Kesenian (tradisi) cenderung dibaca sebagai rupa atas citra estetik semata oleh sebagian besar orang. Bagaimana konstruksi harmoni, dinamika, dan berbagai unsur itu dipresentasikan sehingga sanggup memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin penikmatnya?
Kristalisasi nilai yang terbangun di dalamnya cenderung diabaikan, sedang ia selalu saja memuat pesan penting tentang bagaimana masyarakat dan kehidupannya. Nilai yang hadir dalam entitas budaya terus mengalami perubahan secara dinamis, sesuai dengan perubahan dalam kehidupan masyarakatnya (Peterson, 1977).
Nilai dan kesepakatan baru yang muncul, kemudian ditransformasikan ke dalam berbagai unsur yang membentuk entitas. Budaya sebagai jati diri bangsa tidak muncul begitu saja dan bukan sesuatu yang mengada-ada. Dikonstruksi melalui pengalaman empirik seseorang atau sekelompok orang melalui proses yang cukup dinamis.
Secara repetitif dipresentasikan dan disepakati bukan dari sudut pandang suka atau tidak suka, melainkan sesuai atau tidaknya dengan realitas kehidupan masyarakat. Konstruksi budaya menjadi wujud transformasi nilai masyarakat ke dalam bentuk “lain", apakah berwujud benda, tatanan, gaya, dan lain sebagainya? Tak terkecuali seni tradisi yang hidup di dalamnya.
Seni tradisi mengalami persentuhan dengan berbagai gejala yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang dinamis (Yeni, 2012). Maka apapun itu wujudnya, jelas ia telah berproses untuk menghadirkan bentuknya sesuai dengan nilai yang hidup dan berkembang. Perbedaan rupa antara seni tradisi dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keniscayaan, sebab menggambarkan bagaimana setiap masyarakat memiliki kekhasan atau keunikan.
Tidak heran jika masyarakat dari luar kebudayaan akan cenderung lebih tertarik dari pada masyarakat pemiliknya. Bukankah itu kemudian merepresentasikan dirinya ketika hadir di tengah masyarakat asing? Di mana ia seringkali mendapati berbagai hal unik karena faktor kebiasaan. Artinya, pengalaman empirik yang dimiliki seringkali menjadi dasar baginya untuk membaca realitas, meskipun masyarakat pemiliknya menganggap hal itu biasa-biasa saja.
Karena setiap wujud dan nilai yang muncul memang sudah menjadi hal biasa dan kebiasaan bagi mereka. Perasaan “biasa” yang muncul dalam pribadi masyarakat pemilik kebudayaan, dalam perjalanannya turut mengaburkan nilai dalam sebuah entitas kebudayaan. Kecenderungan yang muncul adalah, masyarakat hanya memahami bentuk sebagai bentuk, bukan sebagai nilai.
Di sisi lain, orang lain yang berusaha membaca suatu kebudayaan cenderung mengedepankan pendekatan komparatif berdasar atas pengalaman empiriknya. Sehingga makna yang muncul cenderung subjektif dan tidak sanggup menjelaskan nilai dari wujud yang sebenarnya. Sedang untuk memahami budaya dari sudut pandang pemiliknya, tentu memunculkan konsekuensi bahwa ia harus menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Meski demikian, ia belum tentu sanggup membaca nilai itu secara sempurna.
Marc Benamou (2010) salah satu yang melakoni praktik membaca "rasa" orang Jawa juga tampak belum menemukan makna rasa secara sempurna. Meski harus berdiam dan berpolah sebagai orang Jawa selama belasan tahun seperti yang diungkap oleh R. Supanggah (2010) dalam menanggapi penjelasan Benamou. Tetapi apa yang dilakukan Benamou sejatinya bukanlah sebuah kegagalan, karena dalam konteks memahami sebuah pesan "rasa" itu setidaknya ia mampu memantik kesadaran Supanggah dalam melengkapi ‘subjektifitas’ yang dimunculkan.
Seperti halnya Benamou, Mantle Hood, Geertz, dan lain sebagainya tampak menjadi pemantik terbangunnya wacana untuk membedah makna dalam setiap entitas budaya. Di dalam proses "membaca" budaya, masyarakat pemilik kebudayaan menjadi titik penting untuk menemukan makna sebenarnya. Mengungkap berbagai pesan yang terbungkus dalam citra estetik gamelan salah satunya, orang akan sanggup memahami berbagai nilai yang diwariskan dan hidup dalam diri setiap orang “Jawa”.
Kronik Gamelan Jawa dan Gong Gede (nya)
Pada dekade terakhir, tampak data statistik lebih digandrungi para calon pemimpin negeri dalam membaca peluang dan menjalankan strategi dalam memenangi hati rakyat untuk mencapai kekuasaan. Merebaknya lembaga survei yang hampir seluruhnya menyajikan angka-angka sebagai tolok ukur membangun strategi pemenangan dinilai lebih menjanjikan ketimbang membaca realitas yang hidup dalam masyarakat.
Membaca kebudayaan tentu akan sangat berbeda ketimbang membaca persepsi publik yang muncul dari serangkaian pertanyaan terstruktur. Membaca kebudayaan sejatinya adalah sebuah pola untuk memahami masyarakat sehingga benar sosok pemimpin akan mengetahui secara persis soal bagaimana masyarakat yang akan ia wakili dan pimpin. Kedua hal itu seharusnya sanggup berjalan beriringan ke depan, sehingga sosok pemimpin yang memenangi kontestasi tidak hanya hadir sebagai pemenang atas perolehan angka-angka semata. Melainkan juga sanggup memahami dan melayani masyarakat dipimpin dengan baik dan benar.
Menjadi sebuah pertanyaan kemudian, apa menariknya dari membaca kebudayaan dalam hal ini adalah gong gede? Di dalam sajian pertunjukan gamelan, terdapat dua macam pola permainan instrumen gong yakni gong suwukan dan gong ageng atau gong gede. Perbedaan dari keduanya tampak pada pola permainan, di mana gong suwukan di setiap akhir sajian gending atau lagu, sedangkan gong gede dimainkan hanya pada saat pambuka atau pembuka dan penghujung sajian dalam satu rangkaian permainan sajian gending.
Perbedaan keduanya juga tampak dari ukuran instrumen, di mana gong gede memiliki ukuran lebih besar dari pada gong suwukan. Perbedaan ukuran ini turut menjelaskan perbedaan nada dan rasa yang muncul dari keduanya. Di mana gong gede memiliki nada yang terkesan lebih antep atau berat dibanding dengan gong suwukan. Sebagai sebuah realitas budaya masyarakat Jawa, apakah kemudian yang menarik dalam pembacaannya ketika menyoal perpolitikan yang ada di Indonesia?
Memahami makna dalam budaya, serupa dengan memahami ragam nilai, visi, dan pola kehidupan masyarakat pemiliknya. Gong gede yang menjadi salah satu intrumen terbesar dalam ansambel karawitan Jawa, tampak tidak sering dimainkan dalam pertunjukannya. Melainkan hanya ditabuh pada saat buka (pembukaan) dan suwuk (penutup) dari setiap sajian gending. Berat, antep, lembut tetapi kuat, menjadi karakter yang muncul dari tabuhan yang dimainkan.
Meski hanya dipukul pada saat buka dan suwuk, akan tetapi tanpa kehadirannya sebuah sajian gending akan terasa hambar, tidak ada rasa, bahkan sering mengganggu perasaan (masyarakatnya) kala mendengarkannya. Memicu kegelisahan, karena adanya sesuatu yang janggal dan kurang pada sajian. Jika kemudian istilah antep atau “mantap” menjadi diksi yang tepat dalam memahami gong gede, hal ini menjadi sebuah catatan dalam pembacaannya.
Di dalam berbagai orkestrasi kehidupan terdapat sebuah kata kunci yang jelas disampaikan, bahwa masyarakat menghendaki adanya ketegasan, kemantapan, pada titik awal hingga akhir dari sebuah konstruksi harmoni sebagai sebuah kesatuan proses. Di dalam konteks kontestasi politik, tentu hal ini harus ditafsir lebih jauh untuk menemukan sosok pemimpin yang sanggup merebut hati dengan memahami realitas yang terjadi.
Sesaji dan dupa atau kemenyan seringkali tampak dihadirkan pada entitas gong gede saat berlangsungnya sajian karawitan. Di dalam pola yang dihadirkan, keberadaan instrumen itu tidak terlepas dari adanya unsur sakralitas. Realitas nilai yang diwujudkan dalam berbagai simbol-sesaji itu menjadi penanda ‘pentingnya’ keberadaan instrumen dalam pertunjukan. Tetapi di dalam perjalanannya, instrumen itu menghadirkan rupa paradoksnya yang hanya dimainkan pada bagian awal dan akhir sajian saja.
Artinya, ia tidak secara bersama-sama dengan instrumen lain hadir untuk mengkonstruksi harmoni bunyi. Pada sisi ini, gong gede lebih cenderung mengisyaratkan tentang bentang waktu dalam sebuah proses. Penanda atas titik pembuka (mulai) dan penutup (akhir) dari proses yang terjadi. Tidak hanya gong gede yang menyimpan pesan dalam wujud kebudayaan.
Masih banyak realitas budaya yang dapat ditafsirkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Karena menurut saya, kebudayaan merupakan sebuah representasi atas masyarakat pemiliknya. Ia muncul oleh karena dasar kebutuhan dan dibentuk melalui sebuah proses panjang dan kesepakatan dengan melandaskannya pada prinsip kesesuaian. Sesuai dengan maksud dan tujuan, pun sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi yang dimiliki.
Kebudayaan dan Strategi Pemenangan
Melalui pemahaman atas simpul kebudayaan yang dihadirkan pada entitas gong gede, setidaknya calon pemimpin dapat memahami dua persoalan dalam membangun strategi. Pertama, seorang calon pemimpin tentu perlu berfikir tentang upaya memberikan penekanan kepada masyarakat untuk menghadirkan kemantapan bagi calon pemilihnya, sehingga muncul rasa percaya dan persepsi bahwa ia layak untuk dipilih.
Kedua, upaya itu tentu harus memperhatikan dua titik dalam bentang waktu tertentu pada satu kesatuan proses yang dilakoni, yaitu titik mula dan titik akhir. Seseorang tidak menabuh gong gede dengan sekuat tenaga dalam menghadirkan rasa mantap, melainkan dengan penuh perasaan dan kelembutan. Akan tetapi, mantap untuk menghasilkan gaung yang panjang.
Seorang calon pemimpin tentu harus memahami bahwa ‘rasa mantap’ tidak muncul melalui kekuatan ataupun suara yang lantang. Rasa mantap dalam konteks ini muncul melalui sentuhan perasaan yang disalurkan dengan teknik menabuh tepat pada pencu-nya dalam menghasilkan gaung bunyi yang panjang. Nada yang dihasilkan gong sejatinya adalah nada tinggi. Akan tetapi realitasnya, gong gede menghadirkan nada terendah sebagai nada seleh dalam sajian.
Idealnya, seorang pemimpin bagi masyarakat Jawa, dalam membaca gong ini adalah mereka yang sanggup mentransformasikan kedua realitas itu. Sanggup menempatkan sikap yang tinggi pada wujud rendah hati. Seperti halnya menyampaikan amarah dengan penuh kelembutan dan kerendahan. Realitas inipun sebenarnya tampak dalam entitas budaya lainnya, seperti halnya tokoh Semar dalam dunia pewayangan.
Semar dengan kemampuan, pengetahuan, dan tingginya derajat layaknya dewa, hadir sebagai sosok ‘rendahan’, yaitu sebagai sosok pelayan bagi seorang raja. Titik mula dan titik akhir sebuah sajian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai sebuah proses yang utuh. Misalnya, dalam proses sosialisasi, batasan ruang itu adalah awal mula saat ia memproklamirkan diri untuk maju sebagai kandidat calon pemimpin dan berakhir pada saat menjelang pemilihan adalah saat terakhir kampanye dijadwalkan.
Sebuah proses yang panjang dengan harus tetap menjaga ritme, harmoni, dan dinamika selama proses berlangsung untuk mencapai pada puncak seleh di penghujung sajian. Integritas seorang kandidat calon pemimpin dalam konteks ini akan diuji sampai pada menemukan seleh yang mantap pada puncaknya.
Penyunting: Nadya Gadzali