Menurut buku Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon (1720), Guha Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 oleh Pangeran Kararangen yang mempunyai nama lain, yaitu Pangeran Arya Carbon. Nama Sunyaragi, memiliki arti sunya yang berarti sepi, serta raga atau ragi yaitu jasmani. Maknanya, tempat ini merupakan tempat untuk menyepi, menjauhi semua bentuk keramaian duniawi, berdzikir mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di samping itu, situs ini merupakan tempat peristirahatan keluarga Kraton Cirebon, disebut Taman Sari Gua Sunyaragi. Situs ini pada tahun 1787 pernah dirusak oleh Belanda, karena sikap Sultan Matangaji Tajul Arifin yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1852, diperbaiki oleh Sultan Syamsudin IV dan pada tahun 1937–1938 pernah juga dipugar oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa catatan yang beredar dan Carub Kanda tentang Taman Sari Gua Sunyaragi menyebutkan bahwa, Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan, karena beralih fungsinya Giri Nur Sapta Rengga (Astana Gunungjati) yang sekarang menjadi kompleks pemakaman Sultan Cirebon.
Jika Kraton Pakungwati dibangun pada tahun 1529, sementara Taman Sari Gua Sunyaragi, Taman Bujenggi Obahing Bhumi, dan Candi Bentar menunjukkan angka 1529. Sementara di Sitihinggil, Kraton Kasepuhan memuat candra sengkala Banteng Tinataan Bata yang menunjukkan angka 1529. Bangunan Taman Sari Gua Sunyaragi secara keseluruhan memiliki motif awan dan batu karang. Dari sinilah diduga lahirnya motif batik Cirebon yang disebut dengan batik mega mendung dan motif wadasan.
Jika benar pengaruh Hindu, maka pola awan dan batu karang yang juga diyakini sebagai keyakinan Hindu, melambangkan Indraloka. Kompleks Gua Sunyaragi terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kompleks Pesanggrahan dan kompleks gua yang berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi dengan saluran air. Di kompleks gua induk terdapat Gua Petheng, dan di bagian atasnya terdapat pondok. Konon, di sinilah para Sultan melakukan semedi.
Sedangkan pada relief-relief yang mengkisahkan epos Mahabarata parwa pertama, menggambarkan pertarungan garuda dan naga yang mengkisahkan asal-usul terjadinya bumi, bersumber dari ceritera Dewa Ruci. Tampaknya, pengaruh Hindu begitu kuat di Taman Sari Gua Sunyaragi.
Taman Air Sunyaragi adalah wahana untuk introspeksi diri. Di dalam kesunyian, seseorang dapat bertafakur kepada Allah SWT dan mencapai Sunyaragi, yakni kembali pada kesunyian. Namun, ada versi lain yang bertutur tentang Gua Sunyaragi, versi itu dikenal dengan nama versi Carub Kanda, yaitu berita lisan yang dituturkan oleh bangsawan Cirebon, bahwa Gua Sunyaragi dibangun ke dalam tiga periode.
Pertama, menurut versi Carub Kanda, yaitu Gua Pawon, Gua Pengawal, Gua Lawa dan kompleks Gua Petheng, termasuk Gua Kelanggengan, dan Gua Padhang Ati. Gua-Gua tersebut dibangun oleh Pangeran Emas Muhammad Arifin II yang bergelar Panembahan Gusti Ratu Pakungwati I.
Sejarah Singkat Gua Sunyaragi
Menurut versi ini, pembangunan tahap pertama mendapat bantuan dari Pangeran Sepat, utusan dari Demak dan Pangeran Losari, juga pengiring dan pengawal Putri Ong Tien Nio, istri Sunan Gunung Jati. Pembangunan tahap dua terjadi pada tahun 1703 oleh Pangeran Kararangan yang bergelar Pangeran Arya Cerbon. Tempat-tempat yang dibangun adalah Gua Arga Jumut, Gua Bale Kambang, Mande Beling.
Pada tahap tiga, pembangunan dilanjutkan oleh Pangeran Matangaji yang membangun Gua Pande Kemasan, Gua Simanyang, Bangsal Jinem. Bangunan-bangunan tersebut seluruhnya ada di bagian depan areal Gua Sunyaragi. Jika anda ingin mengunjungi Gua Sunyaragi, tidaklah sulit. Terlebih jika anda menggunakan kendaraan roda empat.
Gua Sunyaragi terletak di sisi jalan raya Brigjen Dharsono (bypass) yang termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. Lokasinya yang mudah dijangkau baik kendaraan roda dua atau empat menjadikan Gua Sunyaragi destinasi wisata Kota Cirebon yang banyak dikunjungi oleh masyarakat, baik dalam maupun luar kota.
Menurut Jajat Sudrajat, sebagai pengelola yang ditunjuk oleh Kraton Kesepuhan, “Pengunjung akan membludak jika musim libur panjang tiba. Saat ini menurun, karena pandemi COVID-19 yang tak tahu kapan berahir", tuturnya sambil berjalan mengitari komplek Gua Sunyaragi bersama penulis.
“Ini Taman Sari sebenarnya”, lanjut Jajat, "karena di peristirahatan Nur Giri Sapta Rengga, sebuah pesanggrahan yang sudah ada sejak sebelum berdirinya Kota Cirebon lebih dikenal dengan nama Gunung Sembung." Lebih jauh, Jajat menjelaskan, “ Putri Ong Tien Nio dimakamkan di sana, kemudian keturunan Syekh Syarif Hidayatullah, Gunung Sembung, dan akhirnya lokasi ini penuh dengan makam.”
Pangeran Emas Muhamad Arifin II yang bergelar Panembahan Gusti Ratu Pakungwati I, kemudian membangun pesanggrahan baru menggantikan Nur Giri Sapta Rengga dengan dibantu oleh Pangeran Sepat dan Pangeran Losari. Mulailah pembangunan yang bermula di tepi segaran (Danau Jati) pada tahun 1458 Saka dengan fungsi utamanya untuk menyepi (mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa).
Nama Gua Sunyaragi sesungguhnya memiliki makna tersendiri. Sunya ialah sunyi, sedangkan kata ragi berarti raga atau tubuh. Filosofinya adalah kesunyian raga. Bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat materialistis untuk memperoleh kekayaan, bahkan dengan tindakan tercela (korupsi).
Dengan menyucikan diri, barangkali kita dapat menahan segala keinginan nafsu badani. Dari keberadaan Sunyaragi, para leluhur Cirebon mengajarkan bagaimana hidup sederhana dengan cara menyepikan diri dari segala keinginan materi yang berlebih.
Sebutan Taman Klangenan diposisikan di depan nama areal pesanggrahan yang juga dikenal dengan sebutan Taman Klangenan Sunyaragi. Klangenan memiliki arti yang sama dengan istilah taman sari. Maka, pesanggrahan itu pun disebut juga dengan Taman Sari Sunyaragi. Pesanggrahan itu dikenal dengan sebutan Gua Sunyaragi. Hal ini dapat dimaklumi, karena lorong sempit yang berliku dan gelap, menyerupai bentuk gua.
Komplek Gua Sunyaragi, apabila dicermati dengan seksama, akan muncul kesan sakral. Kesakralan itu didukung oleh adanya lorong-lorong bekas tempat berkhalwat (pertapaan), kolam pemandian (pertirtaan), altar bekas pemujaan, dan benda-benda arkeologis yang bersifat spiritual.
Benda-benda Arkeologis di Kompleks Gua Sunyaragi
Ternyata banyak ditemukan benda sejarah di Kompleks Gua Sunyaragi, di antaranya, pecahan keramik, arca Dewi Perawan Suti, porselen dari Cina. Benda-benda tersebut tersimpan dengan baik di Gedung Museum Gua Sunyaragi.
Bila kita cermati lebih jauh, Gua Sunyaragi memiliki penataan batu-batu karang yang membentuk motif atau corak wadasan dan mega mendung, kemudian bagian-bagian tertentu yang juga dilengkapi dengan motif flora merambat, baik berupa patran ataupun simbaran.
Salah satu peninggalan benda arkeologis adalah arca Dewi Perawan Sunti. Arca ini konon, pada awalnya dibuat dari kayu, namun oleh pemerintah kolonial dipindahkan entah kemana. Kemudian Pangeran Sepat membuat kembali arca Dewi Perawan Sunti yang sesungguhnya diabdikan kepada Putri Ong Tien Nio, sebagai istri dari Syekh Syarif Hidayatullah.
Perawan Sunti adalah seorang anak perawan (gadis) yang hamil sampai melahirkan anak, namun tidak pernah mengalami persetubuhan dengan laki-laki. Dalam catatan sejarah Cirebon, yang dimaksud Perawan Sunti adalah Putri Ong Tien Nio, demikian pemaparan Jajat Sudrajat pada penulis.
Selain benda arkeologis, di Gua Sunyaragi, motif pasangan-pasangan batu karang yang ada membentuk corak wadasan. Ada pula motif tanaman merambat berupa patran dan simbaran. Diduga, corak-corak tersebut melatarbelakangi lahirnya motif batik Cirebon yaitu wadasan dan mega mendung.
Motif batik yang lahir dari motif yang ada di Gua Sunyaragi ialah batik sunyaragian. Motif patran atau sulur-suluran tampaknya terilhami oleh motif yang ada di Gua Sunyaragi. Kekayaan motif batiknya juga merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Gua Sunyaragi memang berbeda dengan candi atau kuil. Gua Sunyaragi merupakan tempat para Sultan dan bangsawan Cirebon di masa lalu untuk menyepi, mencari kesunyian agar mendekat kepada Sang Pencipta alam semesta. Para pertapa melakukan laku hening dan sunyi. Karena itu, Gua Sunyaragi berbentuk ruang-ruang sempit.
Menurut tradisi yang ada, nama-nama ruang itu adalah 1. Gua Pangawal, 2. Gua Pande Kemasan, 3. Gua Simayang, 4. Bangsal Jinem, 5. Gua Pawon, 6. Mande Beling, 7. Gua Lawa, 8. Gua Padang Ati, 9. Gua Kelanggengan, 10. Gua Petheng.
Menurut Jajat Sudrajat, selaku pengelola, gua-gua itu saat ini memang sudah tidak digunakan untuk menyepikan diri, justru dibuka bagi wisatawan. Gua Sunyaragi sudah menjadi aset wisata, baik bagi kraton ataupun Pemerintah Kota Cirebon.
Situasi pandemi berdampak pada pariwisata tanah air. Sepinya pengunjung membuat para pengelola harus bersiasat agar Gua Sunyaragi tetap dikunjungi, sambil berharap wabah COVID-19 segera berakhir dan pariwisata Cirebon bangkit kembali.
Penyunting: Nadya Gadzali