Selain memiliki aksara dan bahasa, Suku Lampung juga memiliki budaya arsitektur rumah tradisional yang hingga kini masih tersimpan jejaknya. Di sejumlah kampung tua di berbagai belahan wilayah Provinsi Lampung seperti Kenali, Kembahang, Rajabasa, Kampung Wana, Olokgading, Blambangan Pager, Gunung Sugih, Sukadana, Kenali, Menggala, Talangpadang dan kampung-kampung tua lainnya, masih dipertahankan oleh masyarakat setempat.

Arsitektur rumah tradisional Suku Lampung, atau yang juga disebut Rumah Panggung, memiliki makna yang sangat mendalam terkait budaya. Sayangnya, seiring melajunya perkembangan zaman, rumah tradisional Lampung mulai digantikan oleh rumah modern. Pemilik rumah merobohkan rumah panggungnya dan mengganti bangunan modern bergaya spanyol, hingga gaya minimalis yang sedang tren.

Rumah Panggung tradisional berbahan kayu dan berbentuk panggung seperti umumnya rumah di kawasan hutan tropis. Sedangkan teknologi pembuatan rumah panggung—nuwo gacak, lamban langgar—dengan atap miring merupakan karakter khas arsitektur Asia.

Dari segi fungsi, rumah tradisional Lampung berhasil menempatkan para penghuninya secara manusiawi, baik dengan sesama penghuni, maupun dengan lingkungannya. Selain itu, Rumah Panggung juga merefleksikan semangat keterbukaan, kekuatan, kenyamanan, serta keindahan. Sedangkan pembagian ruangnya, sesuai dengan fungsi dan hierarki masyarakat adat Lampung.

Jika kita menengok arsitektur Rumah Jawa (Joglo), khususnya Solo dan Yogyakarta, rumah dibangun dengan prinsip kepercayaan kejawen. Di Lampung, rumah tinggal dibangun berdasarkan prinsip buway, yaitu struktur sosial yang menyatu dengan teritorial.

Menurut Arsitek perancang Menara Siger Lampung, Ir. Ahsori Djausal, MT, pakem rumah orang Lampung biasanya didirikan di dekat sungai dan berjajar di sepanjang jalan utama yang membelah tiyuh atau kampung. Sedangkan setiap kampung, terbagi lagi menjadi beberapa bagian yang disebut dengan bilik, yaitu tempat berdiamnya buway.

Buway ialah representasi kesatuan teritorial-genealogis yang disebut dengan marga. Setiap biliknya menyimpan sebuah rumah klan yang besar, atau yang disebut dengan nuwou menyanak. Rumah ini dihuni oleh kerabat tertua yang diberikan amanat kekuasaan untuk memimpin keluarga.

Ansori Djausal yang juga Ketua Akademi Lampung menjelaskan bahwa, arsitektur tradisional Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal yang disebut dengan lamban, lambahana atau nuwou, bangunan ibadah yang disebut mesjid, mesigit, surau, rang ngaji, atau pok ngajei, bangunan musyawarah yang disebut dengan sesat atau bantaian, bangunan untuk menyimpan bahan makanan, serta benda pusaka yang disebut dengan lamban pamanohan.

Arsitektur tradisional selanjutnya ialah lamban pesagi yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung, sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah yang diboyong ke Museum Lampung Ruwai Jurai ini sudah berusia kurang lebih 300 tahun, berasal dari Desa Kenali, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat. Sedangkan di sampingnya juga terdapat walai atau lumbung padi yang berasal dari Wonosobo, Tanggamus, yang telah berusia ratusan tahun.

Walai atau lumbung padi yang dibangun pada 1883 di Wonosobo, Tanggamus/ Christian Heru Cahyo Saputro

Dua jenis rumah adat nuwou balak semula merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Di dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan, yaitu lawang kuri (gapura), pusiban (tempat tamu melapor) dan ijan geladak (tangga "naik" ke rumah); anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), serambi tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), lapang gung (tempat kerabat wanita berkumpul), kebik temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).

Bangunan lain adalah nuwou sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu, balai ini juga disebut sesat atau Balai Agung. Bagian-bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap). Atap itu disebut rurung agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang gajah merem (tempat istirahat bagi para penyimbang).

Anshori menambahkan, hal lain yang khas dari rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung) berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun. Kosmologi Budaya Lampung di rumah panggung, Antropolog Oki Laksito mengatakan, Clifford Geerzt menegaskan melalui paradigma kulturalnya, menyebutkan sebuah benda pada hakekatnya adalah simbol yang mengomunikasikan, menginformasikan, dan menyatakan gagasan, pengetahuan dan kepercayaan suatu masyarakat. “Melalui sebuah benda, masyarakat menerjemahkan konsepsi-konsepsi kultural yang diwariskan nenek moyang secara turun menurun. Sebuah konsep yang mengkonstruksikan kosmologi world view dan paradigma metafisika tertentu,” ujar pemerhati cagar budaya ini.

Menurut budayawan Lampung, Mawardi Harirama, pendirian rumah Lampung melalui berbagai proses kultural antara lain, dengan sesaji dan doa-doa. Bahkan, setiap ruang dalam rumah Lampng memiliki makna dan fungsi. “Contohnya, jika mau masuk halaman rumah harus melalui gapura. Gapura berasal dari kata ghopura artinya pengampunan,” ujar pemilik Pusat Informasi Budaya Lampung “Kedatun Kagungan” di Bandar Lampung. Jadi gapura, imbuh Mawardi, merupakan lambang pengampunan kesadaran dosa-dosa kita sehingga ketika memasuki rumah, keratun atau marga harus sudah bersih dari dosa-dosa, sehingga mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.

Di tempat lain, ia menerangkan bahwa gapura juga disebut lawang kuri atau pintu kesadaran yang berarti mempunyai kesadaran akan dosa-dosa dan kesalahan. Jika hendak memasuki wilayah keratun atau marga, agar senantiasa berada dalam lindungan Tuhan.

Ornamen pada pintu/ Christian Heru Cahyo Saputro

Anshori Djausal menambahkan dalam mendirikan rumah di Lampung pun terjadi proses kultural. Dicontohkannya di wilayah Blambangan Pager, Lampung Utara, saat membangun rumah ada ritual sesaji dan pembacaan mantera-mantera (nyebut). “Proses kultural ini menyimbolkan berbagai hal, contohnya, sesaji ini merupakan pesan dengan idiom yang mudah dipahami masyarakat,” terang Anshori. Sedangkan rumah, imbuh Anshori, dipahami dalam konteks luas bukan hanya sekadar tempat bernaung, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam.

Dari rumah, diharapkan kelak dapat terbentuk karakteristik sebuah keluarga inti hingga komunitas masyarakat yang berkualitas baik. Kosmologi ruang Rumah Panggung, Anshori membeberkan dalam pola penataan ruang dalam rumah tradisional Lampung, dipengaruhi pola struktur sosial dalam masyarakat Lampung.

Konsepsi yang menyatu dalam rumah panggung sangat jauh dari kesan fungsional sebagai ruang tempat tinggal an sich. ”Di dalam rumah panggung kita bisa ’membaca’ tentang pengakuan adat Lampung terhadap sistem kekerabatan”, bebernya. Pola ini bisa dilihat dari segi rumah tradisional di Blambangan Pagar, Lampung Utara, di Desa Wisata, Wana, Melinting, Lampung Timur dan Kenali Lampung Barat. Ruang-ruang yang ada terbagi dari beberapa ruang antara lain, tepas, ruang agung, kebik temen, kebik tengah, kebik tengah, gaghang, dapur dan ganyang besi.

Tangga rumah kenali/ Christian Heru Cahyo Saputro

Ruang tepas serambi terbuka pada bagian rumah yang berhubungan dengan ijan untuk naik ke rumah panggung. Ruang tepas berfungsi sebagai tempat penerima atau tempat anggota keluarga beristirahat terutama pada siang hari. Di ruang tepas ini juga tempat generasi muda mufakat (merwatin). Lantai ruang beranda serta bagian ruang lain untuk tipe rumah mewah, biasanya menggunakan papan. Sedangkan rumah sederhana menggunakan bilah-bilah bambu yang disusun dan diikat dengan rotan.

Ruang tepas ambin merupakan ruang terbuka yang didesain agar tamu tertarik untuk mampir, karena letaknya yang tinggi penghuni di rumah ini dapat melihat jalan dan rumah tetangga. Ruang tepas ambin ini dapat mempererat ikatan yang kokoh antarwarga dan kerabat. Ini mencerminkan salah satu dari empat falsafah atau pandangan hidup masyarakat Lampung (piil pesenggiri) yakni nemui nyimah, artinya selalu membuka diri terhadap tamu.

Ambin tidak sama dengan amben pada serambi rumah tradisional Sunda. Pada masyarakat adat Lampung Melinting, ruang pertama dalam rumah adalah ruang pengindangan luwah/ragah/lapang luar. Ruang ini biasanya berbentuk empat sama sisi berfungsi sebagai ruang tempat musyawarah keluarga dan kerabat. Bagian sisi kiri dan kanan dan depan ruang beranda, terdapat teralis kayu bercorak ragam hias yaitu adang-adang, pebas dan kandang rarang.

Ruang agung berada di tengah, lebih tinggi dari tepas. Fungsi ruang ini berfungsi sebagai tempat Merwatin. Lantai yang sedikit lebih tinggi menunjukkan hierarki ruang yang lebih tinggi. Ruang ini mencerminkan sakai sambaian atau mufakat.
Sedangkan pada masyarakat adat di Desa Wana, Melinting, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, setelah melewati ruang luwah, ada ruang yang sama besarnya.
Ruang yang disebut ruang lapang lom ini hampir sama luasnya dengan ruang lapang luar. Ruang ini berfungsi sebagai tempat musyawarah atau tempat berbincang-bincang kaum wanita (pengidangan sebay) yang juga biasa dipakai sebagai tempat tidur anak-anak wanita selepas menyusui atau tamu wanita. Selain itu, ruang ini juga digunakan untuk menjamu kerabat dekat.

Pada masyarakat adat Desa Wana, di sebelah ruang lapang lom atau ruang agung, ada ruang tempat tidur (pates). Ruang lapang lom dengan pates dipisahkan oleh dinding atau penyekat. Ruang tidur itu digunakan sebagai tempat tidur istri atau ibu rumah tangga beserta anak balita. Ruang pates bersebelahan dengan ruang yang disebut lambe pates. Ruang ini berfungsi sebagai tempat anggota keluarga yang sakit, sudah manula atau tempat memandikan jenazah. Jika tidak digunakan untuk itu, ruang lambe pates ini dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan peralatan rumah tangga.

Sedangkan di komunitas masyarakat adat Desa Blambangan Pagar, Lampung Utara, selain ruang ibu rumah tangga, ruang lainnya untuk anak lelaki kedua. Masing-masing kebik atau ruang dipisahkan dengan lidung andak, lidung bunguk suluh dan lidung pelangi merah. Ruang gaghang, ruangan ini tempat mencuci peralatan rumah tangga. Ruang dapur ini merupakan ruang untuk memasak makanan.

Pada tipe rumah mewah di Melinting, ruang lapang lom dan dapur dihubungkan dengan koridor penghubung disebut geragal, jembatan atau jeram bah. Bagian geragal diberi atap yang sama tingginya dengan atap dapur. Selain tempat tungku perapian untuk memasak sehari-hari pawon atau sekelak dan tempat menyimpan persedian makanan, ruang dapur juga berfungsi sebagi tempat penyimpanan peralatan baik peralatan memasak, pengolahan makanan maupun peralatan pertanian.

Ruang ganyang besi adalah tempat untuk famili yang belum berkeluarga. Ruangan ini dibatasi dengan lidung suluh merah ati. Pada rumah tradisional masyarakat pesisir Way Urang, Kalianda, ruang-ruang yang ada terbagi lima, yakni ambin (serambi atau tepas), ruang purwatin (ruang mufakat), bilik balak (kamar pengirim), bilik anak (kamar untuk istri).

Metamorfosa

Konstruksi rumah panggung (tradisional) Lampung memang terus bertumbuh kembang. Gesekan dan pengaruh kebudayaan dari luar cukup deras terutama teknologi pertukangan dari Jawa dan Sumatera Selatan. Pada awalnya, rumah tradisional Lampung berbentuk bujur sangkar. Tetapi bentuknya yang dikenal saat ini, berbentuk empat persegi panjang.  

Sedangkan dapur sudah terpisah dari ruangan utama dan sambungannya menggunakan pasak. Atapnya menggunakan seng atau genteng. Bentuk atas limas burung ini, sudah dipengaruhi teknologi pertukangan dari Meranjat, Kayu Agung, Sumatera Selatan.

Bentuk rumah tradisional yang lebih tua lagi, berasitektur perahu seperti di tanah Batak dan Toraja. Sedangkan rumah beratap ijuk, membuat kesan masif. Bentuk rumah tipe ini masih tersisa beberapa, antara lain, di daerah kampung tua Kenali, Liwa, dan Museum Lampung.

Lantaran pengaruh modernisasi dan globalisasi, bentuk rumah Lampung juga mengalami transformasi dan adaptasi. Perkembangan teknologi juga ikut memengaruhi konstruksi rumah tradisional Lampung. Perubahan pada rumah tradisional Lampung dapat dilihat pada ruang di bawah rumah yang disebut di bah nuwo.

Awalnya bagian bawah rumah atau kolong tidak banyak bermanfaat, kecuali untuk menghindari para penghuninya dari binatang buas seperti harimau dan beruang. Selain itu, rumah panggung dibuat agar terhindar dari luapan banjir. Makin ramainya pemukiman serta makin jarangnya binatang buas masuk perkampungan. Lama kelamaan, kolong rumah berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi, dan hewan peliharaan lainnya.

Seiring dengan perkembangan dan situasi tiang kayu (agi) penyangga diganti dengan batu bata atau beton cor. Beberapa bagian rumah lainnya juga menggunakan semen, cat dan kaca. Beberapa pengembangan dan perubahan dengan menggunakan teknologi, menjadikan arsitektur rumah tidak tradisional lagi, karena kaidah dan fungsinya sudah bergeser. Misalnya, tepas atau serambi ditutup dengan jendela kaca. Ruang di bawah rumah ditutupi kayu atau bahan bangunan lainnya.

Sesat atau pusiban bisa saja diubah, tetapi harus memperhatikan hirarki tata ruang yang telah diwariskan secara turun temurun. Maksudnya, teknologi serta bahan-bahan bangunan modern dapat memperkokoh bangunan, namun arsitektur dasarnya tetap. Tata bangunan dan ruang yang mengandung makna simbolis dan filosofis patut dilestarikan.

Harapan

Demi lestarinya rumah tradisional Lampung, diharapkan yang mengalami perubahan bukan hanya bentuk fisiknya saja, tetapi juga teknologi dan estetikanya. Perubahan yang ada diharapkan dapat semakin mengentalkan nilai-nilai kultural dan filosofis yang terkandung, bukan justru merusaknya. Harapannya, rumah pangggung tetap menjadi tempat berumahnya kosmologi budaya Lampung. Tak lapuk oleh hujan dan tak  lekang dari oleh panas. Tetap lestari dalam peta sejarah dan memperkaya mozaik arsitektur Indonesia.

Penyunting: Nadya Gadzali