Etnis.id - Orang Jawa memiliki ciri khas senjata bernama keris. Bagi mereka, benda itu tidak asing lagi, sebab sudah membudaya. Namun, di balik fungsinya sebagai senjata, keris juga memiliki fungsi kesenian dan lain-lain.
Di pulau Jawa, keris sudah dikenal sejak abad ke-6 M dan merupakan mahakarya nenek moyang bangsa Indonesia. Beberapa keris diciptakan tidak asal-asalan, melainkan dibuat dengan penuh penghayatan dengan ‘kekuatan’ supranatural.
Bahan-bahan yang digunakannya pun para pembuat keris, tidak sembarangan. Keris seperti wujudnya sekarang, pada umumnya diketahui terbuat dari bahan logam yang memiliki nilai-nilai estetika tinggi.
Sejarahnya, pada masa kebudayaan Jawa yang terpengaruh oleh kebudayaan India, masyarakat memandang logam sebagai benda yang memiliki makna simbolik. Menurut tradisi India, masing-masing logam memiliki kedudukan tersendiri. Dari yang tinggi (superior) sampai yang rendah (inferior).
Logam-logam itu dapat digolongkan menjadi delapan bagian seperti survana (emas), rajata (perak), tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya (perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah hitam) dan trapusa (timah putih).
Jika digolongkan pada urutannya, emas memiliki kedudukan paling tinggi. Sedangkan perak memiliki simbol kesucian dan tembaga memiliki simbol daya magis.
Lebih jauh, logam-logam ini dikaitkan dengan konsep kosmologis--punya kesamaan dengan satelit yaitu emas, matahari-perak, bulan-tembaga, venus-besi, mars-timah putih, yupiter-timah hitam (Wijayatno, 2011).
Di Jawa, umumnya masyarakat mengolongkan keris ke dalam beberapa kelompok seperti ‘tosan aji’ atau ‘wesi aji’, yang berartinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan.
Keris sendiri dibuat oleh pandai besi yang dinamakan sebagai ‘pande (pandai)’ atau ‘empu’. Empu merupakan sebutan kehormatan yang artinya ahli dalam pembuatan keris.
Ingat Empu Gandring, tidak? Nah, seorang empu memiliki kedudukan tersendiri karena diyakini memiliki kekuataan magis, sebab benda yang dihasilkan dapat mematikan.
Sesuai kedudukannya sebagai besi yang bernilai tinggi serta dimuliakan, maka tidak heran jika sejak dulu, keris selalu diyakini memiliki kuasa mistis dan semangat (spirit) tersendiri.
Sebab keris memiliki kedudukan sebagai pusaka yang sakral. Dia selalu diberi nama dengan filosofi tersendiri seperti, ‘Kyai’ atau ‘Kanjeng Kyai’. Dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam, salah satu pusaka yang memiliki daya magis adalah pusaka Kanjeng Kyai Plered.
Pusaka ini, menurut beberapa catatan sejarah yang umum beredar, konon terlahir ketika ada seorang mubaligh bernama Syekh Maulana Maghribi yang berkelana di hutan kemudian beristirahat di pinggir danau.
Di danau tersebut, menurut cerita, biasa digunakan oleh seorang gadis bernama Rasawulan untuk mandi. Celakanya, Syekh Maulana tidak menyadari jika ada seorang gadis mandi di dekat tempatnya istirahat.
Rasawulan yang merupakan putra dari Tumenggung Wilatikta di Majapahit merasa diintip. Ia marah dan mendatangi tepi danau itu. Anehnya, menurut beberapa sumber, sejak kejadian itu, Rasawulan tiba-tiba hamil.
Merasa dirinya tidak berbuat yang macam-macam, Syekh Maulana bersumpah akan memutus alat kelaminnya, bahwa dirinya tidak menghamili Rasawulan. Setelah diputus, kelamin yang dipotong itu katanya berubah menjadi tombak yang disebut Kanjeng Kyai Plered (Bangunjiwa, 2014).
Sementara bayi yang dikandung Rasawulan, ketika lahir, diberi nama Kidang Telangkas di Dusun Tarub. Anak lelaki inilah yang kemudian mewarisi Kanjeng Kyai Plered dan secara turun-temurun diwariskan kepada Ki Getas Pendawa (keturunan R. Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya Pungkasan Kaping V Majapahit).
Setelahnya, diwarisi ke Ki Ageng Henis Laweyan (Solo)-Ki Ageng Pemanahan (Kotagede, Yogyakarta)-Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam Pertama)-Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke-2)-Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo-hingga Sri Susuhunan Prabu Amangkurat IV Jawa Kartasura (Bangunjiwa, 2014).
Bahkan pada masa Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Penembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa (raja Mataram Islam pertama), Kanjeng Kyai Plered pernah digunakan untuk melawan pemberontakan Arya Penangsang yang saat itu ingin merebut takhta kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir).
Di dalam pertempuran antara Penembahan Senopati dan Arya Penangsang, Panembahan Senopati berhasil menancapkan tombak Kanjeng Kyai Plered ke dalam perut Arya Penangsang hingga akhirnya tewas (Wibawa, 2008).
Sejak saat itu, Panembahan Senopati berhak atas hadiah sayembara karena keberhasilannya mengalahkan Arya Penangsang, berupa bumi Mataram yang berupa hutan Mentaok, yang kemudian hari dinamai Kotagede, Yogyakarta.
Namun di balik legenda itu, pusaka Kanjeng Kyai Plered juga memiliki nilai-nilai filosofi tersendiri. Secara simbolis, pusaka berupa keris maupun tombak, sejak dahulu memiliki kedudukan yang sangat penting bagi konsep ke Agungan-Bintaraan, yakni sebagai legitimasi kuasa dan kedaulatan wilayah.
Di istana, keris merupakan pusaka yang menggambarkan tanda kebesaran, tanda jabatan, kedudukan, tanda pangkat serta kelengkapan pakaian resmi. Konsep ke Agungan-Bintaraan ini diperkuat dengan posisi pusaka keris itu sendiri sebagai wahyu yang menghubungkan kekuataan supranatural dengan kekuasaan.
Pengertian wahyu di sini memiliki arti sebagai legitimasi supranatural atas kekuasaan, sehingga dalam perjalanannya, muncul istilah wahyu kedaton yang menjelaskan wewenang sakral yang diperoleh seseorang untuk mendirikan kerajaan.
Dalam babad Tanah Jawi, wahyu digambarkan sering muncul sebagai tanda legitimasi penguasa--berkaitan dengan kekuasaan. Contohnya, keris pada masa Kerajaan Mataram dimaknai sebagai sebagai jembatan legitimasi antara penguasa kerajaan masa lalu dengan yang baru (Wijayatno, 2011).
Empu dan Penamaan Pusaka
Fungsi keris atau tombak lebih jelasnya bisa dilihat dalam praktik dari adanya konsep pewarisan turun-temurun benda-benda pusaka tersebut kepada anak-cucu, sebagaimana yang telah disebutkan menurut beberapa versi yang telah tertulis di atas.
Sedangkan berdasarkan namanya, pusaka keris atau tombak juga memiliki filosofi tersendiri. Mungkin ada pertanyaan, mengapa benda mati bisa dinamai dengan ‘kiai’, padahal kiai jamak diartikan sebagai guru pengajar agama.
Penamaan benda-benda pusaka dalam perjalanannya, tidak lepas dari empu. Bagi empu, membuat senjata pusaka melibatkan doa, gagasan dan cita-cita--yang akan dibaca sebagai sebuah “teks” dari orang yang mampu mengartikan sisi eksoteris sebuah benda-benda pusaka (Wijayatno, 2011). Penerjemahan “teks” ini, dapat dilihat dari adanya istilah dhapur, yakni ragam dan bentuk tipe keris.
Dalam pembuatan pusaka, empu juga tidak lepas dari ritus-ritus seperti berpuasa dan ‘menyucikan diri’. Tujuannya untuk mengundang kekuataan supranatural masuk ke dalam pusaka. Setelah melewati proses, benda-benda pusaka itu dianggap sebagai benda keagamaan yang memiliki “pancaran daya spiritual”.
Makanya, orang yang memiliki atau "memelihara" sebilah benda pusaka, dianggap merupakan pewaris yang akan mengaktualisasikan pesan-pesan dari “teks-teks” pusaka ke dalam kehidupan sosialnya.
Makna “memelihara” di sini diartikan menjadikan benda itu sebagai sesuatu yang hidup. Atau kecenderungan yang akan mengarahkan pilihan tindakan bagi orang yang “memeliharanya”.
Didasari keyakinan itu, sebutan kiai akhirnya disematkan pada keris atau tombak tertentu. Tidak jarang, sebagian dari masyarakat sering melihat adanya prosesi pemandian benda-benda pusaka.
Perawat Pusaka
Dari konteks demikian, orang yang merawat pusaka diyakini kerap menggelar ritual seperti doa. Alasannya, dari pusakalah mereka yakin akan mendapatkan “kekuatan” yang ditanamkan oleh empu.
Bahkan mereka dapat mencapai tingkatan spiritualitas yang tinggi sebab merawat pusaka dengan kasampurnaning urip yang artinya menerima dengan suka cita apa yang datang dan ditetapkan dari Gusti Ingkang Moho Agung melalui tahap meneng, wening, dunung dan wenang.
Meneng bermakna diam, wening bermakna keheningan rasa, dunung bermakna kebenaran hakiki dan wenang artinya kekuatan kepribadian. Setelah seseorang mampu diam dari segala aktivitas yang negatif, maka ia akan mampu mencapai perasaan hening.
Selanjutnya, seseorang mampu mencapai dunung yang ditandai dengan rasa syukur terhadap apa yang terjadi di dalam diri maupun kehidupan, pada akhirnya akan menjadi pribadi yang baik (Wijayatno, 2011).
Bagi orang-orang yang mampu melewati tahapan itu, memelihara keris bukan berarti dirinya dikuasai oleh kekuataan gaib dalam pusakan. Tetapi, menempatkan kekuataan benda-benda pusaka itu di dalam kendali dirinya.
Sebab itu ada kepercayaan di kalangan masyarakat Jawa bahwa benda-benda pusaka yang memiliki kesaktian, hanya dapat dipelihara oleh orang-orang yang memiliki pribadi teguh di dalam menjalankan laku olah batin.
Makanya di dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya di kalangan kraton-kraton Jawa Tengah bagian Selatan, kita sering mendengar tentang ritual siraman pusaka sebagai bentuk visualisasi dari kekuatan-kekuataan serta legenda-legenda yang melekat pada masing-masing pusaka tersebut.
Tidak mengherankan jika kedudukan pusaka Kanjeng Kyai Plered memiliki posisi sangat tinggi di dalam kerajaan-kerajaan Jawa. Sebab selain legenda yang meliputinya, pusaka ini juga telah membuktikan eksistensinya di dalam membangun kekuasaan melalui sosok Panembahan Senopati Mataram.
Editor: Almaliki