Siang itu, panas terik diabaikan oleh segerombolan anak-anak muda yang berjalan beriringan, berkeliling keluar-masuk jalanan hingga kampung. Digenggamnya kaleng cat bekas kosong untuk disuguhkan kepada orang-orang. Harapannya cuma satu, dimasukannya uang ke dalam kaleng cat yang disodorkan. Tak ketinggalan, didorongnya gerobak yang berisikan alat pengeras suara sederhana yang mengeluarkan suara musik sember. Di depannya, ondel-ondel menari mengikuti alunan musik.

Sudah tentu ondel-ondel bukan hal baru bagi warga Jakarta, apalagi masyarakat Betawi. Sejak menjadi maskot Jakarta, ketenaran boneka raksasa ini semakin melejit. Apalagi sejak almarhum Benyamin Sueb membuat lagu berjudul ondel-ondel, semakin banyak pula orang yang mengetahui boneka khas Betawi ini.

Ondel-ondel berukuran tinggi ke atas sekitar 2,5 meter, dengan lebar sekitar 80 sentimeter dan terbuat dari anyaman bambu. Bagian dalamnya dibuat berongga dan dibuat semacam pagar atau kurung ayam, agar memudahkan orang yang akan mengangkat sekaligus menggerakkannya. Di kepalanya terdapat rambut yang terbuat dari ijuk yang dirajut, ditambah hiasan bunga kelapa warna warni yang dibuat mekar serupa bunga.

Di balik ketenarannya, tak diketahui secara pasti kapan pertama kali boneka ini muncul. Catatan paling tua tentang ondel-ondel yang dapat ditemukan adalah pada tahun 1600-an. Kala itu, seorang pedagang asal Inggris bernama Edmun Scott, melihat sebuah boneka raksasa pada iring-iringan pengantar Pangeran Jayakarta. Walaupun nama dan bentuknya tidak terperinci, namun diyakini boneka raksasa yang ia maksud adalah ondel-ondel.

Ragam Fungsi Ondel-ondel

Sulit memang mencari sumber pasti yang membicarakan seputar asal muasal kemunculan ondel-ondel. Menyadur hasil penelitian Ayu Nova Lissandhi yang berjudul "Kesenian Ondel-ondel (Studi Dinamika dalam Kelompok Etnis Betawi di Jakarta)", diyakini bahwa kesenian khas Jakarta ini berasal dari Suku Betawi pinggir yang tidak terlalu fanatik terhadap Islam. Alhasil, mereka masih memegang teguh kepercayaan tentang roh-roh yang menguasai kehidupan manusia, serta masih melaksanakan praktik-praktik magis lainnya.

Hal itu sangat berpengaruh pada aspek spiritual boneka besar ini, seperti unsur magis dan mistis yang melekat, sampai-sampai boneka ini begitu dikeramatkan. Oleh karenanya, pada zaman itu pembuatan ondel-ondel tidaklah sembarangan. Dibutuhkan suguhan-suguhan bersifat magis atau sering disebut dengan sesajen dalam proses pembuatannya. Setelah rampung, ondel-ondel akan kembali diberi sesajen dan dibasuh menggunakan asap kemenyan yang ditambahkan mantra-mantra. Pemainnya pun melakukan ritual pembakaran kemenyan.

Selain mengandung unsur mistis, ondel-ondel juga tampak menyeramkan. Hal itu terjadi lantaran ondel-ondel pernah difungsikan sebagai penolak bala (sial), sehingga sengaja dibuat tampak menyeramkan: berrambut gimbal dengan mata terbelalak, bergigi tajam dengan taring menjulur ke luar bibir, serta postur tubuhnya yang tambun membuat perawakannya semakin tampak menyeramkan. Bukan tanpa alasan, ondel-ondel dibuat menyeramkan untuk menakut-nakuti setan atau roh jahat, sehingga mereka enggan memberikan kesialan pada manusia. Di sini, ondel-ondel bersifat spiritual lantaran kentalnya unsur kepercayaan masyarakat Betawi.

Selain pernah berfungsi sebagai penolak bala, ondel-ondel juga berfungsi sebagai sarana penghibur rakyat sejak zaman Hindia Belanda. Boneka ini pernah diarak ramai-ramai keluar-masuk kampung oleh masyarakat Batavia. E.R. Scidmore, seorang wisatawan Amerika yang pernah mengunjungi Jawa sekitar abad 19 pernah menuliskannya. Ia menggambarkan bahwa Batavia memiliki seni jalanan (street art) berupa tarian boneka raksasa yang diarak oleh masyarakat di Batavia di dalam bukunya yang berjudul "Java, The Garden of The East". Walaupun tidak ditulis dengan jelas mengenai jenis tariannya, namun tetap diyakini bahwa dimaksud oleh Scidmore ialah ondel-ondel. Di sini, digambarkan bahwa ondel-ondel berfungsi sebagai hiburan rakyat dengan cara diarak berkeliling keluar-masuk kampung.

Kini, ondel-ondel bertambah fungsinya menjadi ikon budaya. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Di era ini, perawakan ondel-ondel mengalami perubahan. Kesan menyeramkan yang ada, dilepaskan agar ondel-ondel dapat dijadikan simbol ibu kota. Taring, mata terbelalak, dan kesan-kesan menyeramkan lainnya kemudian dihilangkan.

Sejak saat itu, tidak ada lagi ritual-ritual mistis yang menyertai kehadiran ondel-ondel, melainkan digunakan untuk perayaan, sekaligus menjadi ikon kebudayaan Jakarta. Sejak saat itu, hingga saat ini, ondel-ondel dijadikan ikon budaya ibu kota. Masyarakat Betawi biasa menghadirkan ondel-ondel pada momen hajatan, penyambutan tamu kehormatan, serta acara-acara resmi lainnya.

Filosofi Ondel-ondel

Selayaknya manusia, ondel-ondel juga berjenis kelamin perempuan dan laki-laki. Dibedakan dari bentuk dan warna wajah. Ondel-ondel berwajah merah, memiliki kumis, dan alis tebal adalah representasi wajah laki-laki. Sedangkan perempuan, digambarkan bermata teduh, berwajah putih dengan bibir tipis berwarna merah, seolah mengenakan gincu.

Pemberian warna pada wajah, bukan tanpa alasan. Warna merah pada laki-laki ialah perlambang amarah untuk menakuti-nakuti roh jahat. Sedangkan warna putih pada wajah ondel-ondel perempuan melambangkan sifat keibuan yang lembut.

Sumber lain mengatakan bahwa warna merah pada wajah ondel-ondel ialah perlambang sifat jahat, sedangkan warna putih pada ondel-ondel perempuan adalah simbol kekuatan baik. Oleh karena itu, ondel-ondel harus selalu berpasangan karena keduanya melambangkan keseimbangan, dua sisi antara energi positif dan negatif.

Filosofi bagian tubuh ondel-ondel, dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya memiliki arti. Dalam studi yang dibuat oleh Asih Retno Dewanti yang berjudul "Ondel-ondel Sebagai Ikon Seni Tradisi Betawi", dijelaskan makna-makna yang terdapat pada ondel-ondel. Dijelaskan dalam studinya tentang penggunaan bunga kelapa pada kepala boneka ikon Jakarta. Hiasan ini dipasang mengelilingi kepala sebagai rambut ondel-ondel. Bunga kelapa digunakan untuk melambangkan pohon yang tumbuh di daerah pesisir atau tepi pantai. Ditinjau secara geografis, penggunaan bunga kelapa sesuai dengan Jakarta yang berada di kawasan pesisir. Jakarta dahulu dikenal sebagai kota pelabuhan Sunda Kelapa yang ditumbuhi pohon kelapa yang subur di sepanjang tepi pantainya.

Kepala ondel-ondel tidak hanya dihias oleh bunga kelapa,melainkan juga mahkota. Mahkota melambangkan pernah adanya kerajaan yang berjaya pada dahulu kala, dengan tokoh masyhurnya bernama Pangeran Jayakarta. Pakaian yang dikenakan ondel-ondel dibedakan menurut jenis kelaminnya. Ondel-ondel perempuan menggunakan kebaya encim yang menggambarkan pernah adanya hubungan dagang dengan Cina. Hal itu dikarenakan pakaian ini banyak dikenakan oleh kaum perempuan Tionghoa. Sedangkan ondel-ondel laki-laki, umumnya berbalut pakaian “sadria” atau “ujung serong”, pakaian adat masyarakat Betawi yang mendapat pengaruh dari bangsa Arab. Sebab zaman dahulu, pernah terjalin hubungan dagang dengan bangsa Arab.

Tidak ketinggalan, hiasan pada pakaiannya pun mengandung makna. Ada selendang bermotif flora yang digunakan ondel-ondel perempuan. Motif itu melambangkan kesuburan wilayah Jakarta. Bagian bawahnya, dililitkan sarung batik Betawi dengan motif yang sama, yaitu motif flora dan fauna. Sedangkan ondel-ondel laki-laki, bercirikan selempang bermotif kotak-kotak, atau yang kerap disebut “sarung cukin” yang dipadukan dengan "sarung jamblang”, pakaian untuk menutupi bagian bawah tubuh ondel-ondel.

Penyunting: Nadya Gadzali