Regu bukan hanya istilah untuk menyebut gugus pramuka, kelompok sepak bola maupun olahraga lainnya. Dalam bahasa Jawa, regu dapat diartikan tenang, berwibawa, wingit, namun tidak menakut-nakuti. Sedangkan istilah regu pada tulisan ini ialah unsur penting dalam memahami rasa musikal pada sajian gending gamelan.

Sama halnya dengan sekelompok pengrawit yang menyajikan sebuah pementasan gending. Mereka memang dapat disebut sebagai regu pengrawit, namun berbeda dengan sekelompok pengrawit yang menyajikan gending regu. Kendati para pengrawit membawakan gending regu, belum tentu gending regu tersebut dapat mencapai nuansa regu apabila tidak memenuhi ketentuan dari konsep regu.

Seluruh elemen yang ada pada seni karawitan, baik pelaku, penikmat, hingga komposer karawitan–menganggap regu memiliki arti yang kompleks. Bukan hanya sebatas menyaksikan sekelompok pengrawit yang sedang memainkan gamelan, melainkan dibutuhkan juga indra pendengaran yang tajam serta kepekaan rasa musikal gamelan untuk dapat menilai suatu gending sudah mencapai rasa regu atau belum. Dalam hal ini, proses penyajian gending menjadi penentu utama yang dapat memberikan sentuhan regu.

Seniman atau pengrawit yang sudah dikatakan senior, biasanya cukup menggunakan roso saja dalam membedakan antara gending regu dan bukan. Dengan roso yang dimiliki, pengrawit senior dapat menilai dengan mudah, apakah suatu pementasan gending sudah mencapai regu atau belum?.

Hal ini menunjukkan bahwa saat ini, regu baru berhenti pada tatanan rasa para pengrawit yang sudah khatam seluruh elemen yang ada pada karawitan. Lalu, bagaimana pengrawit muda dan orang awam yang profesinya di luar pengrawit, dapat mengetahui gending yang regu dan gending yang tidak regu?. Belum ada kajian lebih lanjut mengenai gending regu ini dapat dipahami oleh orang-orang yang bukan pengrawit.

Regu yang berhubungan dengan penggambaran tentang roso dalam sebuah sajian gending karawitan Jawa, belum dipahami masyarakat secara mendalam melalui analisis keilmuan. Hal ini terjadi di kalangan pengrawit itu sendiri, di kalangan akademisi seni karawitan, bahkan di kalangan umum maupun audience.

Konsep regu belum dirumuskan secara mendalam. Agar dapat menjadi bekal untuk memahami jenis-jenis gending regu, serta dapat membedakan gending yang sudah mencapai rasa regu atau belum, saya mengumpulkan data lewat sesi wawancara dengan beberapa pengrawit.

Ternyata, masih ada pengrawit yang belum memahami konsep regu dalam karawitan Jawa. Bahkan, ada pula pengrawit yang baru pertama kali mendengar istilah regu dalam karawitan Jawa.

Tidak semua gending karawitan Jawa memiliki sifat regu. Gending-gending regu kebanyakan berlaras pelog pathet 5 atau situasi musikal pada wilayah rasa sèlèh tertentu, serta slendro pathet 6 atau nama salah satu sistem laras yang terdiri dari 5 nada yang digunakan dalam karawitan. Gending dalam kategori ini mempunyai karakter suasana tenang, berwibawa, klasik, halus, tidak bergejolak dan mengalir. Dikatakan demikian karena dalam penyajiannya, seluruh pengrawit kompak, tidak ada yang mendominasi, maupun terdapat loncatan nada yang ekstrim.

Pada dasarnya, gending regu memiliki sifat tenang seperti pada gending-gending gedhe (besar) yang belum menggunakan gerongan atau senggakan. Ciri-ciri lain dari gending regu dapat dilihat dari segi komposisi, di antaranya adalah gending yang memainkan balungan nibani atau bentuk balungan di mana dalam satu gatra ketukan 1 dan 3 kosong. Sedangkan ketukan genap yaitu 2 dan 4 berisi nada dan bonangan mipil lamba atau permainan bonang yang setiap dua nada yang berpasangan secara bergantian, ditabuh sebanyak dua kali.

Regu, biasanya juga terdapat pada gending-gending rebab dan gending-gending klenengan. Beberapa contoh gending-gending gedhe yang banyak memunculkan rasa regu ialah gending rarajala pelog 5 dan marasanja slendro 6.

Marc Benamou dalam bukunya berjudul Rasa, Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics, menjelaskan tentang regu yang apabila dilihat secara nilai memberi kesan klasik, berwibawa, gagah, sentosa, agung, nama gelar seorang pemimpin yang berwibawa (mrabu) dan menghormati (ngajeni), sehingga gending regu termasuk gending yang berat dan susah untuk disajikan dan mencapai roso regu.

Jika diamati secara seksama, apa yang ditulis Marc Benamou, menggiring kita pada pemikiran bahwa, gending yang regu belum tentu dapat dinilai regu apabila tidak memenuhi kriteria yang terdapat pada gending regu tersebut. Selain sudah tuntas pada persoalan hafalan gending, serta teknik dan garap–menyajikan gending regu juga membutuhkan konsentrasi tinggi, hati yang sabar, tenggang rasa serta ketenangan. Semua ini dilakukan untuk mencapai keselarasan, atau yang berarti bahwa semua bunyi ricikan gamelan sudah menyatu tanpa ada satu ricikan pun yang menonjol.

Secara garap, terdapat anggapan bahwa apabila gending-gending regu dimainkan oleh pengrawit muda jauh lebih sulit untuk mencapai regu. Sebab pada umumnya, pengrawit muda kurang bersabar. Hal ini berhubungan dengan cara penyajian gending regu yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup berat.

Gending yang regu membutuhkan roso menep atau konsentrasi tinggi serta kemampuan untuk meletakkan kesabaran yang tinggi. Jika yang memainkan gending regu adalah pengrawit muda, biasanya akan tampak bahwa mereka belum menep, semeleh (meletakkan kesabaran dan menggunakan roso), belum tenang, serta masih ingin menunjukkan kemampuannya dalam memainkan irama lagu, atau yang disebut juga dengan cengkok.

Gending regu dapat dilihat dari tabuhannya yang bercirikan keselarasan: pembagian suara merata dan setara. Ketika akan mendengarkan semua ricikan yang dimainkan dalam gending regu, maka seluruhnya akan terdengar merata, tanpa ada satupun ricikan yang menonjol ataupun mendominasi.

Rasa musikal adalah sesuatu yang subyektif. Sebab itu, hampir mustahil menyeragamkan persepsi rasa musikal, karena setiap orang mempunyai standar capaian masing-masing. Di sisi lain, persoalan ini juga penting dipahami, agar pesan dari gending yang disajikan dapat tersampaikan dengan baik. Ketika komposer merangkai notasi menjadi gending dengan rasa regu, tentu pengrawit harus berusaha agar dapat menyajikan gending itu sampai pada capaian tertingginya, yakni regu.

Penyunting: Nadya Gadzali