yang Muslim Nusantara lakukan dianggap tidak Islami, bahkan sebagai praktek yang bertentangan dengan Islam.
Orang-orang Islam yang masih melakukan ritus lokal sering dipandang sebagai Muslim yang menyimpang dari ajaran Islam. Mereka tertuduh sebagai pelaku kesyirikan, atau sebagai Muslim pengidap “tbc” (tahayul, bidah, dan churafat). Dan, saat ingin melakukan pembelaan terhadap identitas Muslim mereka menjadi sulit, sebab ritus yang mereka lakukan tidak ada landasan teks Islamnya. Padahal, ritus atau tradisi lokal yang kosong dari teks Islam belum tentu bertentangan dengan ajaran Islam, kan?
Oleh karena itu, nalar Islam Nusantara dalam memahami pengamalan ritus lokal masyarakat Muslim, membutuhkan paradigma yang melampaui teks. Agar pemahaman kita tidak terjebak pada kesimpulan yang tergesa-gesa, memberi penafsiran terhadap semua praktik lokal bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam paradigma melampaui teks atau ukuran Islami selain teks, kesadaran dan imajinasi Muslim dapat menjadi suatu konteks keislaman. Ini sejalan dengan pandangan Shahab Ahmed, dalam What is Islam?, yang menjelaskan bahwa Islam “exists in the consciousness and imaginary (eksis dalam kesadaran dan imajinasi)” seorang Muslim.
Dalam nalar Islam Nusantara berdasarkan konteks ini, meski ritus lokal yang hidup dalam masyarakat Muslim Nusantara tidak menemukan landasan teks Islam, namun sangat mungkin keadaan konteks Islam, baik kesadaran maupun imajinasi Muslim, hidup di dalamnya. Sebab, dalam paradigma ini, selain bentuk ajaran dalam teks al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab rujukan, Islam juga hidup dalam konteks kesadaran dan imajinasi Muslim.
Kesadaran dan imajinasi Muslim dalam pengamalan ritus lokal
Pada kasus seperti Tahlilan, Mintahang atau Ba-arwah versi Muslim Bolaang Mongondow, konstruksi pembentukan ulang tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Islam terjadi hampir pada semua aspek budaya, baik dalam sistem nilai, tata cara, hingga pada aspek wacana pelaksanaannya. Sehingga, dialektika Islam dan budaya lokal dalam kasus ini memunculkan tradisi Islam lokal yang memang nampak dalam kemasan Islami, yang sudah diisi banyak bacaan-bacaan berlandaskan teks Islam.
Namun pada kasus seperti ritus Motayok atau Bagoini dalam masyarakat Muslim Bolaang Mongondow, perubahan hanya terjadi pada aspek kognitif, sedangkan tata cara pelaksanaan tetap dalam wajah lokalnya. Hal ini menjadikan pelaksanaan tradisi semacam ini nampak tidak Islami, bahkan secara kasat seperti bertentangan dengan Islam, namun sebenarnya bukan berarti tidak ada unsur Islam di dalamnya. Ada konteks kesadaran dan imajinasi Muslim yang mewarnai pelaksanaannya.
Di mana, sebelum masyarakat memeluk Islam, dalam kesadaran dan imajinasi kepercayaan lokal, Ompu Duata yang diyakini memberi kesembuhan dalam ritus itu, entah mereka bayangkan sebagai apa. Namun, ketika masyarakat Bolaang Mongondow telah memeluk Islam, maka terjadi perubahan ritus pada tingkat kognitif terkait keyakinan. Dalam kesadaran dan imajinasi Muslim adalah Allah SWT sebagai Ompu Duata, Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kesembuhan.
Saya jadi ingat satu diskusi, dengan teman yang neneknya adalah seorang inde’ yang melakukan tarian dalam ritus Motayok. Ia menjelaskan apa yang pernah neneknya terangkan kepadanya. Bahwa, roh yang masuk itu hanya budak-budaknya Ompu Duata, mereka hanya perantara kesembuhan, dan bukan yang sesungguhnya memberi kesembuhan. Pemberi kesembuhan yang sebenarnya adalah Ki Ompu Duata yang tidak lain adalah Allah SWT.
Jadi pelaksanaan ritus lokal Muslim Bolaang Mongondow itu, sudah diwarnai konteks kesadaran dan imajinasi Muslim, berupa keimanan kepada Allah SWT sebagai Yang Maha Kuasa memberi kesembuhan. Perubahan ini tidak lepas dari kondisi masyarakat yang telah memeluk Islam. Sehingga, kesadaran dan imajinasi Muslim mereka menggeser orientasi kepercayaan dalam ritus lokal ke arah iman Islam. Di sinilah letak diskursif Islamnya.
Sampai di sini, konstruksi Islam Nusantara sudah membawa kita pada pemahaman, bahwa tidak semua ritus lokal yang Muslim Nusantara lakukan bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, ada ritus lokal yang ternyata telah diwarnai kesadaran dan imajinasi Muslim, meski pelaksanaan tetap dalam wajah lokalnya.
Ketika masyarakat desa melakukan ritus pengobatan tradisional, seperti Motayok oleh sebagian masyarakat Muslim Bolaang Mongondow, dengan kesadaran iman Islam bahwa yang memberi kesembuhan itu adalah Allah SWT. Bolian(perempuan yang menjadi perantara kekuatan leluhur) dan ritual tayok untuk memanggil berkat leluhur hanya perantara kesembuhan yang datang dari Allah SWT. Sebagaimana dalam ritus pengobatan modern, ada dokter dan ritual pemasangan infus yang menjadi jalan datangnya kesembuhan dari Allah SWT. Masih tepatkah kita menyebutnya sebagai ritus kesyirikan?
Dok/foto: Tradisi Abangan/Wikimedia Commons
Penyunting: Nadya Gadzali