Etnis.id - Petikan kelong seperti di bawah ini dapat ditemui di Rumah Kelong. Kelong merupakan salah satu sastra lisan tradisional Makassar yang kini sudah jarang terdengar.

Sambayang antu nierang
Nipadongkok ri timbangang
Punna taena
Sangnging sassaklalang mami

Terjemahan:

Salat itu dibawa
Diletakkan pada timbangan
Kalau tidak ada
Semua hanya penyesalaan

Orang tua dulu menggunakannya sebagai media edukasi lantaran berisi pesan kebajikan, baik dalam nilai religiutas maupun nilai moral. Contoh kelong di atas merupakan nasihat untuk mendirikan salat. Sastra lisan tradisional Makassar ini merupakan karya artistik yang sakral.

Dengan tujuan agar kelong dan pesan kebajikan yang terkandung di dalamnya tidak punah tergerus zaman, maka Chairuddin Hakim mendirikan Rumah Kelong yang menempati dua lantai rumahnya di Tabaria, Makassar. Karya sastra lisan ini diharapkan terawat dan  tumbuh dari  sini.

[Sebelum lanjut, Kelong dalam tulisan ini sebagai karya sastra lisan klasik/tradisonal, bukan berarti lagu atau nyanyian seperti dikenal umum. Meski demikian, karya sastra kelong dapat pula dijadikan lagu].

*

Saya beruntung menjadi tamu pertama Rumah Kelong yang didirikan Februari lalu. Saya melihat rumah ini berbenah. Dinding yang terisi kelong hanya pada lantai satu, sementara dinding di lantai dua yang disiapkan untuk menempatkan kelong, masih kosong.

Saat itu saya masih melihat tukang sedang membuat rak buku yang akan ditempatkan di ruang perpustakaan.  Kini ada sekitar seratus kelong yang terpajang apik di sana, padahal pada kunjungan sebelumnya, yang terpasang belum sebanyak itu. Semua kelong yang terpajang beraksara Makassar pada bagian atas, aksara latin untuk pembacaannya, lalu tercantum pula terjemahannya.

Dua lantai yang digunakan untuk memajang kelong sepertinya dibuat dengan tema berbeda. Lantai satu diisi kelong hasil cetakan elektronik yang didesain sendiri oleh pemiliknya, lalu dibingkai dengan bingkai foto berwarna hitam. Sekisar 60-an kelong ada di sini.

Selain itu ada pula beberapa puisi karyanya. Satu lagi ruangan yang berada di lantai satu, yang saat ini digunakan sebagai ruang kerjanya akan diubah menjadi ruang rekaman.

Sebuah tangga kayu menjadi penghubung antara lantai satu dengan lantai dua. Tepat di depan tangga hamparan seluas 12 meter persegi itu, difungsikan sebagai ruang diskusi kecil.

Posisinya diapit dua dinding pajangan. Ada 30-an kelong termuat di dinding tersebut. Pajangan di lantai dua ini menjadi berbeda dengan yang ada di lantai satu, karena kelong yang ditampilan dipadukan dengan lukisan Zainal Beta, seorang pelukis tanah liat Indonesia. Kelong berbingkai kayu berwarna coklat itu dibuat lebih awal, sekitar tahun 2000.

Masih di lantai dua, di balik pajangan dinding sisi kiri, terdapat perpustakaan kecil berisi buku dan kepingan CD rekaman kelong. Ada pula ruang istirahat, sekiranya diskusi berlanjut hingga larut, sementara tamu malas pulang.

Pada ruang diskusi itu dipasang jendela berukuran lebar yang pintunya bisa dibuka atau ditutup sesuai seberapa besar angin atau cahaya yang dibutuhkan.

Masih banyak kelong yang menunggu dipasang. Chairuddin Hakim berencana menempatkannya di teras rumahnya dan akan ditata dengan banyak spot foto agar kaum milenial betah dan banyak yang berkunjung ke tempat ini.

**

Di Sulawesi Selatan Chaeruddin Hakim dikenal sebagai seorang penyair. Ia juga banyak menulis dan mengajar kreativitas pembuatan puisi di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Sejak tahun 2000 ia konsentrasi pada kelong dan menjadi tema tesisnya di Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Saat itulah ia mulai intens mengumpulkan salah satu karya klasik ini, baik dari membaca beragam literatur, bertanya ke narasumber yang dikenalnya, sampai berburu hingga ke pelosok desa, pesisir, bahkan ke gunung.

Perburuan yang dilakukannya terbilang unik. Ia sering iseng menanyakan ke penjual sayur berusia tua yang dianggapnya memiliki kelong. Di antara mereka memang ada yang memiliki, tetapi lebih banyak yang tidak. Memiliki dalam pengertian ini berarti orang yang masih mengingat kelong yang kemungkinan pernah mendengar dari orang tua mereka.

Perjuangan mencari salah satu sastra lisan tradisional ini tidak hanya pada orang yang ditemui di sekitarnya. Pernah pula ia rela ke kaki gunung demi mencari orang yang masih memiliki kelong. Di kaki gunung itu ia menemui pemilik kelong yang ‘bersyarat’: Ia harus tak sadarkan diri dulu agar bisa menuturkan kelongnya.

Syarat yang diminta tidak hanya sampai di situ.  Kelong yang dilafalkan ‘si tak sadarkan diri itu’ tidak boleh dicatat langsung, melainkan harus dihapalkan. Lelaki si empu kelong itu terus melafalkan, sementara Chaeruddin Hakim berusaha mengingat kata per kata yang keluar dari mulut si penutur kelong tadi.

Dari hasil dari perburuannya itu, ia kini  memiliki setidaknya seribuan teks kelong yang diperoleh dari berbagai sumber yang dikumpulkan saat masih SMA tahun 1980-an, lalu yang diupayakan serius sejak tahun 2000, sampai pada tahap membuat sendiri.

Dari hasil penelitiannya tentang kelong, Chaeruddin Hakim sudah menulis dua buku
masing-masing berjudul Kitab Kelong yang diterbitkan BKKI pada 1996 dan Tafsir Kelong diterbitkan pada 2016 oleh Penerbit De La Macca. Buku kedua tersebut menjadi panduan dalam memahami sastra lisan Makassar ini.

Mengembangkan kelong

Kelong Makassar memiliki pola suku kata 8.8.5.8 dalam setiap baris. Maksudnya, pada baris pertama harus berisi delapan suku kata, baris kedua juga delapan suku kata, baris ketiga lima suku kata, dan baris keempat delapan suku kata.

Pola ini menjadi pakem yang tidak bisa diubah dan menjadi ciri khasnya yang membedakannya dengan pantun. Agar memudahkan, kita gunakan contoh kelong di atas:

Sam-ba-yang- an-tu- ni-e-rang (8 suku kata)
Ni-pa-dong-kok- ri- tim-ba-ngang (8 suku kata)
Pun-na-ta-e-na (5 suku kata)
Sang-nging-sas-sak- la-lang -ma-mi (8 suku kata).

Dengan memahami pola tersebut, maka kelong dapat dikembangkan atau dibuat sendiri dengan tetap mempertahankan pakem serta nilai yang terkandung di dalamnya.

Setiap pengunjung Rumah Kelong bisa diajar cara membuat kelong berdasarkan pakem itu langsung dari ‘masternya’. Salah satu contoh kelong karya murni Chaeruddin Hakim yang telah dibukukan dalam Kitab Kelong dibuat dengan menggunakan pola suku kata 8.8.5.8:

Nani areng Mangkasarak
Kaniak pacce attayang
Punna taena
Bellai ri pangadakkang

Terjemahan:
Diberi nama Makassar
Sebab kasih sayang menanti
Jika tak ada
Jauh dari adat istiadat

Sampai saat ini Chaeruddin Hakim telah membuat sekira 500-an kelong. Ia menyebutnya kelong dengan syair modern. Syair modernnya itu ada yang dipublikasikan di media sosial dan ada pula yang dibuat dalam bentuk rekaman lagu.

Dalam hal merekam ke format compact disc, saat itu merupakan hal baru dalam pengembangan karyanya.  Ia pun menggunakan 22 karyanya di-CD-kan untuk dua kali rekaman, yang pada setiap rekaman menggunakan 11 kelong.

Rekaman pertama bekerja sama dengan Telkom Flexi dan yang kedua bersama Kelompok Musik Jivana. Kedua CD rekaman ini dapat dilihat di perpustakaan Rumah Kelong.

Sejak maraknya media sosial, Chaeruddin Hakim juga menggunakan facebook sebagai media sosialisasi kelong. Namun hal itu tersebut tidak berlangsung lama. Upaya mengunggah karyanya dihentikannya lantaran ada seniman lokal memanfaatkan kelong ciptaannya menjadi lagu tanpa seizin darinya.

Walau tidak mencontek secara keseluruhan, ia menganggap cara seperti itu merupakan sebuah pelanggaran hak cipta.

***

Meski baru terlaksana pada tahun 2020, pendirian Rumah Kelong merupakan rencana lama yang harus direalisasikan. Penelitian Chaeruddin Hakim 20 tahun silam mengenai pengaruh kelong pada anak usia pendidikan dasar, menunjukkan bahwa karya sastra klasik ini memberi kontribusi sebesar 39,5 persen terhadap pembentukan moral siswa. Ini menandakan karya sastra klasik/tradisional Makassar ini masih mempunyai pengaruh positif di kalangan generasi muda.

Dengan adanya Rumah Kelong, maka pemanfaatan kelong sebagai media penyampai pesan bisa ditingkatkan, dikembangkan bentuknya mengikuti zaman, sehingga generasi milenial tetap cinta dengan budaya daerahnya. Dengan demikian sastra klasik/tradisional tidak hanya sebagai kenangan belaka dan tidak lagi dipandang sebagai fosil kehidupan.

Satu lagi alasan kenapa kelong harus tetap diperkenalkan dan diajarkan kepada semua orang, sebab meski telah dibuat bertahun-tahun silam, pesannya tak lekang zaman, bahkan tetap bermanfaat di era sekarang.

Tutu laloko ri kana
Ingakko ri panggaukang
Kodi gauknu
Kodi todong balasakna

Terjemahan:
Hati-hatilah engkau berkata
Ingatlah pada perbuatan
Buruk perbuatanmu
Buruk pula balasannya.

Editor: Almaliki