Pada umumnya, masyarakat Indonesia yang belum pernah sama sekali mengunjungi wilayah Indonesia bagian tengah khususnya NTB dan NTT pasti akan mengira Pulau Sumbawa sama halnya dengan Pulau Sumba. Padahal tidak sama sekali, mungkin hal ini disebabkan adanya kemiripan nama.
Kedua pulau ini sama-sama berada di wilayah Indonesia bagian tengah, namun berada di provinsi yang berbeda. Nusa Tengara Barat atau NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas 4.739 km2 dan Pulau Sumbawa dengan luas 15.414 km2. Pada kedua pulau ini terdapat tiga etnis yang mendiaminya. Biasa disebut dengan Sasambo, yaitu: etnis Sasak, etnis Samawa, dan etnis Mbojo.
Selain ketiga etnis besar itu, pada perkembangannya ada beragam etnis-etnis lain yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain sebagainya yang menetap ataupun telah mengalami perkawinan silang dengan warga Nusa Tenggara Barat.
Pulau Sumbawa dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau, baik di kalangan wisasatawan domestik maupun mancanegara. Selain itu ada pula beberapa pulau dan pantai yang masih alami, maka tak heran pulau tersebut menjadi tujuan wisata yang sangat ikonik.
Selain keindahan alamnya, ada pula kekayaan warisan budaya tak benda yang sangat menarik perhatian saya. Sebagai seorang pendatang yang saat ini berdomisili di Sumbawa Besar, rasa ingin tahu tentang seni dan budaya etnis Samawa membuat saya selalu antuasias menyaksikan setiap pertunjukan musik tradisi, mewawancarai seniman atau budayawan setempat, dan tak lupa menuliskannya di media.
Sejarah Bakelong Etnis Samawa
Pertunjukan seni dan budaya yang ada di Pulau Sumbawa salah satunya adalah bakelong, seni vokal yang begitu familiar di kalangan masyarakat Sumbawa. Menurut sejarah, bakelong terlahir dari kebiasaan masyarakat pesisir etnis Samawa yang menghibur diri dari kejenuhan aktivitas sehari-hari, sebagai bentuk hiburan seorang nelayan sekaligus warga pesisir yang berdomisili di tepi pantai.
Seniman sekaligus budayawan Sumbawa, Hasanuddin HD atau yang akrab Kak Ace mengatakan, perkembangan bakelong tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Pulau Sumbawa. Di mana pada abad 16, banyak kapal para pedagang Arab bersandar di Pulau Sumbawa, berniaga sekaligus melakukan syiar Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkampungan Arab yang terletak di Labuhan Badas, Labuhan Sumbawa.
Dengan demikian, perkampungan Arab yang berada di pesisir pantai merupakan jalur perdagangan sekaligus jalur interaksi atau silang budaya dengan bangsa Arab. Salah satunya melalui perkawinan silang yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari masyarakat etnis Samawa. Maka tak heran, alat musik seperti rebana, gambus, hadrah, dan barzanji menjadi sangat populer di tanah Samawa sampai saat ini.
Salah satunya seni vokal yang populer yang selalu banyak diminati oleh orang-orang dewasa dan generasi milineal, yakni: bakelong. Seni vokal yang berasal dari budaya masa lampau yang berarti puisi tradisi etnis Samawa yang memiliki makna kiasan sesuai dengan teks dan konteks apa yang dirasakan oleh tukang lawas.
Pertunjukan bakelong biasanya terdiri dari satu orang. Si tukang lawas ikut memainkan alat musik gambus untuk mengiringi lawas yang diucapkan oleh seniman tersebut. Namun perkembangannya saat ini, pertunjukan bakelong dapat dilakukan sendiri ataupun berkelompok dengan iringan alat musik tradisi, yaitu: gambus atau rebana ode.
Bakelong telah mengalami perubahan seiring perkembangan zaman, mengikuti tren dengan memanfaatkan alat musik modern seperti akustik band, kombo band ataupun organ tunggal. Biasanya, etnis Samawa mengartikan bakelong sebagai sastra lisan atau sebutan umumnya lawas.
Lawas ialah ungkapan, sejenis puisi lisan yang berisi tiga baris menggunakan bahasa kiasan etnis Samawa, biasanya lawas terlahir secara spontan dalam aktivitas keseharian atau dapat pula hadir menggunakan konsep upacara adat ataupun pertunjukan seni dan budaya.
Penguasaan, pengetahuan, dan pemahaman kosakata bahasa kiasan etnis Samawa sebagai unsur utama penciptaan lawas. Selain itu, pengalaman serta jam terbang pertunjukan seorang pemain bakelong tentu memengaruhi syair yang ia ciptakan.
Biasanya, pertunjukan bakelong disajikan dalam kegiatan menuai padi, karapan kerbau, upacara adat perkawinan, sunatan, dan acara-acara lainnya. Lawas atau syair bakelong berisi pesan moral, tentang cinta, nasihat, dan motivasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Samawa.
Ciri Syair Lawas Bakelong
Dalam penciptaan syair bakelong, tidak ada persyaratan khusus, namun untuk seorang pemain bakelong tentu harus memiliki kemahiran dalam penguasaan kosakata kiasan bahasa etnis Samawa, serta dapat pula menjelaskan kiasan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Selain itu, pemahaman tentang temung atau irama bakelong menjadi kesepakatan untuk melahirkan pengetahuan tradisi lisan yang diturunkan melalui generasi terdahulu kepada generasi penerus saat ini. Salah satu ciri yang umum pada bakelong ialah syairnya yang identik dengan kawula muda. Tersebab bakelong sering dihadirkan dalam upacara adat pernikahan etnis Samawa.
Selain itu, syair yang dinyanyikan biasanya menggunakan cengkok irama timur tengah versi etnis Samawa, sehingga membuat orang yang menonton merasakan suasana damai dan tenang. Berikut ini adalah salah satu contoh syair lawas bakelong ciptaan Hasanuddin HD dalam temung atau irama kelong.
Dadi bulan.... Dadi bulan gama yandi. Selam bau si ku gita. Selam bau si ku gita. Dadi medo ate notang. Di andi e dadi medo. Dadi medo ate notang. (Artinya, Jadilah rembulan, duhai sayang. Meski tenggelam tertutup mega, namun masih dapat ku saksikan. Menjadi pengobat hati yang merindu.)
Adapun pesan moral syair di atas ialah tentang kerinduan seseorang kepada sang kekasih pujaan hati yang digambarkan melalui rembulan (wawancara dengan Hasanuddin HD). Ungkapan syair di atas menjelaskan bagaimana kerinduan seorang kekasih kepada sang pujaan hati yang terpisah oleh jarak yang hanya dapat disampaikan melalui keindahan bulan sebagai simbol atas keberadaan pujaan hatinya. Melalui keindahan cahaya bulan pula, ada seberkas harapan bahwa kerinduannya dapat tersampikan kepada sang kekasih.
Saat ini banyak di antara kalangan kawula muda dan orang tua, baik pria atau pun wanita berlomba-lomba berkreatifitas untuk menciptakan lawas dan aransemen baru bakelong. Baik dari segi aransemen musik ataupun alat musik pengiringnya seperti keyboard, kombo band, dan lain sebagainya. Tujuannya, tak lain penggunaan alat musik modern berfungsi menarik minat masyarakat Sumbawa agar tertarik menyaksikan pertunjukan musik bakelong.
Perkembangan terkini begitu banyak kanal YouTube yang menyajikan video live ataupun videoklip pertunjukan musik bakelong etnis Samawa. Hal ini dapat dilihat juga hampir dari setiap sekolah-sekolah SD, SMP, dan SMA yang ada di Sumbawa Besar juga tidak mau kalah, mereka aktif mengadakan pertunjukan musik bakelong dalam setiap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah masing-masing. Tujuannya, tak lain agar para pelajar ikut berpartisipasi, mengapreasiasi, melestarikan, serta mendapat pengetahuan tentang pertunjukan musik bakelong.
Penyunting: Nadya Gadzali