Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat 33 jenis kain tradisional dari berbagai daerah di Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi adalah daerah-daerah penghasil kain tradisional yang tersohor dengan aneka ulos, tenun, dan songketnya yang beraneka ragam. Begitu pula dengan Provinsi Bali, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Jawa, dan DKI Jakarta yang menawarkan keindahan rupa-rupa kain tradisional yang tidak kalah masyhur.
Ciri khas, simbol, warna, dan material yang digunakan, menentukan selembar kain sehingga dapat dikatakan wastra nusantara. Terminologi wastra diserap dari Bahasa Sanskerta, KBBI menerjemahkannya sebagai kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri yang mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan. Dari segi pengaplikasian motif, wastra digolongkan menjadi dua jenis yang tampak pada permukaan kain, yaitu reka rakit dan reka latar.
Di Kampung Kaduketug, Desa Kanekes, Provinsi Banten misalnya, tenun Badui tidak dihias setelah menjadi selembar kain, melainkan bersamaan pada saat kain tenun itu dibuat (reka rakit) dengan pakara tinun. Masyarakat Badui meyakini pakara tinun sebagai jelmaan tubuh Nyai Pohaci Sanghyang Asri, dewi yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat agraris.
Dikisahkan, kecantikan Nyai Pohaci membuat gusar mandala hiyang (kahyangan). Para dewata kemudian mengutusnya ke buana panca tengah, tempat tinggal manusia yang fana dan berlumuran waktu. Tokoh mitologi Nyai Pohaci berasal dari moralitas komunitarian masyarakat Badui yang sarat akan kisah-kisah humanis dan pengorbanan.
Meski begitu, legenda tidak memerlukan validasi di ruang penalaran, sebagaimana diungkap Yasraf Amir Piliang dalam “Posrealitas”, bahwa moralitas mitologis tidak memberi ruang bagi penyidikan nalar filosofis.
Sebagai objek puja, Nyai Pohaci terlahir di alam pikiran masyarakat Badui yang secara demografis mayoritas bekerja sebagai petani. Sedangkan orang-orang di luar Kanekes mengenalnya sebagai sosok Dewi Sri, yang simbol dan perwujudannya dapat dijumpai dalam upacara-upacara adat perayaan panen, seperti hajat lembur dan sedekah bumi.
Kemuliaan dan kekuatan magis (mythical characteristics) Nyai Pohaci diyakini dapat mendatangkan berkah bagi kehidupan manusia di buana panca tengah. Ada yang menganggapnya nutrisi alami bagi tanaman padi, ada pula yang meyakininya bersalin rupa menjadi pakara tinun. Dari keduanya, masyarakat Badui beroleh manfaat kesejahteraan dalam bentuk kecukupan sandang, pangan, dan papan.
Sarja, seorang warga Badui yang mendalami teknik dan alur pembuatan kain tenun di Kampung Kaduketug, menjelaskan struktur pakara tinun dan pengaplikasian motif. Mula-mula dengan menyusun helai-helai benang pada patitihan untuk mengatur pola anyaman dengan jumlah jingjingan yang berbeda-beda untuk setiap motif.
“Motif adu mancung misalnya, atau suat songket, menggunakan tiga jingjingan, fungsinya untuk mengikat benang,” ujar Sarja. “Sebelum itu, benang dipintal terlebih dahulu menggunakan kandayan.”
Nina Mafthuka, Yustiono dan Ira Adriati dalam jurnal ilmiah bertajuk “Visualisasi Tenun Baduy” (Program Studi Magister Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung) mendata sepuluh ragam hias motif tenun Badui Luar dengan estetika dan filosofi yang berbeda-beda, antara lain Tajur Pinang, Adu Mancung, Suat Kembang Gedang, Suat Samata, Suat Balingbingan, Sarung Poleng Kacang Herang Carang (sarung pria), Sarung Kacang Herang Kerep (sarung perempuan), Suat Mata Baru, Susuatan/Sanglur/Batik Baru dan Suat Songket.
“Pakara tinun terdiri dari dari cangcangan, totogan, pangrambuan, limbuhan, patitihan, kekedal, barera, rorogan, jingjingan, sisir, hapit, tali cawor, toropong, sampai pajal,” katanya seraya menunjuk ke bagian-bagian alat tenun bukan mesin (ATBM) yang sedang digunakan Lina, istrinya.
Mengenal satu set alat tenun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain jenisnya yang beragam, urutan dan teknik penggunaannya pun terbilang rumit. Itu sebabnya, para perajin tenun Badui sudah dikenalkan pada alat tenun sejak usia dini. Sebab bagi bagi mereka, kain tenun tidak hanya berfungsi sebagai pakaian adat, tetapi juga identitas kesukuan, penanda status sosial, dan penghormatan terhadap leluhur.
Sebagai karya seni, tenun menempatkan para perajinnya dalam pemberdayaan, khususnya perempuan, sehingga mampu berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kreatif daerah.
Kendati belum dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda, kaum perempuan di Kaduketug, kampung terluar di wilayah Badui Panamping (Badui Luar), tetap konsisten memproduksi kain tenun sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya leluhur.
Berlatih tenun dilakukan di bagian rumah adat Suku Badui yang disebut dengan sosompang (teras rumah). Di ruangan inilah orientasi terhadap alat tenun dilakukan anak-anak perempuan. Diawali dengan penggunaan lima bilah bambu, yang dua di antaranya berfungsi sebagai cangcangan untuk direkatkan ke dinding sosompang.
Elemen bambu lainnya berfungsi sebagai totogan yang diletakkan di antara dua bilah cangcangan untuk mengikat ujung benang lungsi; keteg untuk mengencangkan anyaman; hapit untuk mengikat ujung benang lungsi; dan pengait untuk melingkari tubuh penenun yang disebut dengan tali cawor.
Di samping teknik pembuatan tenun, pendidikan mental, spiritual, falsafah hidup, serta etika dan perilaku juga ikut diberikan kepada perajin tenun muda, termasuk pemahaman bahwa menenun adalah pekerjaan yang memerlukan niat yang tulus, hati yang bersih, dan harapan yang tinggi agar kelak mendatangkan berkah dan keberuntungan bagi penggunanya.
Keunikan tenun Badui sudah tersiar ke seluruh penjuru negeri. Aros dan poleng hideung menjadi primadona kain tenun Badui yang digandrungi para pegiat wastra, perancang busana, kolektor kain hingga wisatawan. Pasalnya, dua motif tenun itu mewakili dualitas kosmik dalam kehidupan Suku Badui: oposisi biner yang saling berlawanan namun saling melengkapi.
Ragam hias motif tenun Badui dibedakan menjadi dua jenis sesuai karakteristik dan pandangan filosofis masyarakat Badui Dalam (Badui Tangtu) dan Badui Luar (Badui Panamping). Dalam strata adat Badui, puun didapuk sebagai pemimpin tertinggi yang menurut batas-batas teritorial membawahi tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Sedangkan jaro tujuh, termasuk jaro saija, merupakan tatanan lembaga khusus di wilayah Badui Luar yang menjalankan tugas-tugas administratif kepemerintahan, tetapi secara adat tetap tunduk pada otoritas tertinggi di Badui Dalam.
Di sudut Kampung Kaduketug, seorang pemuda Badui yang akrab disapa Maman tampak tenggelam dalam kesibukan menggulung benang di sebuah ruang yang didirikan tepat di samping tempat tinggalnya. Ayahnya, Sukma, menekuni pewarna alam dan mewariskan keterampilan membuat pewarna alam dari aneka tumbuhan.
Ruang separuh terbuka itu adalah atelir pewarnaan alami benang, tempat ia menghasilkan bahan pewarna kain. Paparan warna yang dihasilkan lebih mengarah pada earthy-tone, tidak mengekspos rona tunggal. Teknik pewarnaan itulah yang membuat kain khas Badui tampak alami.
Benang yang belum selesai diwarnai ia biarkan tetap menjuntai. "... yang ini masih harus dijemur di bawah sinar matahari. Perlu satu sampai dua minggu supaya dapat hasil yang diinginkan, satu hari bisa sampai enam kali nyelup, itupun kalau cuacanya bagus, teh," ujar Maman di sela-sela memroses pewarnaan.
“Tanamannya macam-macam, ada yang terbuat dari reungrang, tarum, mahoni, putri malu, dan kayu secang, tergantung warna apa yang ingin dihasilkan. Tapi ada juga yang dari rendaman paku berkarat supaya warna coklat jadi lebih tegas”, ujar Maman di sela-sela kegiatan menggulung benang yang sudah siap jual.
Hingga saat ini, potensi kekayaan hayati di wilayah permukiman Badui sudah dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Pewarnaan alam benang sebagai kearifan lokal masyarakat Badui merepresentasikan keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya, sebagaimana diungkap Djoewisno (1987) yang membingkai keharmonisan dan kesinambungan dalam praktik kehidupan masyarakat Badui dalam bukunya yang berjudul “Potret Kehidupan Masyarakat Baduy.” Ia memaparkan bahwa aturan adat Badui sejatinya telah mengatur relasi antara manusia dan alam.
Harga kain tenun Badui bervariasi menurut tingkat kesulitan, bahan yang digunakan, dan proses pewarnaan. Tenun yang dihias dengan pewarna alami tentu saja lebih mahal ketimbang yang dirupa dengan pewarna sintetis.
Masyarakat awam mungkin hanya menyorotinya dari perspektif ekonomi. Ketidaktahuan mengenai produksi tenun membuat aspek-aspek penting lainnya luput dari perhatian, bahwa tenun yang dibuat dengan pewarna alami, selain memakan waktu lama, perlakuannya pun berbeda hingga dapat menjadi selembar kain yang berkualitas.
Menanggapi hal itu, pendiri Kridha Dari, Cilla Estevina, berpendapat bahwa edukasi tentang kain tenun perlu ditumbuhkan sejak dini. “Dulu, waktu sekolah kan kita bisa ikut macam-macam kegiatan, seperti tata boga, menjahit, elektro, sampai olahraga. Di beberapa sekolah bahkan sudah ada ekstrakurikuler musik dan tari tradisi. Minat pada kesenian tradisi ditumbuhkan sejak dini agar paralel dengan apresiasinya sampai kita dewasa.”
Pada kesempatan yang sama, Cilla juga menjelaskan bahwa Kridha Dari (Komunitas Perempuan Pelestari Budaya Nusantara) telah melahirkan tunas muda, yakni Kridha Muda yang menginduk pada Kridha Dari yang ia dirikan pada tahun 2021. Misinya adalah untuk membangkitkan kepedulian budaya pada generasi muda. Ia berpandangan bahwa kebudayaan adalah peradaban suatu era yang perlu tetap dilestarikan dengan menjaga pakem-pakem yang telah diwariskan oleh leluhur.
Cilla juga menekankan bahwa nilai seni seharusnya bisa meningkatkan nilai ekonomi para pelaku di industri tenun. Karena itu, Kridha Muda melakukan pendokumentasian yang bukan sekedar mendata, tetapi mencari generasi muda lokal untuk dilibatkan dalam kerja-kerja pelestarian budaya. “Mungkin dalam format kolaborasi atau boleh jadi keterlibatan dalam bentuk lain, yang penting mereka bisa menjadi agen perubahan mewakili daerah masing-masing,” tandasnya petang itu.