Mulanya, saya dilibatkan dalam produksi musik untuk keperluan iringan tari. Dalam produksi itu, ada berbagai jenis pola permainan yang diusung. Salah satunya ialah pola permainan kemanakan.
Kemanak bagi masyarakat karawitan Jawa bukanlah hal yang asing. Instrumen musik ini akrab dijumpai pada iringan tari bedhaya ataupun srimpi. Entah itu bedhaya atau srimpi yang lampau ataupun yang baru. Kemanak seolah lekat dengan tarian itu. Tidak hanya dalam lingkup karawitan saja. Kemanak juga sering digunakan dalam pelbagai ritus di desa-desa.
Bedanya, dalam ritus di desa-desa, penyajiannya lebih minimalis. Ia hanya diisi oleh instrumen kemanak dan vokal saja. Meski begitu, pola tabuhan atau permainannya merefleksikan kemanakan. Lebih jauh lagi, kemanakan juga sering saya temui dalam karya-karya populer. Mereka mengambil idiom permainan alat musik kemanak ke dalam sajian musikal terkini.
Penggunaan kemanak dalam berbagai aktivitas musikal itu merepresentasikan keramahannya. Kemanakan bersifat inklusif, mudah dimainkan, serta mudah ditautkan ke dalam berbagai aliran musik. Alhasil, alat musik ini menjadi bebunyian primadona dalam karawitan. Ia tidak lekang dari masa ke masa. Atas dasar itu, kemanakan layak untuk dibaca lebih jauh lagi.
Kemanakan merupakan sebuah kesenian dengan format struktural. Format itu diisi oleh instrumen gong, kethuk, kendhang, kenong, dan kemanak itu sendiri. Seiring alunan musik karawitan, sinden akan berdendang dengan kehalusan dan kesayuan suaranya. Kesenian kemanakan tidak dapat dilepaskan dari instrumen kemanak yang cenderung mendominasi dalam sajian repertoar gendhing.
Secara subjektif, kumandang kemanakan terasa mendayu-dayu dan meneduhkan. Nuansa musikal yang dihadirkan terkesan sakral, magis, bahkan cenderung wingit. Seolah-olah, alunannya mengantarkan pada gerbang transendental. Kesan itu menuntun saya untuk menelisik lebih jauh ihwal puspawarna pengetahuan yang melingkupinya. Dalam beberapa literatur ditemukan benang merah atas kesan tersebut.
Bunyi Surgawi
Keberadaan pola kemanakan tidak muncul baru-baru saja. Ia sudah ada sejak masa silam. Hal ini dengan tegas disuratkan dalam Serat Wedapradhangga (Pradjapangrawit, 1944:4), bahwa gendhing kemanakan atau kethuk kenong sejatinya ialah Gamelan Lokananta. Hal serupa juga diungkapkan oleh Padmasusastra (1898:1.749), bahwa sebutan kemanakan mengartikan Gamelan Lokananta. Dalam serat yang sama, disuratkan juga kisah mengenai Gamelan Lokananta.
Gamelan Lokananta merupakan gamelan yang digubah oleh Sang Hyang Guru pada tahun 245-246 masehi dan ditasbihkan sebagai gamelan pertama yang ada di tanah Jawa (Pradjapangrawit, 1944:4). Sedangkan, arti dari lokananta ialah gamelan dari kahyangan yang mampu berbunyi tanpa ditabuh (Wijaya, 2019:2).
Instrumen-instrumen yang ada dalam Gamelan Lokananta tidak sejamak gamelan ageng yang ada saat ini. Gamelan Lokananta hanya berisi lima instrumen saja: 1) gendhing atau kemanak, 2) pamatut atau kethuk, 3) sauran atau kenong, 4) teteg atau kendhang, dan 5) maguru atau gong. Selain ke lima instrumen itu, ada juga nyanyian yang dikumandangkan. Nyanyian itu berasal dari sekar ageng atau sekar kawi.
Dari data-data itu, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kemanakan merupakan jelmaan Gamelan Lokananta. Hal ini dapat dilihat dari instrumen-instrumen yang ada dalam kemanakan yang sama seperti Gamelan Lokananta pada awal diciptakannya.
Perbedaannya terletak pada instrumen kemanak. Dalam berbagai kesempatan, saya seringkali menyaksikan digantinya kemanak dengan instrumen bonang ataupun peking. Namun, pergantian itu tidak lantas mengubah esensi musikal yang ada. Sebab, nada yang dimainkan dalam bonang atau peking ialah sama dengan nada kemanak, yakni 6 dan 7.
Selain pada instrumen, musikalitas kemanakan yang terkesan magis, sakral, ataupun wingit juga mirip dengan Gamelan Lokananta. Gamelan Lokananta dinisbat sebagai gamelan surgawi (Pradjapangrawit, 1944:4). Hal ini dikarenakan Gamelan Lokananta dianggap mengumandangkan suasana kahyangan yang menenangkan dan meneduhkan. Barangkali, pandangan itulah yang membuat kemanakan tetap digunakan dalam tari bedhaya, srimpi, maupun ritus-ritus desa yang dianggap sakral.
Bunyi Monumental
Bagi masyarakat Jawa, kemanakan mewujud sebuah entitas yang lekat. Ia telah karib di telinga orang Jawa. Kala bunyi kemanakan dikumandangkan, kebanyakan orang akan langsung menangkap dan memahami bunyi itu. Tak hanya orang-orang Jawa, masyarakat luar pun akan mengerti bahwa kemanakan merupakan idiom dari karawitan Jawa.
Kemanakan tak cukup jika dibaca dari sisi tekstual bunyinya. Ia melampaui kodrat bunyi itu. Kekariban masyarakat Jawa dan orang-orang luar mampu menjelmakan bunyi kemanakan menjadi sebuah bunyi kultural. Bunyi itu mengandung sebuah kekhususan dan keidentikan dengan kultur Jawa. Seolah-olah bunyi itu menjadi ciri khas yang mewakili identitas kultural Jawa.
Hal itu dipertebal dengan eksistensi dari bunyi kemanak. Bunyi kemanak menjadi bunyi yang tak pernah lekang. Ia senantiasa aktual dari masa ke masa, terus berkumandang dalam pelbagai karya, entah itu karya lampau ataupun karya yang baru. Bukan saja pada karya gamelan, namun juga pada karya musik lainnya.
Tiba-tiba saya teringat dengan Santi Swara. Santi Swara merupakan ansambel yang digunakan untuk melantunkan doa dan puji-pujian. Dalam ansambel itu, hanya ada tiga ansambel: 1) kendhang, 2) kemanak, dan 3) beberapa terbang. Kemudian, nyanyian pujian itu akan dikumandangkan dalam iringan ketiga instrumen itu.
Santi Swara menjadi ansambel yang sangat krusial bagi masyarakat Jawa pada saat itu. Bahkan ada sebuah serat yang menghimpun notasi dari gendhing-gendhing santiswaran, yakni Serat Santi Swara yang digubah oleh Warsopradonggo.
Penyajian musikal yang ada dalam Santiswara terbilang menarik dalam hal ini. Sebab, ia menggunakan instrumen kemanak di sepanjang sajiannya. Pola tabuhan kemanak dalam Santi Swara ialah adaptasi dari gendhing kemanakan. Artinya, ada pengejawantahan kemanakan ke dalam bentuk baru. Pengejawantahan itu begitu indah, sebab tidak menguzurkan episentrum bunyi yang ada dalam kemanakan, yakni instrumen kemanak.
Selain itu, ada benang merah antara bunyi kemanakan dengan penggunaannya dalam Santi Swara. Santi Swara menjadi katalisator masyarakat Jawa untuk menyuarakan puja dan puji terhadap kuasa ilahiah. Kumandang bunyinya mendayu-dayu dan meneduhkan. Semakin dalam mengilhami bunyi itu, semakin terasa getaran ilahiahnya. Banyak orang beranggapan bahwa nuansa musikal dalam Santi Swara begitu magis, sakral, dan juga wingit.
Peristiwa dalam Santi Swara menjadi salah satu ikhtibar yang bernas. Santi Swara tidak hanya mewarisi bunyi dalam kemanakan, namun juga siratan makna yang terkandung di dalam bunyi itu. Ada keselarasan antara guna kesenian dengan alunan yang dihasilkan, yakni keilahian.
Lebih jauh lagi, masyarakat Jawa juga mewarisi makna itu. Dapat dilihat dari penggunaan pola kemanakan ke dalam aktivitas musikalnya, entah itu untuk pengkaryaan ataupun untuk mengiringi ritus-ritus di pedesaan. Dapat dikatakan bahwa pola kemanakan telah menubuh ke dalam diri masyarakatnya.
Tak hanya itu, nuansa musikalnya juga telah merasuk ke dalam kalbu mereka. Tak heran jika kemanakan tidak lekang oleh waktu. Ia akan terus berkumandang dari generasi ke generasi. Bukan hanya bunyinya, namun juga makna bunyi yang terkandung di dalamnya.
Kemanakan bukan hanya bunyi kultural, melainkan juga bunyi monumental. Sebab, kemanakan terbekukan menjadi sebuah ide yang terus mengilhami pengkaryaan-pengkaryaan musik. Tidak hanya saat ini, tetapi juga di masa yang akan datang.
Penyunting: Nadya Gadzali