Minggu sore di bulan Mei tahun lalu, Agustinus Sapumaijat menyampaikan dua kabar baik kepada saya. Kabar baik pertama, ia telah menemukan seorang kerabat yang siap mengantarkan kami jika sewaktu-waktu ingin bertolak ke Muara Siberut. Debit air sungai cukup tinggi sehingga memudahkan perjalanan dengan menggunakan pompong—sampan bermesin tempel satu—yang masih menjadi alat transportasi andalan bagi masyarakat pemukim DAS Rereiket di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kabar baik kedua, akan ada sebuah ritual penyembuhan malam itu. Ada seorang warga yang sedang sakit dan harus segera diobati. “Malam ini di rumah Pak Markus,” ujar Agustinus. “Itu yang seperjalanan sama kita kemarin.”
Tentu saja, wajah Markus masih segar dalam ingatan saya. Ia adalah laki-laki berperawakan lampai. Sehari sebelumnya, saya dan Agustinus sempat membantunya sewaktu turun dari KM. Pulau Simasin di dermaga Pelabuhan Maileppet. Kami sekapal dalam perjalanan dari Pelabuhan Tuapeijat (Pulau Sipora) ke Pelabuhan Maileppet (Pulau Siberut).
Bahkan, kami tetap berada dalam satu “kafilah” kecil ketika menumpang sebuah mobil ambulance dari pelabuhan ke seputaran Pastoran Muara Siberut; atau ketika menyewa colt tua dari Muara Siberut yang mogok menjelang Dusun Mangorut dan kami harus melanjutkannya dengan berjalan kaki sampai bertemu dengan sebuah pompong yang menunggu di sebuah tepian Sungai Rereiket. Pompong itulah yang membawa kami ke Ugai—sebuah permukiman di daerah hulu.
Sewaktu saya bertanya tentang penyakit yang diderita Markus, Agustinus menjawab pendek, ”Penyakit dalam.” Jawaban itu mengingatkan saya pada wajah Markus yang masih terlihat pucat—meskipun saya tidak menemukan aura kesedihan di sana.
Di depan ruang tunggu Pelabuhan Maileppet, satu hari sebelumnya, saya memberanikan diri bertanya tentang penyakitnya, dan Markus menjawab seraya tersenyum lebar, “Biasa, penyakit dalam.” Markus tampak bersemangat dan lebih mudah tersenyum. Barangkali karena hari itu adalah perjalanan pulang ke kampung halaman.
Bersamanya ikut pula istrinya, seorang anaknya, seorang adik kandungnya, dan seorang tetangganya. Mereka semua warga Ugai dan pergi ke Sipora untuk mengantar sekaligus menemani Markus selama menjalani pengobatan. Markus telah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mentawai selama seminggu.
Hari di mana ia dan rombongan kecilnya kembali ke Siberut Selatan itu, bertepatan pula dengan jadwal perjalanan saya ke tempat yang sama. Saya merasa beruntung karena Agustinus tidak keberatan menemani saya. Agustinus adalah seorang pemuda kelahiran Ugai yang tengah menjalani pekerjaannya di Pos Pengawas Pantai Mapaddegat, Sipora Utara. Selama di Ugai, saya tinggal di rumah orangtua Agustinus.
Sekitar pukul enam petang, Agustinus menyarankan untuk memeriksa baterai gawai saya. “Siapa tahu ada yang mau direkam,” katanya. “Sebentar lagi listrik menyala, hape-nya bisa dicas.”Saya segera memeriksa baterai gawai saya—masih terisi sekitar 50%, cukup irit. Malam sebelumnya, saya hanya bisa menelepon istri saya sebentar dengan koneksi yang terputus-putus.
Sepanjang hari berikutnya, gawai saya tidak pernah bergetar satu kali pun. Saya bahkan tidak menemukan sinyal segaris saja—dan itu bukan masalah. Namun, untuk menjaga segala kemungkinan, gawai akan saya isi kembali setelah listrik hidup. Di dusun yang tampak sunyi-damai itu, listrik baru menyala sekitar pukul enam petang dan akan padam total sekitar pukul dua belas malam.
Sekitar pukul tujuh malam, saya bersama Agustinus beranjak ke rumah Markus. Akan lebih baik rasanya jika kami lebih cepat datang ke tempat ritual penyembuhan itu.
Ritual Penyembuhan oleh Sikerei
Gemerincing jejeneng (genta kecil) membubung ke udara, memenuhi ruangan kecil berbentuk empat persegi panjang itu. Saling bersahut dengan nyanyian dua orang sikerei (penyembuh) yang terdengar seperti mantra, suasana magis benar-benar terasa. Saya berusaha mendekat, mengikuti dengan saksama dua orang sikerei yang konstan mengayunkan genta kecil di tangannya.
Bersamaan dengan itu, mereka membentangkan sebuah laka—kain berwarna merah yang bentuknya memanjang serupa bendera. Laka itu terus-menerus diayunkan di atas kepala Markus. Sementara Markus, duduk di lantai, tubuh dan kepalanya bersandar pada dinding kayu dan tampak lunglai. Gerakan-gerakan itu diulang-diulang untuk beberapa lama, sampai mereka melangkah ke luar ruangan dan mengibaskan laka dengan kencang di beranda.
Seluruh bagian dalam pasibitbit itu diulang hingga dua kali, sebelum kemudian ujung laka dicelupkan ke dalam piring yang telah berisi ramuan obat.
Tahapan selanjutnya sedikit berbeda. Kali ini media yang digunakan adalah dedaunan. Seiring gemerincing jejeneng, dua sikerei itu masing-masing mengayun-ayunkan seikat dedaunan. Sekali waktu gerakan-gerakan yang konstan itu tampak seperti sedang mengibas-kibaskan sesuatu yang ada di atas kepala Markus.
Sedangkan Markus, terus-menerus menunduk seolah menekuni sebuah piring obat yang diletakkan tidak jauh dari tempatnya duduk. Prosesi ini diulang sampai dua kali. Semuanya ditutup seperti tahapan pertama. Dua orang sikerei melangkah keluar ruangan dan mengibaskan dedaunan itu dengan kencang di beranda.
Setelah dua tahapan yang masing-masing diulang sebanyak dua kali tersebut, kedua sikerei melakukan apa yang disebut dengan pasilaggek pameruk simanene. Pada tahapan ini, sikerei melakukan pengobatan dengan ramuan dalam piring seraya diringi nyanyian yang terdengar seperti mantra. Ramuan obat dalam piring itu diolesi ke seluruh tubuh Markus yang lampai.
Untuk sementara, prosesi itu telah berakhir. Dua orang sikerei itu pun ke luar ruangan. Mereka duduk di beranda, terlihat santai dan mulai mengisap rokoknya. Saya pun beringsut, segera bergabung bersama mereka. Kedua sikerei itu adalah Aman Leuru dan Aman Jamini.
Aman Leuru adalah seorang sikerei dengan jam terbang yang sudah cukup tinggi di Ugai. Aman Jamini—menurut Agustinus—masih terhitung sikerei muda. Tubuh Aman Jamini masih terlihat bersih dari tato. Sementara, tato Mentawai khas sikerei telah menghiasi beberapa bagian tubuh Aman Leuru.
Pada malam penyembuhan Markus itu, hadir pula salah seorang sikerei gaek lainnya. Ia adalah Aman Ipai. Aman Ipailah yang menjelaskan keseluruhan ritual penyembuhan itu. Menurut Aman Ipai, pasibitbit adalah ritual pengusiran roh-roh jahat yang telah menganggu.
“Ada roh-roh jahat yang menganggunya. Harus diusir,” ujar Aman Ipai.
Malam itu, meski Agustinus sudah meyakinkan saya, awalnya saya masih ragu-ragu untuk mengambil gambar. Namun sejak ritual penyembuhan dimulai, Markus malah memberi isyarat kepada saya untuk lebih mendekat dan masuk ke dalam ruangan agar bisa dengan leluasa mengikuti seluruh ritual penyembuhan.
Begitu juga dengan kedua sikerei itu, mereka tampak ramah menerima kedatangan saya. Bahkan ketika saya bergabung dengan mereka di beranda, saya sempat menunjukkan video dan foto yang saya ambil selama ritual penyembuhan berlangsung. Mereka terlihat senang dan menyalami saya.
Selepas jeda yang sebentar itu, dua orang sikerei kembali melanjutkan ritualnya. Menurut Aman Ipai, ini adalah tahapan terakhir. Bagian terakhir ini adalah proses pemanggilan simagere (roh atau jiwa) agar masuk ke dalam diri si sakit—Markus.
Pada tahap ini, dua orang sikerei mengambil posisi jongkok dan saling berhadapan. Kali ini tidak dilakukan di dalam ruangan, melainkan di beranda, tepat di depan pintu masuk rumah. Seraya terus membunyikan jejeneng dan bernyanyi, pandangan mereka tertuju pada sebuah piring yang teronggok di lantai di tengah-tengah mereka.
Di dalam piring itu ada seonggok daging ayam. Setelah sekian lama, salah satu sekerei—Aman Leuru—memutar piring itu sesaat. Sekian detik berikutnya, gemerincing jejeneng dan nyanyian yang terdengar seperti mantra itu pun berhenti, hingga seluruh tahapan ritual berakhir.
Peran Sikerei dalam Penyembuhan Penyakit
Sikerei memiliki kemampuan dan peran yang istimewa dalam kehidupan suku Mentawai, terutama sebagai penyembuh (tabib) bagi orang yang sakit. Misalnya saja, seorang sikerei mampu berkomunikasi dengan segala roh halus, baik yang jahat maupun yang baik; sikerei juga bisa mengusir kekuatan-kekuatan gaib yang menjadi sumber segala penyakit.
Tidak sembarangan orang yang bisa menjadi sikerei. Banyak hal yang harus melekat pada dirinya, di antaranya perilaku baik, selalu siap, dan tentu saja: memiliki keistimewaan.
Laurensus Saruruk, yang pernah saya temui sebelumnya mengatakan bahwa tugas yang diemban seorang sikerei, tidak pernah mudah. Oleh karenanya, yang terpilih sejatinya adalah yang istimewa. “Dia harus baik, istimewa, dan tidak ada satu pun keburukan yang nampak dalam dirinya. Pokoknya, kebaikan itu harus dominan dalam dirinya,” ujarnya.
Saya bertemu Laurensus Saruruk pertama kalinya pada awal Mei 2019 di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Kepulauan Mentawai, di Sipora Utara. Laki-laki kelahiran Pulau Siberut ini sehari-harinya bertugas sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di instansi pemerintah tersebut.
Masih menurut Laurensus, kemampuan seorang sikerei biasanya merupakan titisan. Mereka mendapatkan semacam “wahyu” atau petunjuk. “Jika sudah begitu, mereka harus ditahbiskan. Sampai akhirnya mereka bisa paham banyak hal,” jelasnya.
Sebagai sosok yang terpilih, sikerei tidak boleh menolak, harus siap siaga selama 24 jam jika dibutuhkan. Sikerei tidak dibayar dengan uang. Upahnya adalah binatang yang disembelih di tempat ritual.
Selama menjalankan fungsi-fungsinya, seorang sikerei harus siap berpantang—tidak boleh melakukan hal-hal tertentu sampai tugas-tugasnya berjalan dengan baik. Barangkali, karena keistimewaan-keistimewaannya itulah, sikerei pantas menjadi ikon budaya Mentawai.
Santap Bersama Selepas Ritual Penyembuhan
Malam itu, setelah semua proses penyembuhan dijalankan, tuan rumah pun mengajak kami makan bersama. Saya bisikkan kepada Agustinus, bahwa saya sudah kenyang. Meskipun begitu, Agustinus tetap meminta saya untuk bergabung. Saya pikir baik juga seperti itu—dan mungkin sudah seharusnya—bergabung saja sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah.
Saya pun duduk, melingkar bersama Agustinus Sapumaijat, Lemanu Sapumaijat dan istrinya. Obuk dan sup ayam kampung telah disiapkan. Namun, ternyata saya tidak bisa hanya bergabung saja. Tak urung, saya pun mencicipinya. Sejak berada di Ugai, malam itu dan untuk ke sekian kalinya saya menikmati makanan olahan sagu khas Siberut.
Obuk dimasak di dalam ruas-ruas bambu yang kecil dan tipis. Cara memasaknya adalah dengan dibakar (dipanggang) di atas perapian. Menurut Agustinus, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit agar obuk menjadi benar-benar matang. Setelah matang, bambu pun dibelah dan sagu-obuk di dalamnya siap untuk dihidangkan.
Obuk akan lebih nikmat jika disandingkan dengan makanan berkuah sebagai lauknya. Seperti pada malam ritual penyembuhan itu, obuk dihidangkan bersama sup ayam kampung dan tentu saja, sambal untuk menyempurnakannya.
Saya cukup senang dengan cara menikmatinya. Obuk yang terasa kenyal ketika disentuh itu, dicelupkan ke dalam masakan berkuah. Serta merta, obuk akan menjadi lumer dan terasa nikmat di lidah. Sejauh yang bisa saya nikmati dan rasakan, sagu ternyata lebih tahan lama menjaga perut saya agar tidak keroncongan.
Malam itu, setelah menikmati beberapa potong obuk, saya dan Agustinus berpamitan. Waktu menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam. Sepanjang jalan menuju rumah orangtua Agustinus, gemerincing jejeneng dan mantra-doa para penyembuh seolah masih tergiang.
Malam cukup dingin, dan di antara gigil yang tertahan, saya membatin doa sederhana agar semua yang sakit bisa disembuhkan. Sebab, sungguh getir rasanya membayangkan wajah orang-orang yang kehilangan.
Penyunting: Nadya Gadzali