Perayaan tahun baru Islam 1 Muharram atau Malam 1 Suro merupakan cerminan yang menandai eksistensi akar tradisi budaya Jawa pada masa kini. Momen perayaan 1 Suro dalam tradisi penanggalan Jawa, kemudian tak hanya dipandang sebagai laku khidmat masyarakat Jawa yang tercermin di dalam keteraturan pelaksanaan upacara adat bernuansa ritual-sakral.
Kini, perayaan 1 Suro juga merengkuh potensi wisata spiritual, alam, dan budaya desa. Sebagaimana dalam praktik kirab bertema ritual Temu Tirta yang digelar di Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali.
Secara simbolis, Temu Tirta ialah upacara penyatuan air dari sumber mata air pesanggrahan Gua Raja di Dukuh Ngaglik, lereng Gunung Merbabu, dengan mata air dari Muncar yang bersumber dari Gunung Merapi.
Selain sebagai wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian dan peternakan, Desa Samiran juga termasuk salah satu desa dengan torehan sejarah serta warisan seni-budaya yang cukup kompleks.
Jejak asal-usul nama tokoh Jawa yang didengungkan hingga kini ialah Kebo Kanigoro. Konon, sang tokoh sakti itu moksa, menghilang di wilayah lereng Merapi, tepatnya di Dukuh Pojok, Desa Samiran.
Kini, lokasi ‘melebur raga’ sang tokoh sakti tersebut dijadikan tempat ziarah untuk ngalap berkah. Sementara itu, di Dukuh Ngaglik, dahulu merupakan petilasan Pakubuwono ke-VI dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Sebagaimana aneka ragam pertunjukan rakyat di desa-desa di lereng Gunung Merapi-Merbabu, masyarakat Desa Samiran juga memiliki karakter yang terbuka akan kreativitas seni. Hal ini termanifestasi di dalam banyaknya jenis tari-tarian rakyat yang berasal dari Magelang dan Bantul yang berkembang di wilayah Desa Samiran.
Jenis tarian itu ialah Rodat, Jemblungan-seni Hardoh, Reog, Angguk, Badui, Topeng Ireng, Jathilan, dan Buto Gedruk. Kendati demikian, Desa Samiran memiliki kesenian khas, yakni Turonggo Seto. Sebuah tarian kreasi bertema keprajuritan yang bentuk garapnya dikembangkan dari gerak tari terdahulu, bernafaskan kreativitas seni kolektif-kerakyatan.
Secara komunal, berdasarkan cerita masyarakat desa yang dituturkan secara turun-temurun, jalinan antara ekspresi seni pertunjukan rakyat dan eksistensi ritus cagar budaya di Desa Samiran diibaratkan jaring-jaring nelayan. Semua potensi yang ada di desa itu senantiasa saling berhubungan.
Pada peringatan Malam 1 Suro, seluruh potensi sumber daya yang ada di Desa Samiran akan terlibat untuk merayakan dan hanyut di dalam ekstase spiritual. Lantas, bagaimana hubungan pertalian sejarah tentang kisah cerita sang tokoh Kebo Kanigoro, petilasan Pakubuwono VI, geliat kehidupan kesenian rakyat, dengan gelora arak-arakan ritual Temu Tirta di Desa Samiran?.
Merawat Petilasan Kebo Kanigoro dan Gua Raja
Menurut penuturan Satari, juru kunci Dukuh Pojok, Kebo Kanigoro merupakan putra pertama dari Ki Handayaningrat yang bertahta di Kadipaten Pengging Sepuh. Secara garis keturunan, Kebo Kanigoro disinyalir memiliki trah dari kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya ke-V.
Konon, Kebo Kanigoro mengembara dan moksa di Dukuh Pojok untuk menghindari perselisihan antara Kadipaten Pengging Sepuh dengan Kerajaan Demak. Perselisihan itu ditengarai lantaran titah dari Kerajaan Majapahit, agar kedua kerajaan kecil itu bersatu.
Sang adik, Kebo Kenanga menyetujui perintah untuk bersatu dengan Demak, namun Kebo Kanigoro justru menolak. Ia kemudian memutuskan menepi di kaki Gunung Merapi, bertapa di Dukuh Pojok hingga moksa, guna menghindari kejaran bala tentara pasukan Demak.
Jejak napak tilas berupa tanah dengan lubang seluas dua meter di area perbukitan yang dikelilingi pepohonan besar di Dukuh Pojok itu, diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai tempat Kebo Kanigoro melebur raga.
Sejak ditemukannya petilasan itu, demi mengenang sang tokoh, maka setiap hari Jumat Legi, warga Dukuh Pojok menggelar mujahadah, merapal doa dan berbagi sedekah kue apem, sembari menggenapkan batin. Pada hari itu pula, setiap pagi, rombongan ibu-ibu datang secara rutin untuk membersihkan areal petilasan.
Barangkali, kesakralan dan kesucian petilasan sama halnya dengan tempat peribadatan. Terdapat aturan-aturan yang mengikat ketika sowan ke petilasan Kebo Kanigoro. Mitos yang berkembang di masyarakat turut mengukuhkan kekuatan mistis untuk menjaga petilasan tersebut.
Oleh karena itu, selain kesiapan batin, setiap orang wajib berwudlu atau membersihkan diri dengan air terlebih dahulu sebelum memasuki ruang cungkup, menjaga lisan, serta bersikap tuma’ninah.
Sementara itu, kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk memasuki areal petilasan ketika sedang menstruasi. Sebab, menjaga kesucian saat hendak berziarah ke petilasan seorang tokoh seperti Kebo Kanigoro, sama dengan menghormatinya.
Selain petilasan Kebo Kanigoro, sebuah tempat bernama Gua Raja yang terletak di Dukuh Ngaglik, Desa Samiran, juga disebut-sebut sebagai tanah para raja, lantaran pada zaman dahulu, rombongan dari Keraton Kasunanan Surakarta seringkali mengadakan jumenengan di kaki Gunung Merbabu.
Sang raja, yakni Pakubuwono VI, dahulu sangat gemar bertapa di sebuah gua. Kini, gua itu dikeramatkan oleh warga sekitar dan dijadikan lokasi tujuan wisata spiritual.
Pada waktu-waktu tertentu, seperti malam Jumat atau hari yang diyakini oleh orang Jawa sebagai momen sakral, Gua Raja sering dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah untuk mencari ketenangan batin dan keberkahan.
Situs Gua Raja menyimpan sumber mata air yang tetap mengalir meski musim sedang kemarau. Sumber mata air itulah yang kelak, dipertemukan di dalam ritual Temu Tirta oleh warga Desa Samiran. Ritual yang diselenggarakan pada puncak perayaan tahun baru Islam 1 Muharram atau Malam 1 Suro.
Mencerap Makna Perayaan Ritual Upacara Temu Tirta
Dahulu, ritual Malam 1 Suro diperingati dengan laku tirakat dalam skala kecil, baik yang dilakukan sendiri oleh masyarakat Dukuh Pojok, maupun masyarakat Dukuh Ngaglik.
Namun di zaman yang senantiasa dinamis ini, kesadaran warga desa pun ikut tumbuh. Dengan merawat tradisi tutur yang diadaptasi dari sebuah folklor (cerita rakyat), Temu Tirta pun turut memberi dampak pada kemajuan desa setempat.
Lalu, seperti apa wajah ritual Temu Tirta yang dikelola oleh masyarakat Desa Samiran dengan segenap nuansa kearifan lokalnya?.
Ritual Temu Tirta terkait langsung dengan konteks sejarah yang didegungkan melalui tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Hingga kini, masyarakat Desa Samiran masih memegang teguh pesan-pesan leluhur.
Ritual Temu Tirta bukan hanya prosesi mempertemukan air dari dua sumber mata air. Bagi masyarakat Desa Samiran, ritual ini juga mengandung makna yang mendalam, mampu menumbuhkan kreativitas, mempertemukan yang sakral dan yang profan, serta menjadi wadah kebebasan dalam berekspresi.
Secara spiritual, berbagai macam bentuk praktik ritual dan gelora seni kerakyatan yang tertuang di dalam rangkaian upacara Temu Tirta, bertujuan untuk menghormati kekuatan nir mata yang berasal dari Gunung Merapi maupun Merbabu, dalam konteks mengenang jejak para tokoh dan leluhur, serta menjadi perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti pada umumnya, dalam keyakinan masyarakat Jawa, Malam 1 Suro merupakan momentum untuk melaksanakan berbagai praktik ritual yang lekat dengan kekuatan magis.
Dalam konteks hiburan, peringatan Malam 1 Suro dirayakan dan dipertontonkan kepada khalayak sebagai sarana ekspresi seni: spiritual, tari, musik, sastra, dan rupa.
Ada serangkaian tata cara yang dilakukan dalam prosesi pengambilan tirta wening. Di awal ritual, pesan moral tercermin di dalam ritual pengambilan air di sumber mata air Gua Raja. Gestur tubuh para pelaku ritual tidak seperti biasanya. Pelaku ritual yang mengambil air sengaja direkonstruksi sehingga meniscayakan nuansa sakral.
Ketika berjalan menuju sumber mata air, para pelaku ritual tidak boleh berbicara kotor, ataupun membuat kegaduhan. Tata cara berjalan harus disesuaikan dengan irama hati, tidak boleh terlalu cepat ataupun terlampau lambat.
Sesampainya di lokasi sumber mata air Gua Raja, posisi berjalan dibuat sedikit membungkuk atau jengkeng, layaknya menghadap raja. Sebelum mengambil air, salah seorang dari rombongan upacara membakar dupa, meletakkan sesaji bunga, lalu menyatukan kedua telapak tangan untuk menghaturkan sesembahan dan merapal doa.
Gestur tubuh ini mengisyaratkan suatu bentuk penghormatan terhadap mbaureksa yang tak kasat mata, sekaligus permintaan ijin untuk mengambil air tirta wening.
Usai prosesi pengambilan air, rombongan ritual Temu Tirta dari Gua Raja kembali berjalan ke desa. Sementara itu, di lokasi sumber mata air Muncar, rombongan pelaku ritual lain juga melakukan prosesi yang sama.
Setelah masing-masing rombongan pelaku ritual bertemu, keduanya melakukan prosesi serah-terima tirta, diwakili oleh kedua sesepuh dari kedua dukuh.
Sebelum memulai penyatuan tirta wening, biasanya, salah satu dari sesepuh dukuh membuka prosesi dengan terlebih dahulu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara simbolis, penyatuan sumber mata air ini merupakan pengejawantahan ekspresi batin masyarakat Desa Samiran, agar dimudahkan dalam mendapatkan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, maupun untuk mengairi lahan pertanian mereka.
Suasana sakral juga terbangun di dalam ritual jamasan atau pencucian pusaka milik warga Desa Samiran. Di Pendopo Turonggo Seto, acara jamasan ini berlangsung dengan khidmat.
Benda-benda pusaka seperti keris dan tombak, dibasuh dengan air yang dicampur dengan bunga-bungaan. Bagi mereka, ritual jamasan pusaka merupakan simbol pelestarian senjata tradisional peninggalan leluhur. Prosesi ini dianggap penting dalam penyelenggaraan ritual Temu Tirta.
Hal ini dilandaskan pada situasi pra-kemerdekaan Indonesia, jauh sebelum penggunaan senjata modern. Dahulu, leluhur suku Jawa menggunakan keris dan tombak sebagai senjata pamungkas untuk melawan penjajah kolonial.
Terlepas dari unsur magisnya, ritual jamasan pusaka secara tak langsung mampu menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu tentang diorama kejayaan raja-raja di tanah Jawa.
Lelaku jamasan sekaligus menyelipkan keyakinan tentang adanya kekuatan magis yang masih dipercaya oleh sebagian kalangan masyarakat. Sementara itu, dari sudut pandang hiburan, tentu saja setiap prosesi jamasan pusaka menjadi daya tarik tersediri ketika disaksikan oleh masyarakat dari luar Desa Samiran.
Meminjam Lono Simatupang, praktik jamasan pusaka menghadirkan sesuatu yang extraordinary, sesuatu yang ‘tidak biasa’ dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
Kesenian rakyat menjadi salah satu unsur yang menyemarakkan pergelaran ritual Temu Tirta. Hampir semua potensi kelompok-kelompok kesenian rakyat, silih berganti mempertunjukkan kreativitasnya. Mereka melakukan olah gerak tubuh melalui tarian dengan bingkai wiraga, wirama, dan wirasa, serta berbagai kesenian musik lokal yang membahana.
Pada sore hari, tabuhan gamelan begitu nyaring. Kebisingan itu mampu memecah keheningan desa dan memancing banyak orang untuk datang ke lokasi pertunjukan seni. Orang-orang datang sesuka hati, berpindah dari panggung ke panggung lainnya.
Mereka menikmati segala macam sajian seni tari rakyat. Ada kelompok tari Soreng, Cambuk Mustika, Buto Gedruk, Soreng, Rodat, Topeng Ireng, hingga Turonggo Seto yang merupakan kesenian khas masyarakat Desa Samiran.
Gemerincing bunyi lonceng-lonceng kecil yang disematkan di kaki-kaki para penari, turut menambah riuh suasana. Pertunjukan tarian rakyat jauh berbeda dengan seni keraton yang berkarakter lembut.
Kesenian rakyat mempunyai gaya dan karakter tersendiri. Gerak tubuh dengan hentakan kaki-kaki penari yang energik, seirama dengan iringan musik serta pola lantai yang konstruktif. Terkadang, di tengah permainan musik, salah satu atau dua di antara pemain musik menyeru dengan gaya suara gerongan ala warok, sehingga menajamkan sisi karakater visual dari penari-penari di atas panggung pertunjukan.
Suasana regeng dan meriah juga berlangsung di salah satu sudut Pendopo Turonggo Seto serta area pelataran rumah salah satu warga sekitar. Halaman rumah masyarakat desa yang luas, kemudian dimanfaatkan menjadi arena pertunjukan tarian khas Desa Samiran itu.
Kelompok tari Turonggo Seto tampil dengan gemerlap kostum berwarna prada, lengkap dengan properti anyaman kuda kepang. Konon, menurut penuturan Harmin, seniman rakyat Boyolali, dahulu sesepuh sesepuh desa pernah bermimpi melihat sosok Kebo Kanigoro menunggangi kuda putih. Dari mimpi tersebut, muncullah inspirasi untuk membangun karakter keprajuritan dalam tari Turonggo Seto ini.
Sesuai dengan nama kelompok tari, kata turonggo dalam bahasa Jawa digunakan untuk menyebut hewan kuda. Sedangkan kata seto dalam bahasa Jawa merupakan penyebutan warna putih.
Oleh karena itu, hadirnya kelompok tari Turonggo Seto merupakan kesenian yang bertaut dengan eksistensi sang tokoh, Kebo Kanigoro, kendati terdapat warna lain pada bentuk visual tampilan, baik kostum maupun motif ornamen pada warna kuda anyaman yang digunakan oleh penari.
Namun, melalui tampilan visual itu, kita justru semakin mengetahui bahwa kreativitas masyarakat desa, terutama generasi muda penerus kesenian rakyat, memiliki visi dan pola pikir yang dinamis, serta berani berkreasi.
Unsur seni suara mencerminkan bahwa sejak dahulu, budaya masyarakat Desa Samiran telah lama mengenal dan berakulturasi dengan tradisi Islam. Lantunan suara bernuansa Arab dan Jawa terlihat pada acara yang digelar di malam hari.
Di cungkup petilasan Kebo Kanigoro, sejumlah warga desa beserta sesepuh dukuh merapal doa dan melantun kidungan. Lantunan-lantunan kidung perpaduan bahasa Arab dan Jawa yang tertuang dalam bait-bait syair kitab Barzanji dituturkan secara berulang-ulang dengan begitu khusyuk, sehingga memunculkan suasana klangenan. Membawa imajinasi masyarakat kiwari berkelana jauh ke masa lalu.
Pesan moral yang dapat diambil dari lelaku kidungan ini mengingatkan bahwa manusia saat ini hendaknya sadar untuk Memayu Hayuning Bawana (merawat keindahan alam semesta).
Ritual Temu Tirta juga menumbuhkan kreativitas dan kreasi masyarakat Desa Samiran dalam konteks seni rupa. Berbagai ornamen dan dekorasi di dalamnya, memunculkan sisi estetis yang elok dipandang mata. Hal ini dapat kita temui dalam motif ragam hias gapura-gapura desa yang menandai betapa akbarnya upacara adat tersebut.
Melalui aneka ragam gunungan tumpeng pula, kita diperlihatkan miniatur simbol gunung Merapi dan Merbabu yang penuh makna. Keberadaan gunung bagi sebagian masyarakat Jawa memang sejak dahulu dianggap keramat. Oleh karena itu, simbol gunungan pada arak-arakan tumpeng menjadi perantara doa masyarakat Desa Samiran akan kekuatan transenden yang bersemayam di gunung Merapi dan Merbabu.
Arak-arakan gunungan tumpeng melambangkan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta rasa kebersamaan sesama petani, lantaran sebagian besar masyarakat Desa Samiran bermata pencaharian sebagai petani. Adapun ragam tumpeng yang dibuat berupa Tumpeng Ageng, tumpeng aneka buah-buahan, tumpeng sayur-sayuran, dan juga tumpeng palawija.
Ragam gunungan tumpeng yang diarak dalam rangkaian ritual Temu Tirta memiliki makna masing-masing. Tumpeng Ageng yang terbuat dari beras, bermakna bahwa masyarakat Jawa umumnya mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sedangkan Tumpeng buah-buahan dan sayuran merupakan perlambangan hasil pertanian yang utama bagi masyarakat Desa Samiran.
Tumpeng palawija mengingatkan masyarakat desa bahwa dahulu, leluhur mereka mengenal puasa ngowot atau yang dalam sehari-hari hanya mengkonsumsi umbi-umbian sebagai laku prihatin atas kesulitan pangan yang terjadi.
Semarak arak-arakan pada rangkaian upacara Temu Tirta semakin memuncak ketika tumpeng-tumpeng itu diperebutkan warga dalam prosesi ngalap berkah.
Penggerak Perekonomian dan Wahana Belajar Budaya Desa
Gairah masyarakat dalam pergelaran ritual Temu Tirta selalu dinamis dari tahun ke tahun. Oleh karenanya, baik pengambilan tirta wening, arak-arakan tumpeng, maupun jamasan pusaka—seluruh prosesi itu dilakukan dalam waktu yang berbeda.
Namun yang terpenting adalah tercerapnya kandungan makna spiritual, moral dan budaya dalam ritual Temu Tirta yang dilakukan oleh masyarakat Desa Samiran di tengah pusaran arus globalisasi, sehingga mampu memberi dampak positif bagi kemandirian, pembangunan desa secara swadana, serta melatih setiap warga desa agar senantiasa berpikir inovatif.
Melalui arak-arakan ritual Temu Tirta, tertuang pula rasa saling memiliki dan hubungan persaudaraan antar dukuh yang mampu menggerakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Tak dapat dipungkiri, bahwa dengan adanya perayaan ritual Temu Tirta, kamar-kamar pondok penginapan dan homestay di sekitar Desa Samiran, Selo, turut mendapat keuntungan dari banyaknya pengunjung yang menginap.
Selain itu, toko-toko kelontong dan warung makan yang berjajar di sepanjang jalur arak-arakan pergelaran upacara juga ikut mendapatkan keuntungan dari hasil berjualan makanan.
Kesadaran masyarakat dalam menjaga kearifan lokal Desa Samiran, serta inisiatif untuk mengangkatnya menjadi sebuah agenda rutin, tentu saja berhasil mengharumkan nama desa ini. Disamping itu, spirit gotong-royong yang terdapat di dalam pelaksanaan Temu Tirta, maka terasahlah pula rasa kepedulian dan kemanusiaan di antara warga desa.
Keterangan sumber: foto utama diabadikan oleh Rosyid pada pelaksanaan ritual Temu Tirta 2013.
Penyunting: Nadya Gadzali