Etnis.id - Saya melupakan hampir seluruh huruf lontara. Sekarang, cuma huruf "ka" yang kutahu. Terakhir kali, saya belajar mengeja dan membaca lontara saat SMP. Setelah itu, yang saya dengar, sudah tak ada lagi pelajaran itu di sekolah.

Itu kenyataan yang menyedihkan, saat saya sadar, pelajaran itu penting untuk menjaga lokalitas dan pesan-pesan leluhur Bugis-Makassar. Apalagi saat ditanya, "pintarjki toh baca huruf lontara?"

Sebelum menjawab itu, saya sempat kelimpungan dan akhirnya bilang, "tidak ye'," kepada seorang kawan yang punya banyak skrip lontara untuk diterjemahkan mulai dari ramuan herbal orang Bugis-Makassar serta cara merawat pusaka.

Bahasa lokal "dipunahkan"

Saya berani bilang kalau bahasa Bugis-Makassar dan jembatannya, huruf lontara, dipunahkan. Mengapa? Alasannya sederhana, sebab dianggap kurang bersaing, barangkali karena itu pemerintah menghilangkan pelajaran muatan lokal dari sekolah-sekolah. Itu pada zamanku, belasan tahun yang lalu.

Kini, tampaknya sekolah-sekolah SD dan SMP sudah menghidupkan muatan lokal dan kebudayaan. Langkah ini patut diapresiasi. Itu artinya, peradaban dibangun kembali. Yang perlu diperhatikan, di Universitas Hasanuddin, jurusan Sastra Daerah (Bugis-Makassar) peminat bahasa daerah sungguh kecil.

Kelas Sastra Daerah hanya bisa diisi beberapa orang. Tak seperti jurusan bahasa lain yang berdampingan dengan Sastra Daerah. Dari data SBMPTN 2018, Sastra Daerah diminati 124 orang. Tingkat kompetisinya 1:5, dan daya tampungnya 30 orang. Sementara Bahasa Inggris, banyak peminatnya yakni 1727 dengan daya tampung 75 orang. Lalu Sastra Indonesia, 663 peminat ddengan daya tampung 40 orang.

Saya pernah menganggap bahwa Sastra Daerah adalah jurusan yang tidak jelas. Itu opini jujur saya, sewaktu ingin masuk kuliah. Tak jelas, sebab sangat kurang perusahaan yang bisa mengakomodir lulusannya. Masa mau menghadapi zaman pakai bahasa Bugis-Makassar? Andai bisa putar waktu, tentu saja saya ingin kembali dan belajar muatan lokal dengan tekun.

Sempat pula terpikir, apakah hari ini Bahasa Bugis-Makassar masih laku dipakai orang? Barulah belasan tahun ke depan saya sadar, kalau bahasa lokal memang berpengaruh. Itulah jiwa masyarakat lokal. Jika mereka dijauhkan dari bahasa ibu, maka skrip kuno dan pesan leluhurnya perlahan akan tak dikenali dan jadi kertas yang dipajang di museum saja, tak dikenali.

Dipunahkan bagian kedua adalah saat kecil, saya atau mungkin kalian, dibiasakan untuk menyerap bahasa luar, yang bukan bahasa ibu. Logat Jakarta contohnya. Dari sinetron dan lain-lain, lokalitas kita "diperangi".

Otak kita dicuci bahwa melepaskan bahasa ibu adalah hal yang baik. Tanpanya, kita bisa diterima di pergaulan dunia luar. Sadari saja, kita pelan-pelan "dipaksa" untuk melupakan seluruh bahasa ibu dan menggantinya dengan Bahasa Indonesia dan logat Jakarta "lu-gue".

Hasil dari itu semua adalah, beberapa dari kita selalu mendakwa kalau Bahasa Jakarta adalah bahasa yang diidam-idamkan dan bisa mengangkat derajat penuturnya. Jika bertemu orang sekampung, tak sah rasanya jika tak unjuk gigi memakai logat Jakarta.

Yang mengagetkan saya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyelenggarakan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.

Peringatan karena sudah akan usangkah bahasa ibu? Lalu selama ini, mengapa bahasa daerah pernah "dimatikan" di sekolah? Malukah pemerintah mengaku salah dengan langkah pendahulunya?

Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Arief Rachman mengatakan, pelestarian bahasa daerah juga berkaitan dengan kemajuan bangsa.

"Diperingati (Hari Bahasa Ibu Internasional) karena UNESCO melihat pelestarian bahasa akan memperkokoh mutu dari manusia itu sendiri," kata Arief, dalam Taklimat Media Hari Bahasa Ibu Internasional, di Kantor Kemendikbud, Jumat (21/2).

Melihat jawaban itu, dengan peringatan saja, tampaknya takkan pernah cukup. Di Indonesia, Bahasa Jakarta sudah kadung menumpuk di kepala anak-anak kecil, dari muda sampai tua. Jika peringatan saja, Unesco dan Kemendikbud takkan bisa menghalangi satu ancaman terbesar abad ini: Punahnya bahasa ibu.

Dikutip dari laman resmi Republika, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar mengatakan, selama tahun 2019, pihaknya sudah mendata sebanyak 718 bahasa daerah. Dari semuanya, 90 sudah dikaji lebih mendalam. Jumlah ini belum termasuk dengan dialek dan subdialek.

Bahasa daerah yang sudah dikaji, saat ini dipetakan vitalitasnya. 26 bahasa dianggap aman, yang rentan 19 bahasa, mengalami kemunduran 3 bahasa, terancam punah 25 bahasa, kritis 6 bahasa, dan punah 11 bahasa.

Maksud dari bahasa rentan, yakni semua anak-anak dan kaum tua masih menuturkan, namun jumlahnya sedikit. Bahasa yang mengalami kemunduran yaitu sebagian penutur anak-anak dan kaum tua, dan sebagian anak-anak lain tidak menggunakannya lagi.

Sementara bahasa yang terancam punah yaitu semua penutur berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit. Sementara, generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri.

Bahasa yang masuk kategori kritis yaitu penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Terakhir, adalah bahasa daerah yang sudah punah yaitu tidak ada lagi penuturnya.

Adapun bahasa yang punah semuanya berasal dari Indonesia bagian timur. Misalnya, bahasa salah satu kelompok masyarakat di Papua Barat yang bernama Bahasa Tandia, bahasa di Maluku yang disebut sebagai Bahasa Piru, Bahasa Palumata, Bahasa Serua, dan Bahasa Hoti.

Dadang berpesan, meski masyarakat belajar bahasa asing, kita tetap harus menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu dan bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia adalah ruh besar bangsa kita menyatukan kita dari Sabang sambai Merauke," kata dia.

Ucapan itu terdengar heroik, namun untuk mewujudkannya kita semua harus bagaimana? Ya, dengan kekuatan bersama, generasi muda seperti kita harusnya membiasakan diri berbahasa ibu dengan kawan sebaya baik di desa, pun di rantau. Lalu membisiki pemerintah, "Bos, kalau tidak peduliki sama bahasa ibu, mustahil ada yang bisa mengerjakan naskah kuno leluhurta."

Setelah itu, apa peran pemerintah untuk menjaganya? Toh, teve-teve swasta yang ada di hadapan kita sekarang belum mengendurkan isi siarannya dari bahasa-bahasa dan gaya dominan warga Jakarta. Sementara kebijakan untuk mempertahankan bahasa ibu di Indonesia buram warnanya.

Lihat saja, siaran-siaran dalam televisi yang menyambangi satu tempat, hanya merekam eksotisme daerah tersebut demi kepentingan pariwisata dan gaya hidup orang-orang kota untuk berlibur. Sayangnya, yang saya lihat dalam beberapa rekaman, penguatan lokalitas makin minim. Masyarakat adat terus dihajar dan ditempatkan di sudut ring orang mayoritas.

Dari kenyataan itu, masihkah pemerintah mau bilang mereka sudah berusaha menguatkan bahasa ibu? Tanpa masyarakat adat dan budaya leluhurnya, bagaimana mereka mau jadi penjaga gawang yang baik buat bahasa? Indonesia ini sebenarnya warnanya apa?

Secercah harapan untuk bahasa ibu

Menyadari tiang lokalitas yang hampir ambruk, beberapa orang berusaha untuk memplesternya meski sedikit. Mereka, orang-orang yang berpengaruh, dengan bangga berbahasa lokal di depan khalayak. Siapa dia?

Pertama yang saya catat adalah Das'ad Latif. Dai dari Makassar ini, tak malu berbahasa Bugis dan Makassar di hadapan orang-orang yang tak mengerti dialek dan bahasa lokalnya. Saya bangga dengan Dasad, meski isi ceramahnya kadang tak bisa kuterima dengan penuh.

Di Yogya, beberapa waktu lalu, dengan bangganya dia bilang, "lidah Sulawesi ini bos! Bukan lidah Solo." Hal itu ia ungkapkan, setelah dapat masukan, sebab audiens yang mendengar ceramahnya, mungkin tidak mengerti apa yang diucapkannya.

Selain Dasad, film-film lokal yang mengedepankan bahasa lokal perlahan-lahan tumbuh dan menunjukkan eksistensinya. Ini kenyataan yang bikin semringah. Sebut saja, Love for Sale 2. Disiapkan seorang tokoh yang cakap berbahasa Makassar. Film jadi lebih hidup. Budaya lain bisa dikenal orang bayak. Tak cuma Jawa dan Jakarta melulu.

Setelah itu, komedian Arie Kriting dan Abdur Arsyad juga menyenangkan. Di atas panggung, dia berceloteh ngalor ngidul dengan dialek dan sedikit bahasa orang-orang dari timur. Jujur saja, saya suka mendengar mereka bicara.

Dalam satu momen, saat saya mendengar kawan dari Papua berujar, saya mau, ia tidak berhenti berkata-kata. Ya, masalahnya terdengarb merdu sekali. Jika boleh saya belajar, saya mau belajar bahasa daerah mereka. Sebab tak ada komunikasi yang lebih baik dari bahasa lokal untuk mengakrabi mereka.