Etnis.id - Tapis merupakan seni kerajinan tradisional sulam benang emas pada kain berserat yang dilakukan oleh masyarakat Lampung. Waktu terus berlalu, regenerasi penenun tapis terus dijaga kelestariannya.
Penggunaan kata tapis pada mulanya tercatat dalam inskripsi Jawa abad ke-9 yang menunjuk pada suatu wastra atau kain tradisional yang kaya akan makna dan memiliki nilai yang tinggi, sehingga dijadikan persembahan atau hadiah dari raja-raja kepada penguasa.
Dalam bahasa Jawa kuno, ”apis” atau akar kata “tap”, bermakna susunan baik atau lajur demi lajur. Pada masa perdagangan tekstil di abad ke-16 dan 17, para pedagang Inggris, Portugis dan Belanda menyebut tekstil dengan ostilas tapes, taffes, tapes chindes. Sehingga saat inim tapis diartikan sebagai tenunan yang diberi hiasan atau ornamen yang disusun khusus dalam jalur-jalur horizontal.
Bagi orang Lamoung, kain tapis merupakan kain adat yang digunakan sebagai busana untuk perempuan suku Lampung beradat Pepadun. Suku ini pun terus melakukan produksi dan mengembangkan seni tenun tradisional itu sebagai sarana perlengkapan hidup.
Secara visual, kain tapis merupakan kain berserat dengan motif-motif hiasan dari benang emas dan perak yang ditempelkan dengan teknik menyulam atau dalam bahasa setempat disebut “nyucuk”. Menapis juga dimaknai sebagai bentuk menghalangi atau menutupi kain dengan benang.
Tapis dibuat dengan pelbagai teknik menyulam agar memberikan hasil akhir yang beragam, sesuai makna yang ingin disampaikan dalam motif-motif khas kain tapis atau diistilahkan ragam hias. Motif tapis dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan manusia dan perkembangan lingkungan setempat.
Sebab keberagamannya, kain tapis terbagi menjadi Tapis Kaca, Tapis Jung Sarat, Tapis Raja Tunggal dan masih banyak lagi. Kain Tapis Jung Sarat, berasal dari suku Pepadun dan biasanya dipakai perempuan dalam acara adat. Jung Sarat diproduksi dengan memakai 1000 gram benang emas yang membentuk motif pucuk rebung dan motif belah ketupat.
Sementara Tapis Kaca berasal dari Kota Bumu, Lampung Utara. Tapis ini memiliki motif pucuk rebung, belah ketupat, bunga dan daun. Sebagai detail, terdapat tempelan-tempelan berbentuk bulat yang terbuat dari kaca.
Bagi orang Lampung, kain tapis dipercaya sebagai salah satu kerajinan seni tradisional yang bermakna untuk menyelaraskan kehidupan pada lingkungan dan kepada Tuhan Pencipta Alam. Kain yang telah disulam atau ditutupi benang juga dimaknai sebagai simbol pelindung bagi penggunanya dari setiap hal-hal kotor dalam kehidupan.
Desa Penenun Tapis
Namanya Negeri Katon. Terletak di Kelurahan Negeri Katon, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Memiliki jalan utama dengan barisan rumah di kanan-kirinya, membuat rumah-rumah warga tertata rapi saling berhadapan.
Di sana, setiap rumah memiliki arsitektur yang mirip--rumah utama dengan halaman luas di bagian depan dan samping rumah. Pada halaman rumah yang tersedia, biasanya digunakan warga untuk menenun tapis pada sore hari.
Para wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun tinggal di desa ini sangat memahami betul seluk beluk kain tapis dan menggunakan tekang atau kayu penopang kain berserat. Puluhan tahun lalu, tekang berukuran sangat besar. Lebarnya lebih dari satu meter. Namun kini, menjadi lebih kecil dan ringan.
Soal keahlian mereka, itu warisan nenek moyang. Karena itu pula, para penenun dikenal luas dan mendapat perhatian lebih. Sampai sekarang, warga banyak mendapatkan banyak pesanan kain tapis untuk pelbagai macam kegiatan.
Para remaja bahkan anak-anak juga sudah pandai menenun tapis. Ketertarikan tumbuh ketika mereka melihat orang dewasa menenun kain yang terpasang pada tekang berukuran 100x50 senti.
Dilihatnya jari-jari lihai yang menusuk dan menyusun benang-benang emas. Tak lama, terbentuklah pola-pola yang indah dan elegan. Lambat laun, mereka akhirnya mulai belajar menyulam benang-benang emas menjadi kain tapis.
Kata warga sekitar, untuk menenun kain tapis tidak ada paksaan. Sebab dibutuhkan kesabaran dan ketelitian tinggi. Asal tahu saja, nyucuk biasanya memakan waktu rata-rata 7-14 hari--tergantung tingkat kesulitan. Terkadang lebih dari itu jika terlampau rumitan dan mengharuskan penenun teliti bukan main.
Tetapi percayalah. Anak-anak tak langsung diajari pola tenunan yang sulit. Anak-anak berusia 9 hingga 15 tahun, biasanya mempelajari motif tajuk ayun. Motif dasar yang mudah. Seiring waktu, naik tingkatan mempelajari motif sasap kerui, unik unik, muduy muduy, motif bintang, motif cincin dan masih banyak lagi.
Motifnya tidak asal cantik saja. Ada pesan di dalamnya, Seperti motif tajuk ayun yang mengandung makna bahwa hidup itu bersifat dinamis, sehingga harus luwes dalam mengikuti perkembangan zaman.
Motif sasap berarti penuh atau padat mengandung makna ilmu yang bermanfaat lahir batin, sesuai ketentuan agama atau kepercayaan yang dianut. Sedangkan wajik atau belah ketupat bermakna ke mana pun arah tujuan, haruslah menuju pada suatu kebaikan.
Dari ini semua, kain tapis bisa dibilang menunjukkan jalan soal ketelitian dan kesabaran. Di balik itu, terhasilkanlah karya seni yang indah dan memuat nilai budaya serta sejarah perkembangan masyarakat. Atas pemaknaan ini, kain tapis dapat dibeli dengan harga yang tinggi.
Kini, kain tapis bisa dikenakan siapa saja. Tak harus orang Lampung untuk ke acara adat. Kain tapis mulai diaplikasikan dalam berbagai ragam item fashion. Kiprah kain tapis pun sudah melenggang dalam ajang bertaraf nasional dan internasional. Dalam ajang-ajang besar itu, para desainer Indonesia mengolah kain tapis, dalam balutan busana kasual, semi formal dan formal.
Editor: Almaliki