Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa ngayah adalah sebuah tradisi untuk merawat tradisi. Ngayah yang kerap diartikan sebagai konsep gotong royong ala Bali ini sesungguhnya memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Bali.
Ngayah menjadi bagian dari tradisi dan identitas orang Bali itu sendiri. Mengacu pada Kamus Bali-Indonesia (1990), “ngayah” mengandung arti kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran Karma Marga yang dilaksanakan secara gotong royong dengan hati tulus ikhlas, baik di banjar (desa adat) maupun di tempat suci.
Pada suatu kegiatan keagamaan di desa adat, pagi-pagi sekali kulkul berbunyi nyaring, menandai waktu ngayah telah tiba. Warga yang bertugas akan berbondong-bondong pergi ke lokasi ngayah, baik di Pura, atau di Balai Banjar. Pembagian tugas dilakukan secara terencana dan terinci.
Kendatipun ngayah mengacu pada tujuan dan didasari oleh keagamaan, namun dalam prosesnya, ngayah tidak hanya menjalankan kebajikan ritual, tetapi juga untuk sosial dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan saat ngayah mulai dari persiapan, pelaksanaan upacara keagamaan, hingga proses berbenah setelah upacara selesai.
Tim terbagi menjadi tim dapur (pewaregan) yang bertugas memasak atau membuat hidangan bagi warga yang melaksanakan ngayah atau untuk keperluan upakara, kemudian ada tim yang bertugas membuat sarana upakara seperti banten, penjor, dan lain-lain. Ada pula tim yang bertugas mendirikan sarana peneduh, atau tenda-tenda sementara yang digunakan selama proses upakara.
Ketika upacara keagamaan berlangsung, warga pun turut membantu, mulai dari menyiapkan hidangan, melantunkan gamelan (kesenian), menari keagamaan, dan tentunya menghaturkan sajen atau banten.
Banyaknya kegiatan yang melibatkan kerjasama warga, menjadikan ngayah bukan semata tradisi sunyi antara pribadi dan Tuhan, tetapi juga menyangkut interaksi sosial antara sesama manusia dan proses menghargai lingkungan.
Ngayah bukan hanya tentang kehidupan masyarakat Bali yang tradisional, tetapi juga lekat dengan kehidupan modern. Kewajiban ngayah secara formal terikat pada tanah adat dan desa adat (desa pakraman). Masyarakat yang berstatus menempati tanah adat di di suatu desa adat, memiliki kewajiban ngayah.
Ada pula masyarakat yang tidak menempati tanah adat (dalam arti fisik) namun tercatat sebagai masyarakat adat di desa adat tersebut, maka ia wajib melakukan ngayah. Hal ini banyak terjadi di Bali, mengingat banyaknya masyarakat yang merantau ke kota yang berbeda dan menetap secara secara administratif di wilayah baru, namun secara adat masih tercatat di wilayah asalnya.
Kegiatan ngayah berada di bawah wewenang desa adat, maka di sanalah kewajiban ngayah dijalankan. Porsi kegiatan ngayah di masing-masing desa adat tentu saja berbeda-beda. Ada desa adat yang melakukan ngayah karena banyaknya ritual keagamaan, namun ada juga yang tidak sesering itu. Perbedaan ini didasarkan pada kondisi desa adatnya.
Ngayah begitu menarik perhatian saya, sehingga saya tergerak untuk mengulik beberapa pustaka lama yang membahas tentang ngayah. Tradisi ini rasanya sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Bali, dan saking terbiasanya, kita seakan ‘meyakinkan’ diri bahwa tradisi ini selalu ada, padahal kenyataannya bisa saja tergerus.
Pada Monografi Pulau Bali (1955) yang ditulis oleh I Gusti Gde Raka, tercatat bentuk-bentuk ngayah (yang diistilahkan dengan gotong royong) yang ada di Bali pada kurun waktu tersebut, yaitu:
- Kerjasamaa dalam urusan keTuhanan;
- Kerjasama dalam urusan adat;
- Kerjasama dalam urusan yang bersangkutan perekonomian;
- Kerjasama untuk kesenangan (tarian, gamelan dll);
- Kerjasama yang bersifat temporer.
Kerjasama dalam urusan Ketuhanan adalah gotong-royong paling mendekati praktik ngayah yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali, yaitu momen ketika masyarakat melakukan kegiatan yang mengacu pada pelaksanaan ritual, mulai dari proses persiapan upacara keagamaan, pada saat kegiatan berlangsung, ataupun penyelenggaraan kesenian tari dan gamelan sebagai pengiring upacara keagamaan.
Kerjasama dalam urusan adat biasanya terkait dengan kegiatan suasana suka-duka, seperti gotong royong dalam urusan pernikahan warga desa, kematian, dan kegiatan adat lainnya seperti upacara potong gigi atau otonan.
Kerjasama dalam urusan ekonomi biasanya terkait dengan kelembagaan pertanian (subak). Setiap sawah di Bali memiliki sistem pengairan yang disebut sebagai sistem subak yang memiliki kelembagaan tersendiri, sistem kepengurusan, dan anggota yang biasanya melingkupi satu wilayah persawahan yang sama.
Kegiatan ngayah yang dilakukan dapat dilihat pada sawah yang dikelola secara komunal oleh desa adat. Masyarakat melakukan pengelolaan bersama-sama mulai dari menanam, panen, hingga upacara adat di areal persawahan.
Kerjasama untuk kesenangan ini dimaksudkan seperti perkumpulan (sekaa) tari, tabuh (gamelan), dan lain sebagainya. Mengapa ini masuk dalam kategori ngayah? Menurut saya sederhana saja, banyak sekaa kesenian tari dan gamelan di Bali melakukan ngayah untuk berbagai kegiatan yang bertujuan ritual maupun sosial tanpa memperoleh upah. Banyak sekali.
Ada lagi kerjasama yang bersifat temporer. Bentuknya seperti tolong-menolong yang bukan merupakan suatu perkumpulan, atau penjelmaan dari naastenliefde dan reciprociteit (dengan harapan bahwa suatu saat ketika diperlukan akan diperoleh pertolongan setimpal).
Kehidupan di Bali sungguh berwarna dengan adanya pelaksanaan ngayah, setidaknya begitu yang terjadi di desa adat. Kegiatan ngayah di Desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan contohnya. Sebagaimana dikatakan Reuter (2018) bahwa, konsep ngayah menggambarkan komposisi aspek ritual dan mengalahkan aspek duniawi. Tapi bagaimana dengan kondisi di belahan Bali lain yang lebih modern dan sibuk dengan kegiatan formal pekerjaan?
Perubahan Zaman yang Turut Mempengaruhi Perubahan Pola Budaya Ngayah di Bali
Masyarakat Bali dahulu sebagian besar bekerja di sektor agraris sebagai petani, sehingga waktu bekerja dan jadwal pelaksaan ngayah dapat disesuaikan. Namun saat ini penduduk Bali semakin banyak yang bekerja di bidang formal, sehingga seringkali tidak dapat menghadiri kegiatan ngayah.
Kemudian, konsep ngayah dikategorikan ke dalam bentuk ayahan (ngayah) tenaga dan ayahan material. Ngayah dalam bentuk tenaga adalah konsep ngayah pada umumnya, seperti datang ke lokasi, atau bersama-sama melaksanakan tugas. Sedangkan ngayah secara materi berarti memberikan sejumlah uang, barang, atau bahan baku kepada kepala desa, seperti kayu bakar, janur, dan bambu.
Perubahan demi perubahan tak terelakkan. Jika ditanya apakah ngayah masih relevan di kehidupan yang menjurus pada individualisme dan modernitas ini? Jawaban saya, yang mungkin tidak mewakili seluruh populasi Bali, adalah tentu masih relevan.
Begitulah tradisi yang kodratnya memang mengalami perubahan. Sehingga, tradisi ngayah dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dan perubahan yang terjadi pun menyesuaikan dengan akar tradisi ngayah itu sendiri.
Dengan melakukan tradisi ngayah, berarti kita ikut melestarikan tradisi lainnya, seperti kesenian, sistem subak, maupun pernikahan adat Bali. Tampaknya, saya dapat kembali ke pernyataan saya pada awal tulisan ini, yaitu ngayah sebagai sebuah tradisi untuk merawat tradisi, ala Bali.
Penyunting: Nadya Gadzali