Saya ingat betul sewaktu mendiang nenek masih hidup. Banyak sekali tradisi Jawa yang masih ia pegang. Tradisi tersebut rupanya tidak hanya dijalankan oleh nenek saya, tetapi juga oleh tetangga sekitar rumah, terutama oleh mereka yang telah berusia lanjut seperti nenek.
Terlahir dari keluarga Jawa, lalu tinggal di perkampungan yang mayoritas warganya juga Jawa— praktis membuat saya tidak bisa lepas dari tradisi orang Jawa. Saya ketika kecil sebenarnya belum memahami makna dari setiap tradisi rutin yang digelar berdasarkan momentum tertentu. Namun, ada satu hal yang paling saya ingat: almarhum nenek tak pernah melewatkan ritual selamatan.
Dalam lingkungan Jawa, tradisi selamatan lebih dikenal dengan istilah bancakan. Tradisi ini dijalankan dalam bentuk bagi-bagi nasi yang diolah oleh keluarga yang menggelar ritual selamatan. Nasi putih dihidangkan bersama kluban (urap-aneka sayuran hijau yang direbus lalu diberi parutan kelapa berbumbu). Tak lupa menambahkan lauk pelengkap untuk menambah kenikmatan, seperti gereh (ikan asin), tempe, tahu, telur, dan bisa ditambahkan sesuai selera dan anggaran. Dulu, nasi bancakan dibungkus nenek menggunakan daun pisang yang memanfaatkan biting untuk menyematkan bungkusnya.
Nenek biasanya membuat nasi bancakan sesuai jumlah tetangga pada satu RT. Ia menghitung berdasarkan kepala keluarga yang ada di setiap rumah. Tak jarang, ia menambahkan porsinya jika kami sedang berlapang rezeki, atau ketika nenek mengetahui keluarga tersebut dalam kondisi membutuhkan. Bahkan, nenek juga menambahkannya untuk satu rumah jika ia tahu di dalamnya ada anak kecil seperti saya yang begitu girang menerima nasi bancakan. Nenek tak mau anak-anak kecil seperti saya, berebut bancakan dengan saudaranya hingga bertengkar.
Seingat saya, ritual bagi-bagi nasi bancakan ini dilakukan ketika anggota keluarga kami merayakan hari lahirnya sebagai bentuk ungkapan syukur karena telah dilimpahi berkat oleh Sang Pencipta untuk mengarungi hidup dalam yang usia baru— sesederhana menandai sebuah momen dengan semangat berbagi kepada sesama. Dengan harapan, Sang Pencipta terus memberikan keselamatan bagi kami.
Bancakan juga dilakukan ketika ada anggota keluarga kami yang meraih sebuah capaian. Misalnya, merayakan adik saya yang berhasil menduduki peringkat pertama di kelas saat pengambilan rapor. Di saat itu, nenek akan segera menginstruksikan ibu saya untuk berbelanja bahan-bahan bancakan yang teriri dari nasi, kluban, gereh dan lain sebagainya.
Bancakan selalu mengakrabi setiap momen di kehidupan keluarga kami. Kata nenek, untuk melestarikan tradisi, sekaligus untuk berbagi kebahagiaan serta memohon keselamatan kepada Sang Pencipta. "Kita tidak boleh melupakan adanya kuasa Sang Pencipta", lanjut nenek. Karena nyatanya, kendali hidup kita ada di tangan Tuhan. Untuk itu, teruslah memohon kebaikan lewat tindakan-tindakan kita.
Konsep itu mengejawantah juga pada babak kehidupan kami yang membagikan nasi bancakan saat salah satu anggota keluarga mengalami mimpi buruk— dalam konteks membuang kesialan, serta berharap keburukan yang hadir dalam mimpi itu menguap dan tak menjadi kenyataan.
Seiring bertambahnya usia, saya mulai mengupas makna dari bancakan yang tak pernah nenek lewatkan. Pemahaman ini saya dapatkan ketika suatu waktu selesai mengantar bancakan. Saya semasa kecil, memang bertugas mengantarkan dan membagikan nasi bancakan tersebut. Sebelumnya, nenek menaruh nasi bancakan tersebut dalam susunan yang rapi di sebuah wadah atau keranjang belanja yang terbuat dari anyaman (besek), kemudian saya antarkan ke setiap rumah tetangga saya.
Saya ketuk satu persatu pintu rumah hingga bertemu dengan penghuninya seraya berucap: “Ini ada bancakan dari kami. Semoga suka, ya”, sang penerima pun lantas bertanya, “Dalam rangka apa?”.
Dialog dan interaksi itu terjalin seketika. Tetangga saya lantas mengetahui peristiwa yang melatari diadakannya tradisi bancakan tersebut. Kepada mereka, saya memohon doa agar keluarga kami dan keluarga penerima bancakan senantiasa diberikan keselamatan. Kami pun saling mengamini doa tersebut. Semakin banyak yang mengamini doa, tentu semakin banyak pula kemungkinan terkabulnya doa. Pantas saja, nenek mencontohkan tradisi ini, sebab nenek ingin saya memahami, bahwa yang dicari dalam hidup adalah keselamatan, sedangkan salah satu tujuan dari hidup itu sendiri ialah bermanfaat bagi sesama.
Barangkali, ini pula alasan mengapa bancakan diadakan saat orang Jawa hendak membangun rumah, terutama ketika meletakkan pondasi pertama— yakni agar proses pembangunan berjalan lancar. Selain itu, pihak yang terlibat di dalamnya juga diberikan keselamatan. Bancakan mengingatkan kita bahwa harta yang kita dapatkan adalah pemberian dari Sang Pencipta— yang di dalamnya, boleh jadi terdapat hak orang lain.
Saya merindukan momen membagikan dan mendapatkan bancakan. Terlalu banyak filosofi dan kearifan yang terkandung di dalamnya. Mulai dari kerukunan, kebersamaan, hingga spirit berbagi kebahagiaan ala orang Jawa. Sayangnya, nenek sudah tiada dan saya sudah berpindah domisili. Tapi semoga, suatu saat dapat melanjutkan tradisi ini.
Penyunting: Nadya Gadzali