Sempat terpikir kalau tak ada sarung, seperti apa tampilan kita ini. Untung saja, orang-orang masih membudayakan warisan yang diadaptasi dari Yaman oleh saudagar Arab dam Gujarat saat berdagang di Indonesia.
Etnis.id — Setiap tidur, kawan saya selalu pakai sarung. Ia menutup kakinya dari pinggang hingga mata kaki. Saya heran, padahal tidak ada nyamuk. Dingin iya, namun bukankah adem itu nikmat?
Saat bangun siang, saya tanyai, mengapa ia selalu pakai sarung saat tidur. Alasannya sederhana, karena ia orang kampung dan tidak terbiasa. “Kau juga tidak bisa melupakan itu, kan?”
Pertanyaan itu menyodok saya. Saya iyakan. Meski jawabannya kurang memuaskan, namun ia berhasil membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri.
Saya adalah orang kampung. Itu betul. Sarung identik dengan orang-orang kuno, nasionalis, atau agamawan, abangan, atau apalah identitas lainnya. Saya akui tidak bisa lepas dari balutan kain yang kebanyakan bermotif kotak-kotak itu.
Saat di kampung, di Kajang, sebuah daerah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, setiap ingin tidur saya ditawari sarung untuk menutup tubuh.
Mereka, para tetua di kampung, bisa dibilang jarang memakai selimut. Sarung dianggap sudah cukup menutup badan dari nyamuk.
Sebuah kebiasaan yang aneh. Kehidupan saya di kota malah lain. Jika banyak nyamuk menggigit, saya malah pakai selimut, racun nyamuk semprot, meski udara malam atau siang panas.
Mungkin karena terbiasa memakai selimut, jadinya untuk tidur, agak aneh merasa membalut tubuh pakai sarung. Namun mau tidak mau, saya harus mencobanya.
Ngantuk lalu datang. Saya tertidur pulas. Meski banyak nyamuk yang berdengung di telinga, saya menggebahnya dengan tepokan. Puji syukur, kaki saya tertutup. Mereka tidak menyengatnya.
Saya dibanguni subuh hari oleh nenek saya. Harus salat katanya. Di luar jendela rumah, langit masih hitam keungu-unguan. Saya bangkit, mengucek mata, lalu berwudu. Azan terdengar syahdu.
Tak repot lagi memakai sarung. Sebab, sebelum tidur sudah terpakai, dan saat ingin salat tinggal berwudu saja.
Pelajaran itu bikin saya mengira: barangkali ini alasan para tetua mengharuskan kita pakai sarung, untuk memudahkan salat Subuh.
Selain memudahkan salat. Perempuan di desa juga banyak menggunakan sarung saat mandi. Contohnya, saat masuk desa adat Kajang, banyak perempuan bersaing mandi di sumur.
Mereka bersama anak kecil di sekelilingnya. Sambil mencuci baju, di pinggir pohon besar, sesekali para perempuan mengencangkan sarung di bawah ketiaknya.
Terpikir pula pada saya, bagaimana mengeringkan tubuh mereka. Apakah mengusap sarung ke seluruh tubuh atau bagaimana. Jelasnya, rambutnya dibiarkan basah dan terurai.
Lanjut cerita, kawan saya berceloteh lagi. Kalau sarung sudah tak bisa dilepaskan dari Indonesia. Kali ini, ia berbicara ihwal anak-anak yang disunat.
Katanya, waktu kecil, ia tidak bisa membayangkan kalau sehabis sunat, tak ada sarung. “Bagaimana caranya mau jalan pakai celana?”
Benar juga. Usai sunat, pendarahan akan terjadi pada alamat kelamin. Jika berani pakai celana, maka akan terjadi gesekan kain yang bisa menyakiti.
Untung saja ada sarung. Kita bisa membebatnya dari pinggang hingga ke bawah. Sambil berjalan tergopoh, kita menjumput sedikit kain sarung. Di situ seninya.
Begitulah sedikit cerita soal sarung. Ia menjadi kain serbaguna dalam kehidupan kita, baik di kota maupun di desa. Sarung adalah kita.
Ia bisa dipakai menemani kita minum teh sambil makan biskuit pada pagi hari. Ia bisa menjadi kain ayunan bayi, dipakai salat, dan bisa menambah kesan glamour pada kita: jas, kemeja putih, lalu sarung, dengan sepatu kulit slip on saat menghadiri pernikahan.