Berbicara tentang Nias, barangkali yang terbesit di dalam benak orang pertama kali adalah hombo batu atau atraksi lompat batu setinggi 2 meter yang biasanya dilakukan oleh para pemuda. Hombo batu memang sudah terkenal di seantero dunia, karena tradisi ini hanya ada di Nias bagian selatan, khususnya desa-desa yang tergabung dalam rumpun Maniamolo. Hombo batu pernah diabadikan menjadi gambar latar belakang uang pecahan Rp.1.000,- di era 1990-an, maka tak heran atraksi ini menjadi ikon Nias yang cukup dikenal hingga saat ini.
Tapi di balik itu semua, masih banyak yang belum mengetahui bahwa sebenarnya Hombo batu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh orang Nias. Meskipun hidup di satu pulau yang luasnya lebih kecil dari Bali, tetapi kultur orang Nias sedikitnya terbagi atas 5 sub etnik yang dapat dibedakan dari bahasa, rumpun marga, dialek, serta tradisi yang dijalankan.
Bahkan, setelah diteliti oleh bapak Yas Harefa, ada lebih dari 40 fondrako (ratifikasi hukum adat) yang masih hidup hingga saat kini. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa Nias kaya akan budaya, dan sudah saatnya kekayaan ini dikenal luas oleh masyarakat di seluruh Nusantara.
Salah satu kekayaan budaya yang ada di Nias adalah pengetahuan tentang pengawetan bahan makanan menggunakan garam, atau yang disebut dengan istilah Ni’owuru. Pengetahuan ini sudah dipraktikkan dari generasi ke generasi, dan masih bertahan hingga kini.
Pada tahun 2016, pengetahuan ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) oleh Kemdikbud dan sangat diapresiasi oleh Tim Ahli penetapan. Penghargaan ini diperoleh lantaran Ni’owuru merupakan kuliner berbahan dasar daging babi (non halal) pertama yang diusulkan sebagai Warisan Budaya Nasional. Uniknya, lembaga yang mengusulkan justru Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh yang berkantor di Serambi Mekkah.
Usut punya usut, kuliner ini diusulkan karena BPNB Aceh percaya bahwa semua kebudayaan itu sama nilainya di dunia, dan kehidupan berbangsa akan menjadi lebih baik jika memperlakukan setiap orang dengan setara. Salah satunya adalah dengan mengakui keberadaan setiap suku bangsa yang ada di wilayah tugasnya, yakni Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.
Orang Nias di masa lampau, menggunakan garam sebagai metode pengawetan bahan makanan, jauh sebelum diciptakannya lemari pendingin atau kulkas. Bahan makanan yang diawetkan pun hanya berupa daging merah, seperti daging babi atau daging rusa yang berlebih dan tidak habis dimakan dalam sehari.
Daging berlebih ini biasanya diperoleh dari hasil buruan, namun terkadang diperoleh dari pesta adat yang diselenggarakan di desa. Pesta adat biasanya diselenggarakan oleh para bangsawan (si’ulu), sebagai bagian dari ritus kebangsawanan sekaligus menunaikan tugas mereka untuk menyejahterakan masyarakatnya.
Pengawetan dilakukan dengan memberikan garam dalam jumlah besar dengan proporsi 1:1. Garam akan mengisap seluruh cairan dari daging, termasuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya. Jika dilakukan dengan benar, daging yang sudah diawetkan dengan garam, biasanya akan bertekstur kering dan dapat bertahan hingga 1 bulan. Dengan metode pengawetan ini, daging yang berlebih dapat dijadikan persediaan untuk kebutuhan pangan selama beberapa hari ke depan, terutama ketika tamu tak terduga datang berkunjung. Orang Nias memang memiliki tradisi untuk memuliakan tamu, dan tidak lengkap rasanya jika tamu yang berkunjung tidak pulang dalam keadaan kenyang. Itu sebabnya, persediaan bahan makanan harus selalu tersedia di rumah.
Pengawetan menggunakan garam ternyata sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu oleh bangsa Mesir. Metode penggaraman ini digunakan untuk mengawetkan mumi, yakni dengan cara memasukkan garam ke dalam tubuh orang yang dimumifikasi selepas dikeluarkan organ tubuh bagian dalam dan diletakkan dalam sebuah wadah khusus.
Garam yang digunakan untuk proses mumifikasi berjenis natron, yakni campuran dari sodium sulfat, sodium klorida, sodium karbonat, dan sodium bikarbonat. Sementara untuk mengawetkan daging yang akan dijadikan bahan makanan, cukup menggunakan garam dapur yang harganya relatif murah dan mudah didapat.
Jika ingin mengolah daging yang sudah diawetkan, daging tersebut harus direndam terlebih dahulu selama kurang lebih 30 menit dengan larutan air garam. Tujuannya, untuk mengembalikan tekstur dan menetralisir garam yang sudah meresap di dalamnya. Jika langsung dimasak begitu saja, daging akan menjadi terlalu asin. Selain tidak enak disantap, menambahkan terlalu banyak garam juga berbahaya untuk kesehatan manusia.
Nah, metode pengawetan makanan menggunakan garam memang sangat populer di Nias. Tapi ternyata, garam bukanlah mineral yang berasal dari Kepulauan Nias, kendati Nias dikelilingi oleh lautan dengan kadar garam yang relatif tinggi. Namun, di masa lalu NIas tidak memiliki ladang garam. Ini berarti, orang-orang Nias di masa lalu memperoleh garam dari hasil pertukaran barang (barter) atau berdagang dengan para pelaut yang singgah di Nias dengan alat tukar emas, gula, tekstil, tembikar, manik-manik, aneka logam, dan lain sebagainya.
Dalam catatan perjalanannya, Elio Modigliani menyebutkan bahwa sejak dulu, Pulau Nias adalah tempat persinggahan para pelaut yang terjebak di tengah badai. Para pelaut itu biasanya melakukan transaksi dengan penduduk setempat. Ia menyebutkan bahwa pos perdagangan (trading post) yang digunakan oleh orang Aceh dan Belanda berada di Nias Selatan, tepatnya di sekitar kawasan Luaha Gundri. Ini menunjukkan bahwa Nias di masa lalu sudah terhubung dengan dunia luar, bahkan jauh sebelum orang Eropa melakukan ekspansi ke Nusantara.
Bukti lain persentuhan orang Nias dengan dunia luar adalah marga-marga orang Nias dari Kepulauan Hinako di Nias Barat. Marga-marga orang Nias yang ada di sini diawali dengan kata Maru, seperti Maruao, Maruhawa, Marundruri, Marulafao, dan Maru Abaya. Konon, unsur Maru dalam marga orang Nias di Kepulauan Hinako ini diambil dari kata Maros, yakni salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Kisah ini disampaikan secara turun temurun dalam bentuk tradisi lisan, dan sudah catatkan sebagai warisan budaya tak benda asal Nias tahun 2014, dengan nomor registrasi 2014004252.
Secara geografis, Nias memang terletak di bagian selatan wilayah Provinsi Sumatra Utara. Segaris dengan Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak di Aceh, Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat, dan Pulau Enggano di Bengkulu. Sejak dulu kawasan itu memang menjadi salah satu jalur lintas perdagangan rempah di pantai barat pulau Sumatra, yang hingga kini masih digunakan sebagai jalur pelayaran nasional kapal muatan barang maupun penumpang.
Lokasinya yang strategis, menempatkan Nias sebagai bagian tak terpisahkan dari jalur rempah yang kini tengah dikaji oleh para akademisi di seluruh Indonesia. Kemungkinan besar, pengetahuan orang Nias tentang pengawetan bahan makanan menggunakan garam diperoleh dari hasil persentuhan mereka dengan dunia luar. Persentuhan inilah yang kemudian membentuk kebudayaan Nias seperti yang kita kenal saat ini.
Penyunting: Nadya Gadzali