Dalam menghadapi pandemi COVID-19, masyarakat Bali melakukan berbagai upaya, baik secara sekala maupun niskala. Salah satu upaya yang dilakukan secara niskala yaitu melakukan upacara, menghaturkan banten pejati, dan segehan wong-wongan. Biasanya, segehan wong-wongan digunakan pada sebuah kejadian yang bersifat genting.
Pada masa awal persebaran virus corona wilayah Bali, pemerintah daerah melalui jajarannya menghimbau masyarakat untuk melakukan upacara adat Nunas Ica Kerahayuan kepada Ida Bathara Sasuhunan untuk keharmonisan Alam, Krama, dan Budaya Bali. Upacara adat ini ditujukan sebagai bentuk penolak bala yang dilaksanakan oleh seluruh desa adat di Bali.
Dalam sebuah lontar Bali kuno, terdapat ajaran terkait budaya dan kearifan lokal mengenai wabah penyakit. Secara turun temurun masyarakat meyakini bahwa apabila terjadi sebuah wabah penyakit, gejala itu merupakan bagian dari siklus alam yang berputar dan terulang kembali di waktu-waktu tertentu, baik setiap sepuluh tahun, seratus tahun, bahkan seribu tahun.
Masyarakat juga meyakini bahwa terdapat tiga klasifikasi wabah penyakit yang terjadi, yaitu Sasab Merana atau wabah penyakit yang menimpa tumbuhan, Grubug atau wabah yang menimpa hewan, dan Gering atau wabah penyakit yang menimpa manusia. Dalam fenomena COVID-19, masyarakat menyebutnya sebagai Gering Agung karena luasnya infeksi yang terjadi pada skala global.
Dengan begitu, masyarakat Bali pun melakukan upaya sesuai dengan nilai kearifan lokal yang dipegang teguh secara turun temurun. Pemerintah kemudian membagikan surat edaran kepada para pengurus desa adat untuk melaksanakan upacara tolak bala beserta pelengkapnya, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan alam secara niskala.
Dalam rangkaian upaya tolak bala, masyarakat Bali dihimbau untuk melaksanakan upacara dan menghaturkan persembahan berupa serangkaian banten atau sesaji. Banten yang dihaturkan berupa Banten Pejati yang dilengkapi dengan kelapa gading atau bungkak, serta serangkaian segehan wong-wongan yang diletakkan di area pekarangan rumah masing-masing.
Meskipun dunia tengah memasuki era industri 4.0 dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, namun nilai kearifan lokal mengenai banten atau sesaji tidak hilang di kalangan masyarakat Bali. Banten menjadi sebuah wujud persembahan yang dihaturkan kepada Sang Pencipta. Banten pun memiliki fungsi dan arti yang sangat mendalam.
Saat menghaturkan banten, para warga meyakini bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah upaya untuk melestarikan tradisi, sekaligus perwujudan motivasi spiritual dengan niat memperbaiki sifat-sifat buruk dalam diri seseorang menjadi lebih baik, layaknya sifat-sifat para dewa. Banten yang dihaturkan memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda. Tak heran, terdapat ribuan nama banten yang ada di Bali.
Secara etimologis, segehan terbentuk dari kayak “Sege” yang berarti nasi kemudian ditambahi imbuhan “an” sehingga memiliki makna sebagai persembahan atau korban kecil yang terbuat dari nasi. Segehan memiliki komponen utama nasi yang diberi pelengkap seperti garam, jahe, bawang, dan lain-lain.
Segehan dihaturkan sebagai upaya penetralisir kekuatan Bhutakala. Dengan menghaturkan segehan, maka energi kembali seimbang, kekuatan gelap pun tergantikan.
Masyarakat meyakini, menghaturkan banten segehan merupakan sebuah kewajiban agar buthakala tidak mengganggu. Mereka percaya, bahwa apabila banten segehan tidak dihaturkan, maka alam akan dipenuhi oleh energi dari buthakala yang akan selalu datang menggoda dan mengganggu manusia. Sebaliknya, apabila buthakala sudah diberi “makan” melalui segehan maka ia tidak akan mengganggu.
Dalam kehidupan orang Bali, terdapat banten segehan yang bersifat nittyakarma atau dilakukan setiap hari, yaitu banten saiban segehan putih kuning. Selain itu, terdapat banten segehan yang bersifat naimitikakarma atau dilakukan pada hari-hari tertentu seperti pada saat Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, atau pada saat hari pangerupukan.
Bentuk segehan juga beragam, seperti segehan wong-wongan, segehan poleng, segehan panca warna, segehan cacahan, segehan agung, dan masih banyak lagi.
Dalam pandemi COVID-19, salah satu pelengkap upaya tolak bala yang digunakan ialah segehan wong-wongan. Segehan wong-wongan merupakan persembahan yang terbuat dari nasi yang dibentuk menyerupai wong (orang). Pembuatannya tidak boleh sembarangan, terdapat aturan-aturan yang harus diikuti.
Segehan wong-wongan dibentuk menggunakan nasi yang diberi warna meliputi warna putih untuk bagian kepala, warna kuning untuk bagian tangan kiri, warna merah untuk bagian tangan kanan, warna hitam untuk bagian kaki, serta panca warna untuk bagian badan. Nasi wong-wongan ini dibentuk diatas daun pisang dan dilengkapi dengan bawang merah, jahe dan garam.
Filosofi Segehan Wong-Wongan
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, pandemi COVID-19 yang melanda dunia diibaratkan sebagai buthakala. Lewat persembahan segehan wong-wongan atau nasi wong-wongan, diharapkan buthakala akan melahap wujud manusia yang terbuat dari nasi. Persembahan menggunakan nasi wong-wongan ini merupakan sesaji dalam ritual penolak bala yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
Pandemi COVID-19 membuat industri pariwisata menjadi mandeg dan mempengaruhi perputaran ekonomi masyarakat setempat. Dampaknya semakin meluas, maka pemberian persembahan ini pun dilakukan secara serentak.
Segehan wong-wongan diletakkan di area pekarangan rumah, tepatnya di depan pintu, pada sore hari sekitar pukul 6 atau pada saat Sandika atau saat pergantian siang menuju malam pada hari Kajeng Kliwon.
Beragam komponen yang melengkapi nasi wong-wongan pun memiliki maksud tersendiri. Berdasarkan nilai kearifan lokal setempat, nasi putih dimaknai sebagai sifat dualisme, bawang merah memiliki sifat yang dingin untuk mendorong manusia untuk dapat berpikir dengan kepala dingin ketika masalah datang, namun tidak bersikap abai terhadap masalah yang tengah dihadapi.
Jahe dinilai memiliki sifat panas yang menggambarkan sifat krodha atau sifat keras. Sifat krodha ini diyakini sebagai bibit dari sikap temperamental dan egois. Untuk itu, manusia diharapkan dapat menghindari sifat-sifat ini. Apabila manusia lekat dengan keegoisan dan sifat krodha dalam kehidupan sosialnya, niscaya ia akan menemui permasalahan.
Disisi lain, jahe dinilai menjadi simbol kekuatan rajah dalam banten segehan yang dapat menjadi penetralisir sebuah energi negatif. Selain jahe, garam juga digunakan sebagai penetralisir, karena garam merupakan sebuah komponen penyeimbang yang memiliki sifat bijaksana.
Dalam masakan, garam memberikan rasa pada makanan sehingga tidak hambar dan dapat dinikmati. Garam digunakan sebagai pelengkap yang bersifat menyeimbangkan atau menetralisir segehan yang dihaturkan. Dengan begitu, garam diyakini dapat digunakan untuk menetralisir energi-energi yang merugikan manusia.
Kelima warna dalam pancawarna dimaknai sebagai manifestasi dewa. Dewa Wisnu dilambangkan dengan warna hitam, Dewa Iswara dengan warna putih, warna merah untuk Dewa Brahma, warna kuning menjadi simbol Mahadewa, sedangkan warna campuran melambangkan Dewa Siwa. Kelima warna ini dimaknai pula sebagai penjuru mata angin. Dengan begitu, setiap bencana yang datang dari sisi manapun, dapat dinetralisir.
Nasi wong-wongan yang dihaturkan, memiliki bentuk yang berbeda, asalkan komponennya sesuai dengan aturan adat yang ditetapkan. Tidak hanya itu, doa yang dipanjatkan pun harus memiliki makna yang sama, yakni agar masyarakat di Indonesia, termasuk masyarakat Bali, dapat terhindar dari infeksi virus corona. Doa ini juga ditujukan bagi orang-orang yang sudah terinfeksi, agar dapat segera sembuh dan pulih.
Penyunting: Nadya Gadzali