Masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot berada di pedalaman hutan Kalimantan, tepatnya di hulu Sungai Bulusu. Akses menuju ke perkampungan itu tidaklah mudah. Transportasi yang biasa digunakan hanyalah ketinting—perahu yang terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan mesin. Pasalnya, kampung itu hanya dapat dijangkau dengan mengikuti aliran sungai.
Sejarah Masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot
Dahulu, masyarakat adat Suku Dayak Punan Semeriot adalah suku pedalaman yang hidup berpindah-pindah di dalam hutan, dari aliran anak sungai satu ke aliran anak sungai lainnya, dari goa ke goa, dan lain sebagainya. Mereka mencari sumber penghidupan baru jika sungai yang mereka tempati sudah tidak menyediakan sumber makanan bagi kelangsungan hidup mereka. Biasanya disebabkan oleh migrasi hewan dan siklus hidup tumbuhan.
Mereka akan kembali ke anak sungai semula jika seluruh anak sungai yang mereka tempati sudah tidak menyediakan sumber makanan lagi. Akan tetapi, sejak tahun 2000-an, Pemerintah setempat meminta masyarakat untuk menetap di satu tempat. Mereka menerima bantuan berupa tempat tinggal.
Kendati demikian, hutan tetap menjadi rumah bagi mereka. Dahulu, makanan pokok masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot adalah sagu yang banyak tersedia di hutan. Namun, seiring kemajuan zaman, masyarakat mulai mengenal beras dan padi. Akhirnya, makanan pokok beralih menjadi beras. Kini, masyarakat Dayak Punan Semeriot menanam padi tidak jauh dari hutan.
Masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot adalah suku yang tangguh, pandai bertahan hidup di hutan dengan cara berperang dan berburu. Selain sebagai suku yang handal dalam peperangan, mereka juga dikenal sebagai pencari jejak terbaik di alam.
Gading dan Umbuh, dua orang warga lokal yang kami temui menjelaskan bahwa, nenek moyang mereka hidup di hutan, kemudian meninggal dan dimakamkan di hutan. Kuburannya tidak memiliki ciri. Didirikan selayaknya tanah biasa yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman. Hanya saja, mereka masih dapat mengingat letak kuburannya.
Tata Cara Pembuatan Api
Sebelum mengenal korek api, masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot membuat api dengan bahan-bahan yang tersedia di alam sekitar. Bahan tersebut terdiri dari besi tua, kulit akar dari pohon tanus (klawit), batu dari sungai, dan kapas yang terbuat dari kulit dari pohon aren (todok). Mereka menggunakan daging kayu (calong) pohon damar sebagai cahaya penerang saat malam tiba.
Cara membuat api tidak terlalu sulit bagi yang sudah terbiasa. Pertama, kapas kulit pohon aren diambil secukupnya, lalu diletakkan di atas batu yang berasal dari sungai. Kemudian, digosokkan pada besi tua hingga timbul percikan api beberapa kali. Percikan api itu akan segera membakar kapas kulit pohon aren dan menjadi bara api.
Bara api harus tetap dijaga agar tidak padam. Kapas kulit daun aren kemudian ditambahkan dan disatukan dengan bara api, sambil terus ditiup hingga membesar dan menjadi api yang siap digunakan untuk memasak makanan.
Makna Hutan Bagi Suku Dayak Punan Semeriot
Suku Dayak Punan memandang hutan sebagai sumber penghidupan yang mengalirkan air susu Ibu. Sebuah metafora untuk menggambarkan kebutuhan hidup masyarakat yang terpenuhi dari hutan dan kekayaan alam sekitar. Sebab tanpa hutan, masyarakat Suku Dayak Punan akan mengalami kesulitan untuk bertahan hidup.
Selain dimaknai sebagai rumah, keberadaan hutan juga dianggap sebagai sumber kehidupan. Ranting pohon dapat dijadikan kayu bakar untuk memasak. Babi hutan dan binatang lainnya dapat dijadikan sumber makanan. Biasanya, masyarakat berburu atau memasang jerat untuk menangkap hewan buruan.
Umbuh juga menjelaskan, tanaman yang memiliki khasiat untuk kesehatan, tersedia di dalam hutan. Masyarakat menggunakan tanaman-tanaman itu untuk pengobatan alternatif jika ada warga yang sakit dan tidak dapat menjangkau puskesmas. Selain jarak puskesmas yang jauh, transportasi adalah kendala utama di kampung mereka.
Selain untuk pengobatan, daun tanaman paku hutan juga dapat dikonsumsi. Suku Dayak Punan Semeriot kerap memasaknya. Hutan juga menyediakan buah-buahan yang menjadi sumber vitamin, di antaranya, durian hutan, rambutan, dan buah cempedak. Saat musim berbuah, masyarakat akan berbondong-bondong ke dalam hutan untuk memanen buah. Kami menemukan jejak peristirahatan beruang di sana. Artinya, binatang-binatang buas dan langka masih terdapat di dalam hutan.
Kearifan Lokal Masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot
Suku Dayak Punan Semeriot masih mempertahankan tradisi leluhurnya, seperti tata cara berladang, berburu, dan lain sebagainya. Sumber daya alam juga tetap dikelola. Sebab, masyarakatnya masih menerapkan tata cara pembukaan lahan perkebunan berbasis hukum adat.
Hukum adat memang menjadi pedoman dalam membuka lahan, agar masyarakat tidak sembarangan dalam menebang pohon. Dengan demikian, kelestarian hutan dapat terus dijaga. Ada semacam ritual panjang yang harus dilakukan ketika masyarakat hendak membuka lahan untuk berladang.
Ritual tersebut dimaksudkan untuk menghormati leluhur mereka. Menurut Surang, saat hendak memulai proses penanaman padi, masyarakat biasanya menyiapkan sesajen di dalam ritual, dilanjutkan dengan prosesi meminum tuak, ciu, pengasih, dan ditutup dengan kegiatan menari bersama diiringi alat musik gong.
Ritual ini dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan subur, serta dilindungi dari serangan hama. Waktu pelaksanaannya adalah ketika masyarakat hendak melakukan penugalan, atau membuat lubang tanam menggunakan alat sederhana untuk memulai proses penanaman padi. Selain menanam padi, masyarakat juga menanam ubi, cabe, tomat, labu dan mentimun.
Ritual ini ditujukan agar masyarakat tidak bertindak sembarangan, sehingga sumber daya alam yang terdapat di dalam hutan juga dapat terjaga kelestariannya. Ada sebuah kepercayaan yang hingga kini masih dipertahankan oleh masyarakat adat Suku Dayak Punan Semeriot. Mereka akan berhenti melakukan aktivitas pembukaan lahan, jika burung bukong (bahasa lokal) melintasi lahan. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melanjutkan kegiatan pembukaan lahan jika tidak ingin ditimpa kemalangan.
Kearifan lokal lainnya adalah pantangan untuk memburu burung rangkong. Salah satu jenis Burung Rangkong yang terdapat di hutan Kalimantan ialah Rangkong Gading (Rhinoplax Vigil) yang keberadaannya kian memprihatikan lantaran sering diburu. Suku Dayak menamainya julang/enggang/kerangken. Padahal, Burung Rangkong memiliki peran penting dalam keseimbangan ekologis hutan. Keberadaan rangkong mengindikasikan bahwa pohon yang memiliki diameter yang tebal, masih tersedia di dalam hutan.
Masyarakat Suku Dayak Punan Semeriot memercayai bahwa, jika burung rangkong terus diburu, maka hutan akan menjadi senyap. Sebab, selain mempunyai ciri khas berupa suara yang mudah dikenali, burung ini juga berperan sebagai penebar biji-biji tanaman di dalam hutan. Tanaman-tanaman itulah yang kemudian digunakan untuk kelangsungan hidup Suku Dayak. Itu sebabnya, masyarakat juga berpantang memakan daging burung rangkong.
Bila mereka hendak membunuh satu ekor burung rangkong, maka harus terlebih dahulu membunuh dan memakan daging manusia. Aturan itu telah hidup dari zaman nenek moyang Suku Dayak. Karena alasan-alasan yang tidak memanusiakan manusia itulah, mereka enggan membunuh dan memakan burung rangkong. Mereka juga meyakini, jika daging burung disantap oleh anak kecil, maka anak kecil tersebut akan jatuh sakit.
Gading, Kepala Adat Suku Dayak Punan Semeriot menjelaskan bahwa populasi burung rangkong semakin lama justru semakin berkurang, bukan bertambah. Sebab, burung rangkong enggan meletakkan telurnya jika bertemu dengan manusia dan memilih untuk terbang.
Gading juga menjelaskan bahwa menurunnya populasi burung rangkong, diakibatkan oleh adanya aktivitas perburuan liar yang dilakukan oleh manusia. Meskipun dilarang, para pemburu tidak menghiraukan imbauan tersebut dan tetap mencari alternatif lain agar tetap dapat berburu.
Kearifan lokal yang diyakini oleh Suku Dayak Punan Semeriot, semata-mata adalah untuk menjaga kelestarian hutan. Meskipun ancaman dari pihak luar untuk berburu burung rangkong tetap ada, sehingga populasi burung penebar biji-bijian ini semakin hari semakin sedikit.
Penyunting: Nadya Gadzali