Sejak membangun koloni pertamanya di dekat perairan, peradaban manusia tak pernah lagi berada jauh dari sungai sebagai sumber kehidupan. Temuan arkeologi mengungkap adanya jejak peradaban kota tertua, Mohenjodaro dan Harappa, di sepanjang aliran Sungai Indus yang terbentuk pada tahun 3500 SM.
Di Mesopotamia, Timur Tengah, fakta serupa terungkap melalui temuan purbakala di tepi Sungai Eufrat dan Tigris, circa 3000 SM. Sedangkan Mesir Kuno, dinisbat sebagai peradaban tertua di dunia lantaran telah bergulir sejak 6000 SM. Dinasti pertamanya didirikan di tepi Sungai Nil pada tahun 3100 SM.
Air mendapat perhatian serius tatkala sisi paling tak terjamah darinya mulai diperbincangkan. Dalam tradisi Islam, keutamaan air dapat dipahami melalui perspektif tasawuf. Rahasia syariat (asrar al-syari'ah) di balik ayat perintah wudhu yang runut itu, terselip hikmat wudhu untuk menyucikan kembali bagian-bagian tubuh yang paling sering terlibat di dalam perbuatan dosa. Wudhu membebaskan mulut, mata, hidung, telinga, lengan, dan kaki dari hadas kecil.
Dalam tradisi Nasrani, air suci biasa ditemui di dekat pintu masuk kebanyakan gereja Katolik Roma. Disediakan bagi para umatnya untuk memberkati diri sebelum memasuki gereja. Susanto dalam "Mitos dalam Pemikiran Mircea Eliade" (1987) mengemukakan bahwa, air itu kudus karena merupakan sumber dan asal semua eksistensi, juga melambangkan kematian dan kelahiran kembali.
Selain berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia, sejumlah etnis di Nusantara juga menjadikan air sebagai sarana ekspresi budaya lokal, sebagaimana masyarakat Bali melibatkan tirtha (air) lebih dari sekedar pembasuh raga atau penghilang dahaga, melainkan juga sebagai medium penyucian jiwa.
Penghayatan masyarakat Bali akan keberadaan tirtha dielaborasikan secara spiritual menjadi serangkaian ritual penyucian jiwa (tirtayatra), atau yang dikenal dengan istilah melukat. Secara etimologis, melukat berasal dari gabungan kata "su" dan "lukat" yang berarti baik dan suci.
Kitab Sarasamuccaya 279 menguraikan lebih lanjut mengenai keutamaan tirthayatra sebagai “sada daridrairapi hi cakyam praptum naradhipa, tirthabhigamanam punyamyajnerapi wicisyate”. Artinya, keutamaan tirthayatra sungguh suci, bahkan lebih suci daripada Yajnya dan mampu dilakukan oleh mereka yang miskin sekalipun.
Ditelusuri melalui Ayur Veda—kitab pengetahuan kesehatan Hindu—petunjuk kondisi kesehatan tubuh yang kuat dan sehat sempurna ditempatkan pada keseimbangan antara unsur air-angin-api (kapha-vata-pitta). Sejalan dengan I Gusti Ngurah Nala dalam "Usada Bali" (1991) yang berpendapat bahwa, ketidakseimbangan ketiga unsur tersebut menjadi penanda tubuh seseorang sedang dalam kondisi terganggu.
Kosmologi Hindu
Dalam kosmologi Hindu, alam semesta diyakini berasal dari kelindan lima elemen utama, yaitu: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ruang (ether). Kelima unsur itu disebut dengan panca maha bhuta, konsepsi yang diadaptasi dari dua pasangan oposisi biner antara cetana (konkrit) dan acetana (khayali) yang kemudian menghasilkan purusa (ruh) dan pradana (materi).
Dalam realitas panca maha bhuta, seseorang dapat menjalankan ritual melukat tanpa perlu menjadi Hindu. Batasan menjadi kian lebur. Pasalnya, konsepsi panca maha bhuta mengembangkan keyakinan bahwa, manusia sebagai buana alit (mikrokosmos) memiliki unsur yang sama dengan manusia lainnya, bahkan dengan buana agung (makrokosmos).
Wisata Melukat
Sebagai salah satu causa prima pembentuk semesta material, air mampu mengubah paradigma berpikir manusia modern tentang mitos, ritual, dan penyembuhan. Sebagaimana dikemukakan IB Dharmika dalam "Peradaban Air" (2017) bahwa, dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak umat melakukan tirthayatra yang dirasakan kenikmatannya untuk mengurangi beban hidup keseharian yang penuh dengan tantangan.
Pemanfaatan air suci dan tawaran kemukjizatan melalui media air yang masih diyakini masyarakat Bali—baik dalam fungsi kelebutan, pancoran, loloan, panasnya (yeh panes) maupun fungsi lainnya—muncul sebagai daya tarik wisata spiritual. Meski pada kenyataannya, air memang mampu memberikan efek plasebo—sugesti-sugesti tertentu yang membuat penggunanya merasa lebih baik.
Selain mengakomodir tren healing, sentra-sentra pelukatan juga lazim dikunjungi oleh mereka yang mendamba kebebasan hakiki agar terbebas dari belenggu klesa (gelap/negatif/kotor). Kelaziman itu dapat dilacak melalui pertumbuhan wisata melukat di Pulau Dewata yang semakin ramai dikunjungi wisatawan.
Ritual melukat beserta komponen utamanya kian dipahami sebagai objek yang potensial untuk dikelola selayaknya komoditi. Sedangkan patirthaan (pemandian air suci) yang semula diyakini sebagai tempat keramat mengalami perubahan inheren, seiring bergesernya kognitif dan sendi kehidupan masyarakat Bali dari sakral ke profan.
Ritual Melukat di Pura Tirtha Empul
Ketika menyambangi salah satu lokasi pelukatan di kawasan Tampak Siring, saya mengamati seseorang yang hendak melaksanakan ritual melukat yang tengah menyusun banten, sarana ritual yang ditempatkan dalam sebuah wadah terbuat dari janur. Berisikan aneka buah-buahan, uang, telur, hingga jajanan.
Banten diperkenalkan pertama kali oleh seorang Resi atau Rsi Maharsi Markandeya di sekitar abad ke-8 di sekitar pertapaannya, Desa Puakan-Taro yang kini dikenal dengan Tegallalang Gianyar. Mulanya, banten diperuntukkan bagi umat Hindu yang tak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan baktinya.
Banten dihaturkan saat sembahyang sebelum mengawali ritual melukat. Edi Sedyawati dalam "Kebudayaan di Nusantara" (2014) menyatakan bahwa banten dimaksudkan untuk membuat para bhuta, penghuni alam paling bawah itu somya (ramah), bukan untuk mengusirnya.
Mengamati lebih jauh. Barisan manusia yang tersusun acak di hadapan air mengalir (pancuran air suci) merupakan gambaran posisi relatif kita dengan yang maha-tunggal. Ritual melukat yang dilaksanakan di Pura Tirtha Empul menjadi satu bukti bahwa hulu (sungai) Tukad Pakerisan merupakan media penyucian jiwa bagi seluruh umat manusia.
Berada dalam jarak pandang begini dekat dengan sumber kehidupan masyarakat Bali, pemandian suci Tirtha Empul di kawasan Tampak Siring menjelma risalah tentang para peziarah dalam magisnya patirthaan sebagai salah satu peninggalan leluhur.
Persimpangan antara Sekala dan Niskala
I Made Gede Anadhi dalam Jurnal Studi Kultural (2016) menyadari bahwa ritual melukat sebagai ritual penyembuhan untuk gangguan penyakit lahir dan batin (pelebur mala, papa, pataka, lara, rogha, dosa, leteh, letuh, wigna) yang bersifat sakral menjadi paradoks ketika disandingkan predikat suci pada istilah profan, seperti kata "wisata". Gabungan kedua kata ini kemudian menjadi wisata melukat.
Kosmologi Bali memandang alam semesta sebagai sesuatu yang bersifat nyata (sekala) dan dapat ditangkap dengan panca indera, tetapi juga bersifat tidak nyata (niskala/gaib) yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun diyakini ada. Tak ada yang begitu pasti, hanya ada manusia yang gamang di antara jutaan kemungkinan.
Ritual melukat telah melampaui batas-batas imajiner antara yang sekala (sakral) dan niskala (profan), yang kasat mata dan tanwujud, yang rohani dan jasmani. Ketika yang sakral dan yang profan kembali dipertautkan, entitas paradoks akan terdedah ke permukaan.
Barangkali, pada gilirannya, alam hanya dipahami sebagai objek yang nilainya tak lebih dari sekedar instrumen penghasil keuntungan belaka jika tak dibarengi tanggung jawab dan kesadaran kolektif masyarakat pengampunya. Beruntung, masyarakat Bali masih memegang teguh prinsip keseimbangan antara yang sekala dan yang niskala. Prinsip yang membawa masyarakat Bali pada kesadaran untuk memelihara, bukan hanya mengambil, sesuai keyakinan yang dianut dalam tradisi Hindu.