Mengandaikan adegan sebuah makanan yang Anda pesan telah sampai di meja. Apakah ritual berdoa sebelum makan masih Anda lakukan? Atau mungkin malah lupa dan melakukan ritual baru yang dianggap lebih krusial, seperti membidik sudut foto makanan yang telah dihidangkan dengan kamera ponsel, lalu mengutak-atik foto itu dengan perangkat lunak termutakhir agar tampak lebih menarik. Dikonstruksi sedemikian rupa dan dibagikan melalui kanal-kanal sosial media, agar seluruh jaringan pertemanan maya dapat melihatnya.
Ritual berdoa sebelum makan terpaksa mengalah demi menegaskan eksistensi diri di "Desa Potemkin". Sebuah konstruksi palsu, di mana aktivitas sosial yang nyata diabaikan untuk mengejar angka-angka yang menghitung interaksi sosial. Tak ada lagi doa bersalut rasa syukur atas nikmat karena masih dapat menikmati nasi liwet dan gurihnya tempe goreng hari ini. Tak ada lagi petuah yang menjadi ritual untuk diterapkan sebelum makan, memohon kepada Tuhan agar makanan yang disantap menjadi berkah bagi tubuh.
Saya dan kalian adalah generasi 2.0. Generasi yang eksistensinya lekat dengan jaringan internet. Generasi yang hidup di sebuah desa digital dengan piranti gawai mutakhir penghubung jaringan global. Tentu saja kehidupan baru ini juga mempengaruhi cara bersosialisasi dan menanggapi sesuatu. Bila mengunggah foto adalah penegasan eksistensi generasi 2.0 di ruang maya, maka membagikan foto makanan termasuk salah satunya.
Tapi bukankah makan juga salah satu bagian dari budaya? Sama seperti kebiasaan atau kegiatan lain yang patut dicitrakan dan dibicarakan bukan hanya masalah kebutuhan dasarnya, tapi juga kelindan sosial budaya yang melingkupi ritus makan beserta ragam corak makanannya?
Selama ini kesan kita mengunggah foto makanan hanya mencitrakan sisi kemolekan sebagai sebuah entitas yang isinya enak dan lezat melulu, tak hanya sebagai sebuah kenang-kenangan atas sebuah momen, hal ini pantas kita duga dan ditinjau lebih dalam.
Mengunggah makanan dapat dilihat sebagai sebuah arena kompetitif, cara yang populer untuk menunjukkan kelas sosial kita kepada orang lain. Kita kerap mengesampingkan pembahasan lebih jauh tentang berbagai khasanah sosial masyarakat dan tetek-bengek kisah di balik ritus makan di tanah Nusantara. Maka tak heran jika kritik kerap dilontarkan bahwa kegiatan makan besar hari ini seakan-akan sangat berorientasi pada hura-hura semata, profit, dan miskin makna.
Secara etimologis, ada diksi yang mengakumulasi kegiatan makan-makan ini sebagai sebagai perayaan yang menekankan euforia ketimbang ekspresi spiritual. Padahal, sebenarnya kita bisa menceritakan kisah kemanusiaan Indonesia ke dunia, menyelipkan kisah tentang kearifan suatu daerah dan masyarakatnya. Di balik narasi betapa nikmatnya nasi kebuli, nasi liwet, atau soto dengan daging sandung lamur dan sekerat paru goreng, banyak tersimpan kisah kemanusiaan yang menarik.
Sejauh yang saya tahu, semoga juga anda, bahwa terminologi “makan” cukup sering digunakan sebagai tajuk sebuah penyampaian rasa syukur, misalnya selamatan, syukuran, brokoan, bancaan dan lain sebagainya. Mulai dari kelulusan sekolah, menyambut tahun baru, ulang tahun, kelahiran bayi dan pencapaian dalam kehidupan sehari-hari. Seakan-akan untuk menahbiskan dan menguatkan kesan euforia dari capaian hidup.
Perayaan ini hadir sebagai ucapan rasa syukur atas segala hal baik yang besar maupun kecil yang ada dalam kehidupan manusia. Mari kita simak salah satu fakta bahwasanya perayaan rasa syukur merupakan salah satu produk budaya yang sudah cukup tua. Meski tak pernah jelas persisnya kapan, namun eksistensinya sama tua dengan kesadaran manusia terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya (transenden) dan kesadaran untuk berrelasi dengan kekuatan itu sendiri.
Salah satu contohnya adalah brokohan di tempat saya. Brokohan berasal dari kata bahasa Arab yaitu barokah yang artinya 'mengharapkan berkah'. Brokohan secara umum bagi masyarakat Jawa ialah tradisi yang digelar ketika seorang Ibu melahirkan anak. Barokah yang dalam bahasa arab mengacu pada harapan untuk mendapatkan berkah, merupakan akar etimologis dari kata broko’an. Kemudian tradisi ini mewujud dalam berbagai harapan, karena masyarakat di tempat saya tinggal tak begitu antusias dalam menggunakan rumus nama yang catchy atau ditambah dengan fest.
Pemaknaan rasa syukur dan harapan baik, disederhanakan menjadi perayaan dan menyebut brokohan sebagai diksi yang menandai bentuk pengharapan serta ungkapan rasa syukur yang jamak, bukan hanya kelahiran bayi saja. Puncaknya adalah makan bersama. Ketika kini makan bersama tidak sekedar untuk tujuan sakral dan spiritual, maka sebenarnya ada sesuatu yang dapat kita titeni atau perhatikan.
Bisa jadi, hal itu memang perkara pemakaian bahasa saja. kita bisa mengacu pada tradisi sekaten. Perayaan yang hari ini lebih dikenal karena bazar pakaian awul-awul-nya ketimbang esensi perayaannya. Ini adalah bentuk festival dengan unsur muatan lokal masyarakat Jawa. Perayaan ini sebenarnya merupakan peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Di Yogyakarta, sekaten mewujud dalam bentuk berbagai upacara penghormatan. Sejatinya produk budaya tidak pernah apolitis. Suatu budaya dapat dilihat sebagai arena kontestasi wacana. Selalu ada nilai, standar, identitas, resistensi yang ditawarkan terhadap budaya. Pola-pola kehidupan yang timbul berkaitan dengan tradisi adalah untuk mengendalikan kehidupan dinamis dalam masyarakat.
Relasi sosial masyarakat yang lebih berciri khas, serta kesadaran yang sifatnya lebih sekuler membuat ekspresi spiritual tidak lagi perlu ditelaah secara kaku. Begitu juga wacana brokohan sebagai salah satu produk budaya yang sejatinya dapat menjadi sebuah identitas dari suatu tempat atau kelompok masyarakat, mencoba menentukan standarnya yang khas dan coraknya tidak kita temukan di kebudayaan lain.
Dalam konstruksi identitas tersebut, terdapat unsur pembeda dan cara pandang yang coba ditawarkan kepada masyarakat, salah satunya melalui perayaan makan-makan. Perayaan rasa syukur pada brokohan juga dapat pula berfungsi sebagai pengingat dan penegasan kembali tradisi-tradisi masyarakat yang selama ini telah melekat dalam keseharian.
Momen euforia dalam brokohan atau makan bersama ini membawa setiap orang untuk saling bertemu dalam suasana hangat untuk mensyukuri capaian yang selama ini di nantikan, baik personal maupun kelompok, dengan sukacita. Karena itu, tajuk ini merupakan rekonsiliasi masif dan massal yang menciptakan suasana tenteram dan akrab di masyarakat. Tradisi ini bukan hanya dapat dimaknai sebagai peristiwa teologis, tapi juga fenomena budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sukosari.
Hati yang bahagia dan adanya kesamaan identitas sosial antara tujuan, harapan, dan capaian bersama mendorong hati seseorang lebih lapang. Literatur-literatur tentang dinamika psikologis manusia dalam menjalankan ajaran budaya, menunjukkan bahwa budaya juga berperan sebagai standar baku tentang perilaku ideal yang harus ditunjukkan oleh masyarakat.
Dengan memiliki identitas sosial yang kuat terhadap tradisi atau budaya, maka seseorang akan mengevaluasi semua sikap dan perilakunya seselaras mungkin dengan apa yang diajarkan oleh budaya daerahnya, sekalipun itu bertentangan dengan sikap dan preferensi pribadinya. Sebagai contoh adalah etika makan di acara brokohan. Seseorang akan mengesampingkan soal selara makan. Kendatipun sebagian dari mereka tak suka dengan hidangan yang tersaji. Tapi dalam momen gembira ini mereka akan tetap larut dalam suasana hanggat dan mencicip makanan yang ada.
Kearifan lokal masyarakat Desa Sukosari ini dapat direka sebagai ragam rupa yang tidak terbatas fungsinya, sebagai ajang hura-hura, sekaligus menjadi perekat dan muncul sebagai identitas suatu daerah, suatu kelompok masyarakat.
Penyunting: Nadya Gadzali