Pada suatu hari, saya sedang libur dan berada di rumah. Saat itu saya bangun cukup pagi, sekitar pukul 05.00 WIB. Ditemani secangkir teh hangat, saya lantas duduk di teras dan mengamati keadaan sekitar.
Kicauan burung dan ayam bersahutan mengiringi aktivitas warga yang mulai bersiap mengais rezeki. Segar nan sejuknya udara pagi itu membuat nyaman. Terlebih lagi, bulir-bulir embun di dedaunan dan keredupan cahaya matahari, cukup menenangkan jiwa.
Dari kejauhan, “koki-koki andalan keluarga” tampak silih berganti mendatangi bakul, tentunya untuk membeli bahan makanan, agar yang “tersayang” bisa segera menyantap hidangan lezat dan bertenaga saat memulai aktivitas.
Pagi itu, ada warga yang mencuci baju, piring, menyapu halaman, berdagang, ada pula yang berolahraga. Percekcokan rumah tangga sayup-sayup terdengar dengan bermacam hal yang menjadi penyebabnya.
Kini saya tinggal jauh dari desa yang penuh kenangan itu. Barangkali hanya sekali atau dua kali saja saya pulang dalam rentang waktu setahun lamanya. Karena itulah, mengenangnya boleh jadi suatu upaya yang tepat untuk melepas setitik kerinduan di relung hati ini.
Dari dusun hingga Warung Batokan
Tempat itu adalah Secawan. Secara administratif, Secawan adalah bagian dari pemerintahan Desa Dadapan, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi (berbatasan dengan pusat kota Banyuwangi). Dusun ini terbagi menjadi 2 wilayah: Secawan Lor di sisi utara dan Secawan Kidul di sisi yang berlawanan.
Dulu, Secawan adalah daerah rindang yang dikelilingi pepohonan kelapa (orang setempat lazim menyebutnya kelopoan). Namun, luas lahan kelopoan itu kini mulai menyusut lantaran sebagiannya sudah dibangun menjadi pemukiman warga, dan sebagian lainnya ditebang untuk dijadikan tanah lapang ataupun kebun.
Sebagai kota pesisiran, sejumlah desa di Banyuwangi memang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa. Tak ayal, banyak keluarga, khususnya di Desa Pondok Nongko (terletak di sebelah timur Dusun Secawan), membuka usaha produksi gula jawa rumahan.
Istilah kelopoan menyimpan banyak makna. Salah satunya, lekat dengan nama sebuah lokalisasi. Barangkali, penyematan nama itu dikarenakan area yang digunakan adalah kelopoan atau perkebunan kelapa.
Terlepas dari itu, dulu, semasa nenek saya masih memasak menggunakan tungku (oleh masyarakat Banyuwangi lazim disebut bengahan), kelopoan menyumbang sebagian besar sumber bahan bakar perapian itu. Bagian pohon kelapa yang digunakan adalah blarak (daun kelapa kering) dan bongkok (tangkai kering). Di samping sangat mudah ditemukan di area kelopoan, bahan ini merupakan pengganti kayu bakar yang sepadan.
Sebagai bocah desa yang tumbuh di area kelopoan—bukan lokalisasi—bermain di kelopoan tampaknya telah menjadi habitus saya dan teman-teman. Di sana kami memainkan bermacam permainan fisik, sebutlah misalnya sepak bola. Tak jarang, masing-masing dari kami berinisiatif mengumpulkan blarak dan bongkok untuk dibawa pulang. Oleh sebab itu, secara tidak langsung kelopoan menjadi sumber energi ramah lingkungan yang bahkan juga ramah di kantong warga.
Di samping pelbagai memori tersebut, yang mungkin terkenang dari Dusun Secawan ini adalah Warung Batokannya yang mewarnai kehidupan di sana sekira era 80an.
Pada satu waktu, saya pernah diskusi santai terkait Warung Batokan ini bersama jurnalis senior Banyuwangi, Budi. Beliau membuka pembicaraan bahwa di Secawan, desa saya itu, pernah ada warung yang sangat kondang se-Kabupaten Banyuwangi. Saya pun tangkas menjawab dengan sebuah pertanyaan: "Warung Batokan ta, pak?" (Apakah Warung Batokan, pak?). Dengan semangat, beliau menimpali, "Nah!"
Selama ini, kata Budi, Warung Batokan kerap mendapat stereotipe buruk, tak lain karena sekumpulan warung itu menyediakan jamuan kopi “plus-plus”. Atau, warga lokal menyebutnya dengan istilah kopi pangku, sambungnya.
Sederhananya, dengan membeli segelas kopi, pembeli bisa mendapatkan kuasa untuk memangku dan "memegang" penjualnya (si perempuan)—pastinya dengan menerapkan batasan tertentu, demikian yang diceritakan oleh kakek saya. Itulah stereotipe buruk dari kebanyakan masyarakat sekitar tentang Warung Batokan.
Namun, ada fakta yang tidak banyak diketahui orang. Pertama, tentang penjual atau si wanita yang berasal dari luar Dusun Secawan, termasuk para pembeli yang mayoritas adalah seorang pria.
Kedua, tentang Warung Batokan, yang pada hakikatnya merupakan tempat cangkruk (berkumpul), gesah (berbincang-bincang), dan ngopi yang nyaman sekaligus sebagai sentra warung-warung kopi—yang saat itu—menjadi satu-satunya di Banyuwangi (kalau zaman sekarang tenar dengan sebutan ‘warkop’). Entah sejak kapan tren kopi pangku itu mencuat dan menodai citra warung-warung kopi ini.
Stereotipe buruk lainnya, muncul ketika banyak anak-anak sekolah turut nimbrungmenjajal suasana Warung Batokan yang rindang nan menyejukkan itu. Bahkan, menurut kakek saya juga, karena perkara tersebut, Warung Batokan kemudian menjadi tempat bolos yang digemari oleh siswa-siswa.
Dari mana istilah "Warung Batokan" berasal?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui terlebih dahulu apa arti kata batokan.
Batokan berasal dari kata batok atau tempurung kelapa yang mendapat imbuhan “an”. Jadi, secara definitif, batokan berarti suatu tempat di mana terdapat banyak batok-batok kelapa (sama halnya dengan istilah kelopoan, yang terdiri dari kata dasar kelopo, mendapat akhiran “an”, sehingga bermakna: pepohonan kelapa atau perkebunan kelapa).
Kemudian, jika berpatokan pada pengamanatan yang saya lakukan, karena sekumpulan warung itu berlokasi di kelopoan, kemungkinan besar banyak batok kelapa di selingkungnya, atau malah penyajian kopinya menggunakan batok kelapa yang disulap menjadi bentuk gelas atau benda sejenisnya. Maka dari itu, kesimpulan saya, istilah Warung Batokan ini bisa saja diilhami oleh salah satu kemungkinan tersebut.
Dalam konteks ini, Warung Batokan, Dusun Secawan, dan kelopoan memang membawa cerita tersendiri bagi saya. Namun, sebercak memori dan pandangan negatif masyarakat sekitar terhadap Warung Batokan mungkin juga akan terus melekat. Padahal, warga Dusun Secawan sendiri barangkali tak tahu menahu mengenai perkara itu.
Lalu bagaimana? Dengan adanya tulisan ini, harapannya, setidaknya tempat-tempat semacam Warung Batokan itu tak lagi bermunculan di era sekarang. Pertama, karena memang tak sejalan dengan norma yang berlaku; dan yang kedua, untuk meminimalisir “memori buruk” masa lampau itu terulang kembali. Mengenang suatu peristiwa lampau nyatanya tak selalu berkonotasi buruk atau bahkan menyedihkan.
Penyunting: Nadya Gadzali