Etnis.id- Di suatu perbincangan dengan teman seperantauan di Jakarta, kami membicarakan perihal logat daerah Bugis-Makassar yang selalu bercampur dengan bahasa Indonesia yang kita gunakan saat tak berada di Sulawesi Selatan. Kita bersepakat memang susah menanggalkan secara menyeluruh identitas kelokalan kita saat berada di perantauan. Anehnya, meski belum tiga tahun tinggal di Jakarta, saya telah kehilangan logat Bugis-Makassar. Beberapa teman yang saya temui di sini mengaku jika cara berbicara atau aksen saya samasekali tak menyerupai orang Bugis-Makassar. Peristiwa itu membuat saya berpikir, akankah bahasa Bugis, bahasa pertama saya akan punah?
Dalam Ethnologue: Language of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, 737 bahasa di antaranya merupakan bahasa yang masih hidup atau masih digunakan oleh penuturnya. Bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa yang terus hidup sebab masih banyak ditemukan penuturnya di daerah asalnya. Meski demikian, belakangan ini, ada perubahan drastis yang saya lihat saat pulang kampung, yakni anak-anak, usia TK-SD sangat jarang ditemukan berbahasa Bugis. Contok kecil saja, sepupu dan keponakan saya yang berusia 6 tahun tidak menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan orang-tuanya. Akan tetapi, yang menarik dicermati adalah, meski tidak dibiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah di rumah dan sekolah, mereka tetap mampu menurutkan bahasa daerah. Biasanya, mereka mendengar bahasa Bugis dari perbincangan orang tua.
Di ranah pendidikan, bahasa daerah memang tidak diutamakan bahkan ditiadakan. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya kurikulum bahasa daerah, seperti yang saya dapatkan saat SD sampai SMP. Dulu, belasan tahun yang lalu, di sekolah kami masih diajarkan bahasa daerah. Kami bisa membaca, menulis, dan menuturkan bahasa lontara Bugis. Kemampuan menguasai bahasa daerah itu amat saya banggakan sekarang karena bisa mengetahui satu bahasa kuno yang berarti saya bisa mempelajari konteks sosial-budaya di mana bahasa itu lahir. Bahasa akan selalu bersinggungan dengan sosial-budaya, ekonomi, politik, hukum, dll. Menguasai satu bahasa berarti telah berada dalam gerbang ilmu.
Sayangnya, menurut Arief Balla, mahasiswa asal Sinjai yang sedang menempuh studi master double major pada TESOL dan Linguistics di Southern Illinois University Carbondale, Illinois, USA mengungkapkan bahwa kemungkinan besar bahasa Bugis akan punah. Hal itu diperkuat oleh penelitian Badan Pusat Bahasa Jakarta menyebut Bahasa Bugis akan punah dalam 25-50 tahun ke depan. Begitupun dengan penelitian Madeamin dkk bahwa terjadi pengalihan bahasa ‘language shift’ dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia, di kota bisa mencapai sekitar 50%.
Ada beberapa alasan menurut Arief Balla mengapa bahasa Bugis kemungkinan punah. Pertama, penutur bahasa Bugis saat ini adalah orang-orang dewasa. Dalam kurung beberapa dekade ke depan, tentu secara hukum alam akan meninggal. Bahasapun ikut ‘mati‘ bersama mereka. Kedua, banyak generasi muda tidak lagi bisa menuturkan bahasa Bugis. Salah satu sebabnya karena orang tua tidak lagi dan tidak mau mengajarkannya pada anak-anaknya. Padahal anak adalah yang paling mudah memelihara sekaligus paling mudah melupakan bahasa (Kim Potowksi, profesor sosiolinguistik). Ketiga, terkait dengan ideologi bahasa ‘language ideology’. Banyak remaja dan orang tua enggan berbahasa dan mengajarkan bahasa Bugis pada anaknya karena menganggap bahasa Bugis tidak seelit dan seprestisius bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Tidak menguntungkan secara ekonomi dan status sosial. Menganggap bahasa Bugis punya pengaruh intervensi negatif terhadap pemerolehan Bahasa Indonesia atau bahkan Bahasa Inggris. Ini adalah mitos yang tidak lagi didukung bukti ilmiah melainkan asumsi saja. Terakhir, peran pemerintah yang tidak maksimal, mendorong mengutamakan bahasa Indonesia tapi mengesampingkan bahasa daerah.
Dalam kasus bahasa-bahasa daerah di Indonesia, Bahasa Bugis saat ini memang belum berada di catatan merah alias telah punah. Menurut Katubi (2005), beberapa contoh bahasa daerah yang berada di ambang kepunahan, Bahasa Hamap di Kabupaten Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Penuturnya diperkirakan tinggal sekitar 1000 orang, dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Wurm di atas, yakni sebagai bahasa yang berpotensi terancam punah (potentially endangered language) karena dalam percakapan sehari-hari generasi mudanya lebih cenderung menggunakan bahasa Melayu Alor daripada menggunakan bahasa etnik mereka yakni bahasa Hamap.
Bahasa Bugis meskipun tergolong memiliki penutur yang cukup banyak, tapi masih besar kemungkinan prediksi Badan Bahasa benar-benar terjadi. Para orang tua sebaiknya mengajarkan dan mengajak anak-anaknya untuk berbahasa Bugis agar kita tak kehilangan sejarah hadirnya manusia Bugis di abad ini.