Budaya dan kultur masyarakat di masa depan berada di tangan para penerus yang menentukan pergerakan sebuah peradaban baru. Mereka adalah generasi atau orang-orang yang berada di dalam sistem dan struktur pembangunan sosial budaya yang relevan dengan keadaan zaman.

Kenyataan bahwa evolusi pasti akan terjadi, kita sekarang hidup di dunia yang terobsesi dengan kebaruan dan serba-serbi modernitas. Hidup yang dulu ditujukan untuk menemukan ketenteraman, berubah menjadi perlombaan pemenuhan kebutuhan.

Evolusi menyeret peradaban manusia tercerabut dari akar kodratinya. Alam dan manusia diceraikan agar keduanya dapat dieksploitasi demi kiblat baru yang bernama kemajuan. Mekanisme kehidupan berjalan menjadi sangat teknokratik. Tidak sebagaimana dalam dunia tradisi di mana manusia dan alam melebur dalam kesatuan kosmik.

Era modern yang begitu mengukuhkan ilmu pengetahuan, menyulap alam sebagai objek yang dimaknai oleh manusia sejauh ia dapat dibuktikan kebenarannya melalui metodologi ilmiah. Sesuatu yang dikatakan nyata, apabila itu memang hadir berdasarkan fakta visual dan sentuhan.

Sebagian orang kembali mempertanyakan apa yang disebut dengan modern dan maju. Mempertanyakan dampak industrialisasi dan kemajuan ekonomi pada kehidupan sehari-hari, dari gaya hidup hingga pola konsumsi.

Manusia zaman dulu tidak mengenal industri pengolahan pangan. Mereka memakan makanan dari yang mereka tanam kemudian dimasak menjadi berbagai macam olahan atau yang kini disebut makanan tradisional dan jajanan pasar, membuat tungku api dari tanah liat, memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar, atau paling jauh, mereka mengawetkan bahan makanan dengan diasapi atau dikeringkan, makan dengan piring dari daun pisang atau jati dan peralatan gerabah.

Interaksi mereka di ruang sosial dikuatkan dengan istilah yang disebut srawong. Duduk bersama membicarakan sejarah di kampung mereka. Sebagian dari kita kembali menengok masa silam. Zaman embah-embah kita dulu ketika manusia masih hidup mengandalkan ketersediaan bahan baku dari alam. Dengan kesadaran orang untuk back to nature, kembali ke alam, dan kembali menghargai hal-hal tradisional, termasuk kultur dan budaya tradisional.

Imbas dari evolusi yang terjadi. Dunia berubah layaknya lintasan lari tanpa garis finish. Dunia dipenuhi dengan pawai, ingar-bingar persaingan dengan menghadirkan keistimewaan. Ketika dunia berevolusi, tak peduli kita terengah-engah di dalamnya memburu laju modernitas. Lalu kita mulai merindukan kelambatan hidup seperti sediakala.

Mungkin kita perlu merangkai imajinasi, membayangkan berlayar di kanal-kanal Venesia, singgah sejenak di Budapest dan Oslo. Mengandaikan kisah kanonik dalam adegan Titanic antara Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio ketika membentangkan tangan, berpelukan di atas kapal sambil memejamkan mata. Demi meneduhkan kelelahan, kala kita dijejali kehidupan yang penuh dengan ingar-bingar.

Tetapi syukurlah itu tak perlu. Sebab di sudut utara dari kota tempat saya menetap, tepatnya Pasar Pundensari, Desa Gunungsari, Kabupaten Madiun, mampu membawa kita berlayar ke era 70an. Di mana hidup penuh dengan nuansa damai dan sejahtera.

Pasar Wisata dengan Nuansa Tempo Doeloe yang Menentramkan

Apakah tren era 70an masih bermakna sampai sekarang? Pintu masuk paling mudah untuk membahas esensi dari kilas waktu ini adalah relevansinya dengan khalayak. Sesuatu dianggap menarik bila ia dapat menyentuh audiens. Mari kita putar mesin waktu menuju tahun 1970. Apakah konteks yang disuguhkan Pasar Pundensari masuk ke dalam memori orang-orang modern?

Pagi berjalan ke siang, udara yang sejuk mulai terpapar matahari, terdengar legam Jawa dari seniman musik tradisional menyambut pengunjung pasar.

“ Enake jangan asem kecut
Sambele kemangi
Mangane bubar nyambut gawe
Nadyan lawuh tempe neng sehat awake
Segere ngombe banyu kendi
Rokok nglinting dewe
Nadyan mung manggon ono ndeso
Nyatane ayem tentrem kumpul sak keluwargo”

Berikut adalah penggalan lirik lagu sambel kemangi salah satu langgam Jawa yang dinyanyikan musisi Pasar Pundensari. Lirik yang mengabarkan ketenteraman hidup di desa dengan kultur masyarakat Jawa yang khas.

Di balik berdirinya Pasar Pundensari ada sosok sentra yang menjadi ujung tombak, yaitu Bernadi Sabit Dangin yang akrab disapa Mas Bernad. Bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Gunungsari. Membangkitkan gairah masyarakat untuk kembali ke kultur yang dekat dengan alam. Kemudian menyulapnya jadi potensi ekonomi yang menguntungkan, dengan menggagas ide pengelolaan pasar berbasis budaya yang ramah lingkungan dalam corak era 70an.

Pasar Pundensari yang berdiri sejak lima tahun lalu ini adalah pasar yang dapat menggambarkan suasana tempo dulu dengan nuansa zaman embah kita. Pasar ini hanya buka setiap hari Minggu pagi hingga jam 11 siang saja. Pasar wisata Pasar Pundensari adalah salah satu ruang untuk memberdayakan masyarakat setempat.

Lapak pedagang di pasar ini dibuat dari bahan alami, seperti atap dari daun kelapa atau jerami. Bangunan kiosnya terbuat dari bambu. Lapak pasar ini hanya menjual aneka kuliner saja. Sebagian besar kuliner tradisional, seperti jajan pasar, sego brokohan, es cendol, sate tahu, es gempol, nasi pecel, es dawet, dan lain sebagainya.

Aneka ragam permainan tradisional kini sulit dijumpai. Sepasrah orang tua zaman sekarang yang membiarkan anak-anaknya menonton tayangan video di gawai, atau memberikan mereka gadget untuk bermain game console supaya diam dan tidak merepotkan.

Kegelisahan ini mungkin kita rasakan bersama. Sudah banyak orang-orang yang beropini demikian. Tapi sayangnya, tak ada respons yang konkret dan mau melakukan tindakan nyata. Kondisi seperti itu dengan sadar dibiarkan terjadi begitu saja.

Pasar Pundensari menjawab tantangan ini dengan menghidupkan kembali berbagai permainan tradisional. Dikenalkan pada anak-anak modern agar menjadi permainan yang menyenangkan. Di antaranya, permainan egrang, bakiak, hingga engklek.

Tak berlebihan kiranya Pasar Pundensari disebut sebagian kecil dari surga. Masyarakat yang ramah, dan kearifan lokal yang di tawarkan, wilayah sejuk dengan pemandangan desa yang asri, dan iringan langgam Jawa yang menghadirkan suasana tenteram.

Pasar Unik dan Ramah Lingkungan

Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa penempatan produk di swalayan dan minimarket ditata sedemikian teratur dan gemerlap? Apakah produk disusun berdasarkan abjad agar mudah mencarinya? Atau dari harga termurah ke yang lebih mahal? Supermarket punya strategi mereka sendiri untuk menempatkan produk-produk yang menarik pelanggan. Melalui diskon, kostum pelayan, kalimat penyambut, dan lain sebagainya.

Umumnya, yang sering melakukan ini adalah minimarket dan supermarket besar yang sudah cukup terkenal. Pusat perbelanjaan yang memiliki bujet besar untuk menempati lokasi premium. Ini bagian dari kebutuhan strategi pemasaran yang ampuh untuk menarik perhatian calon pembeli.

Demikian Pasar Pundensari menggagas ide menarik. Selain pengunjung disambut dengan iringan tembang-tembang Jawa, mereka akan disuguhkan riuh pasar di era 70an. Hal unik lainnya di pasar ini adalah cara bertransaksi yang tidak menggunakan uang rupiah, melainkan menggunakan uang dari bambu dengan nominal yang telah ditentukan dan disediakan oleh pengelola pasar. Sebelum masuk  pasar, pengelola menyediakan tempat khusus untuk menukar uang rupiah dengan duit pring atau uang bambu.

Pasar ini sengaja tidak menggunakan plastik sekali pakai, jika Anda ingin membawa pulang makanan, Anda harus membawa kantong plastik atau tas sendiri dari rumah. Ini sebagai langkah kecil untuk mengedukasi masyarakat untuk mengurangi kebiasaan masyarakat dalam penggunaan kantung plastik sekali pakai. Wadah makanan yang digunakan penjual juga ramah lingkungan, seperti daun pisang, daun jati, hingga wadah dari perabot tanah liat dan batok kelapa untuk keperluan penyajian.

Tradisionalitas

Pasar Pundensari kental nuansa budaya Jawa dengan menjaga otentisitas budaya Jawa. Setiap pedagang dan penyedia jasa di pasar ini mengenakan pakaian tradisional Jawa. Banyak kesenian tradisional ditampilkan, sehingga memberi hiburan pada pengunjung saat menikmati makanan di sana. Kesenian tersebut berupa gamelan, angklung, cokekan hingga musik akustik.

Kita selalu mengambil keputusan saat hendak menentukan pilihan dan mempertimbangkan faktor manfaat serta motivasi. Dengan adanya batasan waktu, menyentuh sisi primitif masyarakat dan memutuskan sesuatu secara impulsif lantaran tidak ingin kehilangan momen.

Ini alasan mengapa Pasar Pundensari menjadi menarik, karena latar belakang obyeknya yang dapat menjadi semacam jendela bagi masyarakat masa kini untuk melihat potret kehidupan masyarakat saat kehidupan belum penuh superioritas seperti sekarang. Mengunjungi Pasar Pundensari adalah tentang menikmati potret kecil Indonesia di era kolonial atau era orde baru dari sisi positif.

Penyunting: Nadya Gadzali