Pantun buhun mengalun di Bumi Talaga Sundayana. Warga memenuhi ruang terbuka di depan pendopo untuk menyaksikan penampilan Ayi Basajan memetik dawai-dawai kacapi.
Ini adalah pertemuan kedua saya dengan sang penutur. Ia menjadi pusat semesta dalam acara bertajuk "Hajat Lembur Pantun Mang Ayi" yang digelar pada Sabtu malam (26/2).
Berbeda dari seni pantun pada umumnya, pantun buhun disampaikan dalam format penuturan dongeng (storytelling) dengan rajah (doa) sebagai bubuka (pembukaan).
Strukturnya terdiri kawih atau nyanyian tradisional disertai ungkapan atau idiom-idiom yang disarikan dari sejarah, legenda, folklor, bahkan fenomena sosial.
Resapan makna pada pantun buhun tidak terlepas dari rajah dan sesaji, dua ritual yang mengisyaratkan magisnya syair-syair kuno yang akan dibawakan.
Rajah lekat dengan laku tawasul dalam tradisi Islam, berisikan rapalan doa melalui perantara amal saleh (wasilah) agar memperoleh manfaat dan terkabulnya suatu hajat.
Pertautan antara doa kepada Allah SWT, selawat Nabi Muhammad, dan ritual penghormatan terhadap leluhur dalam bentuk sesaji, menjadikan pentas pantun buhun tetap berada dalam pakem dan bentuk aslinya. Di antara perlengkapan ritual itu, tersaji pula bakakak hayam, beberapa ikat padi, tanaman hanjuang, dan elemen-elemen lainnya.
Pertunjukan pantun buhun merupakan salah satu kesenian rakyat yang berkembang di daerah Jawa Barat. Kesenian ini tersebar di beberapa daerah di Nusantara dalam bentuk dan corak yang beragam.
Pada kultur Melayu, seni pantun menempati posisi integral sebagai media penyampai pesan moral, termasuk ajaran agama, norma sosial, dan nilai luhur budaya.
Kesenian pantun dikenal dengan istilah yang berbeda-beda di setiap daerah. Suku Sunda mengenalnya dengan sebutan paparikan, sesebred, atau wawangsalan.
Pada konteks ini, seni pantun hadir sebagai kesusastraan yang berkembang di kalangan masyarakat yang masih menjalankan praktik kehidupan tradisional, bercirikan lokalitas dan karakteristik budaya daerah.
Pantun buhun kini populer sebagai sarana hiburan rakyat. Selain menjadi salah satu prosesi wajib dalam pelaksanaan ruwatan, peran juru pantun begitu penting dalam rangka menyiarkan imbauan atau pengingat (mepeling) dalam tradisi Sunda, agar masyarakat mampu mencermati situasi dan kondisi yang sedang terjadi.
Sedyawati (dalam Rafiek, 2012: 54) mengungkap bahwa sastra lisan merupakan wujud tentang sebuah cerita rakyat yang dituturkan secara lisan yang bermacam-macam, mulai dari mitos, uraian genealogis, dongeng, legenda, hingga berbagai cerita tentang pahlawan.
Mengutip pernyataan Mang Ayi, pantun buhun bagi masyarakat Sunda awalnya digunakan untuk menyampaikan perintah raja kepada rakyatnya, berisi galur buhun (cerita kuno) yang sarat akan pikukuh (ajaran) Sunda, seperti repertoar Subang Larang yang ia pentaskan dalam gelaran hajat lembur.
Pantun buhun dilantunkan dengan gaya mendongeng berbahasa Sunda, diiringi permainan alat musik kacapi, sejenis alat musik kordofon dengan bunyi melodi yang khas dari petikan-petikan kawat senar.
Penutur pantun buhun menyenandungkan cerita-cerita klasik seraya memainkan kacapi, mengemas ulang cerita-cerita lama dengan penyajian yang lebih modern.
Kini, pantun buhun lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat lantaran Mang Ayi melakukan improvisasi terhadap teks lama dengan meleburkan gaya khasnya ke dalam pertunjukan, tanpa mengurangi substansi maupun kedalaman makna yang terkandung di dalam naskah.
“Hajat Lembur Pantun Mang Ayi” terselenggara berkat dukungan berbagai pihak dengan mengusung tema talkshow “Eksistensi Pantun Sunda di Era Milenial” dalam rangka merevitalisasi musik tradisional-kontemporer dengan menampilkan sederet musisi lokal Subang, antara lain: pesinden Neng Dini Juniawati, kesenian Gembyung dan Sisingaan Dangiang Linggar Manik, Abimantra Ethnic, Sanggar Seni Toleater, serta kolaborasi Ayi Basajan dan ansambel musik angklung Jawara Entertainment Indonesia (JEI).
Ketika ditanyai ihwal keterlibatannya dalam proyek musik, Mang Ayi menyebut nama sejumlah musisi dari berbagai genre. “Di wilayah Subang, saya pernah kolaborasi dengan Abah Amar”, maestro alat musik toleat dari Kampung Adat Banceuy.
“Pernah juga dengan Stars and Rabbit, Ade Idea, Tohpati, Doel Soembang, Mulan Jameela, Barry Likumahua, dan dalam gelaran Indonesia Bertutur yang diselenggarakan di Candi Borobudur tahun lalu”, lanjut Mang Ayi.
Dalam perayaan hajat lembur kali ini, Kiwari Nyanding Bihari gaya Mang Ayi digunakan untuk menyampaikan pesan moral dari era Subang Larang, titimangsa Raden Pamanah Rasa sekira abad 15, sebagaimana tercatat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon, putera Sultan Kasepuhan pada tahun 1720.
Kiwari Nyandang Bihari gaya Mang Ayi yang bertajuk "Pantun Ayeuna Indungna Baheula" berada dalam struktur laras saléndro, tangga nada dalam karawitan yang dalam satu oktafnya dibagi menjadi lima nada dengan interval yang sama rata.
Gamelan saléndro pada karawitan Sunda memiliki ciri khas dari segi identitas garapnya. Keunikan itu terletak pada laras permainan gamelan dan vokal pesinden yang justru tidak selaras.
Kendati gemelan yang digunakan berlaras saléndro, vokalnya tidak harus berada dalam laras yang sama. Vokal dapat dimainkan di wilayah degung, madenda, mandalungan, maupun multi-laras yang merupakan gabungan keseluruhan laras yang ada.
Menurut Mariko (2007: 911-04) dalam "Laras, Surupan, dan Patet dalam Praktik Menabuh Gamelan Salendro" yang ditulis Asep Saepudin dalam Jurnal Resital ISI Yogyakarta, perbedaan kedua laras ini disebut dengan laras ganda. Fenomena semacam ini tentunya memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan permainan gamelan saléndro dalam karawitan lainnya seperti karawitan Jawa gaya Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, Banyuwangi, maupun karawitan Bali. Pada kelima gaya ini, ketika gamelan yang digunakan berlaras saléndro, maka vokal pada umumnya juga berlaras saléndro.
Laras termasuk salah satu unsur penting yang ada kaitannya dengan penyajian gamelan saléndro karena lagu-lagu yang dinyanyikan dalam karawitan Sunda menggunakan banyak laras.
Laras menjadi kerangka acuan sekaligus bingkai untuk menafsir sistem nada yang melekat atau relevan dengan lagu, gending, maupun iringan lagunya (Irawan, 2014: 21).
Pantun buhun, sebagai salah satu kesenian sakral, berperan penting tidak hanya dalam praktik ritual, tetapi juga dalam pembangunan karakter. Mang Ayi menambahkan pendidikan budi pekerti ke dalam repertoar yang dibawakan pada acara hajat lembur, mengingat fungsi pantun yang kerap digunakan untuk menyampaikan nilai-nilai adiluhung dan adab-adab dalam kehidupan sosial.
Sebagai salah satu khazanah kesenian yang berakar pada budaya arkais Sunda, pantun buhun dinilai sebagai pranata yang runut, rinci, dan terstruktur.
Namun, seiring berkembangnya kesusastraan Sunda, tampaknya perlu dilakukan penyusunan standar agar kesenian ini memiliki pijakan teknis dan metode, sebagaimana disampaikan Ardian Sumarwan, pengelola grup musik JEI saat ditemui selepas acara.
Kendati tergolong kesenian sakral, Mang Ayi hanya menekankan kekhidmatan sebagai pakem yang harus diperhatikan saat membawakan pantun buhun. Sebab, meski dinukil dari tutur kata pujangga lama, pantun buhun lahir sebagai kesenian rakyat yang terbuka pada berbagai kemungkinan penciptaan artistik, sepanjang masih berada dalam koridor normatif kesenian buhun.
Tidak hanya percakapan teoritis tentang segala hal yang berkaitan dengan pantun buhun, kami juga berbincang tentang spirit yang melatari Mang Ayi sampai menjadi seorang juru pantun. Bahwa menjadi pelaku seni adalah panggilan hidup.
"Tahun 80-an saya mulai mendengarkan dan tertarik pada pantun Sunda. Tahun 90-an mulai belajar pada seniman pantun buhun dan bertekad untuk melanjutkan kesenian ini", tutur Mang Ayi.
Sementara itu, bagian paling menantang dari proses pewarisan pantun buhun adalah krisis minat generasi muda pada seni tradisi yang tidak atau kurang populer, sedangkan regenerasi harus terus berlanjut agar kesenian ini tidak terkubur di antara derasnya arus zaman.
Setiap kali berbincang dengan penggubah karya, ada saja ritual yang bersifat personal yang dijalankan untuk kepentingan pertunjukan, seperti Mang Ayi yang menyelaraskan rasa sebelum mementaskan pantun buhun dengan tidak mengonsumi makanan yang berasal dari hewan atau makhluk bernyawa.
Dalam kultur Jawa, laku ini dikenal dengan istilah ngeruh. Ketika ditanya perihal ritual sebelum pentas, Mang Ayi menjawab, “kalau saya sih, tidak makan daging, untuk ngalemeskeun hate (melembutkan perasaan) dan menghindari dorongan hewani”, pungkas Mang Ayi sebelum meninggalkan Bumi Talaga Sundayana.