Etnis.id - Bunyi berisik itu ternyata disukai oleh kelompok suporter. Gerungan motor dan chants misalnya. Seperti yang dicontohkan oleh suporter Persis Solo, Pasoepati. Apa yang mendasari mereka menikmati suara bising, sementara mayoritas orang tak suka?
Saya ingin memaparkan sedikit pengalaman riset Etnomusikologi beberapa tahun silam terhadap suporter Pasoepati Surakarta. Pokok tema tulisan ini, ialah permainan bunyi noise yang merupakan bagian dari “musik”.
Mengutip pernyataan seorang musikolog Suka Hardjana, bunyi barulah merupakan fungsi dari materi musik, apabila bunyi itu telah mengalami modifikasi-modifikasi yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan daya kreasi manusia (Hardjana, 1983: 11).
Sesuatu bisa dikatakan musik apabila ada untuk menciptakan bunyi melalui media apapun itu. Hakikat dasar musik ialah bunyi. Tanpanya, musik tidak bisa hadir begitu saja. Kesengajaan ide manusia untuk mencipta bunyi, menjadi tema untuk proses suatu penciptaan musik.
Seniman biasanya memanfaatkan suara atau bunyi-bunyian alam raya dan ditata dengan sengaja menjadi suatu karya komposisi musik. Lebih jauh, etimologi musik berasal dari kata Muse, dewa dalam mitologi Yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu (Banoe, 2003: 288).
Istilah musik di Indonesia menjadi sah-sah saja digunakan pada berbagai jenis bunyi-bunyian. Padahal, jika dilakukan penelitian pada bebunyian, tentunya setiap daerah masyarakat Indonesia memiliki konsep bunyi yang berbeda-beda.
Oleh Pasoepati, musik diramu sedemikian rupa. Mereka menciptakan musik sedemikian rupa lewat permainan bunyi pada gas sepeda motor atau biasa disebut gleyer-an oleh suporter Pasoepati.
Konsep itu hadir dengan adanya kesepakatan di antara pemain gleyer-an. Hal ini didasari dari eksplorasi seniman komponis, saat komposer Indonesia dalam bermain bunyi, biasanya terinspirasi melalui fenomena budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Permainan bunyi tidak selalu harus diciptakan oleh seniman akademisi, tetapi bisa juga melalui masyarakat umum. Seperti pada gleyer-an sepeda motor suporter Pasoepati (Pasoekan Suporter Paling Sejati) Surakarta.
Mereka memainkan gas sepeda motor dan mengartikan kegiatannya dalam beberapa bagian seperti ide, aktivitas, artefak. Dalam ide, mereka menganggap perbuatannya sebagai kesadaran adanya pola ritme yang dapat dihasilkan melalui sepeda motor.
Dalam aktivitas, yaitu konvoi berkeliling Kota Surakarta sebagai wujud dukungan kepada tim Persis, dengan mengenakan atribut pakaian berwarna merah bertuliskan slogan serta panji-panji Persis. Terakhir adalah artefak, yaitu knalpot sepeda motor sebagai media penghasil bunyi pola ritme.
Pada saat suporter Pasoepati gleyer-an di jalanan, mereka merasakan situasi gayeng di antara sesama suporter, yang berefek menjadi perilaku tanpa aturan, tertawa, bercanda sesuka hati sesama suporter Pasoepati. Saat mendapatkan momen gayeng, terwujudlah sikap kebersamaan di jalan raya Kota Surakarta sebagai bentuk dukungan total terhadap tim Persis.
Teknik Gleyer
Teknik permainan gleyer-an gas sepeda motor dibagi dalam dua jenis motor. Untuk bunyi rendah atau low, diberi kepada motor bermesin empat tak. Untuk jenis mesin dua tak, mereka bisa menghasilkan bunyi tinggi atau hight.
Suara gleyer itu bersumber dari knalpot yang memiliki corong terbuka lebar. Hasil dari gleyer, menciptakan musikal berbentuk pola ritme/irama dua-dua, tiga-tiga, tiga-empat, yang berfungsi sebagai wujud sikap kebersamaan, sikap saling memiliki, loyalitas dan integritas terhadap Pasoepati serta Persis.
Arak-arakan dilakukan saat jadwal pertandingan Persis di Stadion Manahan pada sore hari. Mengapa sore? Sebab, jadwal pertandingan itu sedikit banyaknya bisa mempengaruhi totalitas korwil (koordinator wilayah) Pasoepati dari Karesidenan Surakarta: Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Kartasura, Kebakkramat dan sebagainya.
Adapun prosesi sebelum pertunjukan arak-arakan, disimpan pada bagian awal. Biasanya, suporter Pasoepati mempersiapkan diri sebelum pertandingan dengan cara membongkar knalpot pada pukul 13.00 WIB. Selanjutnya, jika sudah siap, Pasoepati berkonvoi menuju Stadion Manahan menggunakan sepeda motor sembari gleyer-an. Ketiga, saat pertandingan tim Persis berakhir, mereka juga akan tetap gleyer-an.
Jika dilihat selama pertunjukan sepeda motorsuporter Pasoepati di jalan raya Kota Surakarta, terdapat berbagai dampak negatif dan positif. Seperti kerusakan sepeda motor, ditilang polisi, serta dimarahi oleh orang tua dan masyarakat Surakarta.
Meski begitu, mereka sadar apa yang sedang dilakukannya selama pertunjukan arak-arakan sepeda motor akan mengalami banyak kerugian secara material. Tetapi kembali lagi, letak keindahan olah raga sepak bola, bagi suporter Pasoepati adalah totalitas dan loyalitas. Semuanya dilakukan agar Persis bisa menang saat bertanding di Stadion Manahan.
Pada saat Pasoepati bermain gleyer-an, bagi motor empat tak, ukuran bunyinya haruslah mencapai 113.3 dBL frekuensi 195.8 Hz, sementara jenis dua tak dengan frekuensi 115.3 dBL frekuensi 227.3 Hz. Ada aturannya.
Tidak lupa, seorang pemberi aba-aba atau kode pola ritme satu-satu, dua-dua, tiga-empat selama gleyer-an. Dari ukuran suara itu, bisa disimpulkan kalau gleyer-an suporter Pasoepati sungguh melampaui ambang batas pendengaran telinga manusia normal.
Apabila seseorang mendengarkan bunyi di atas 80 dBL, mereka akan mengalami pusing, mual-mual bahkan muntah. Tapi sebaliknya, situasi chaos sangat dibutuhkan oleh komunitas suporter Pasoepati agar mewujudkan situasi gayeng yang menghadirkan sikap totalitas dan loyalitas dalam mendukung tim Persis Solo.
Editor: Almaliki