Di lereng Gunung Sumbing, terhampar pematang sawah dengan sederet aktivitas para petani. Kehidupan agraris dilakukan di atasnya. Tertampak salah seorang petani dengan “jubah bambu” yang dikenakannya, hingga hampir menutup seluruh tubuhnya. Kowangan, masyarakat sekitar menyebutnya. Alat yang digunakan sebagai pelindung tubuh petani dari terik ataupun hujan.

Kowangan yang digunakan sebagai pelindung tubuh ini kemudian berkembang, bahkan mampu mengampu fungsi lainnya, menjadi sebuah instrumen musik. Menjadi hal wajar karena musik merupakan kebutuhan masyarakat. Dari cerita-cerita yang beredar, alat musik ini berfungsi untuk menemani petani berkegiatan di sawah, terutama ketika menggembala bebek.

Kiwari, gaung instrumen ini terdengar hingga pelosok negeri, dengan sejumlah cara-cara kreatif pemuda lokal memperkenalkannya ke hadapan publik. Alat musik ini dinobatkan sebagai alat musik ikonik dari Wonosobo. Masyarakat sekitar menyebut alat musik yang sudah ada sejak abad 12 (termuat dalam Kitab Wreta Sancaya) ini sebagai alat musik bundengan.

Keunikan alat musik bundengan, mungkin sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Mulai dari bentuk, bunyi, sistem pelarasan, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadikan bundengan terasa unik.

Saya menggeluti bundengan sejak tahun 2016. Ketertarikan saya saat itu pada bundengan, lantaran instrumen ini begitu masyhur dijuluki “gamelan in one”. Hal ini didasarkan pada bunyi yang merepresentasikan bunyi gamelan: kendhang, kenong/bendhe, kethuk, gong, dan vokal.

Selain itu, adanya kepercayaan tentang unsur bentuk instrumen bundengan yang dipercaya mampu menangkal petir, yakni terletak di bagian ujung atas instrumen. Setelah saya perdalam lagi, kedua hal itu ternyata benar adanya. Bahkan, terdapat keunikan-keunikan lainnya juga, seperti sistem pelarasan pada bundengan.

Julukan

Bundengan, sedari saya mengenalnya, telah melekat dengan julukan “gamelan in one”. Alasan masyarakat melekatkan julukan ini pada bundengan ialah lantaran suaranya yang mirip dengan bunyi gamelan.

Seperti yang disampaikan di atas, bahwa dawai bundengan merepresentasikan bunyi gamelan: kendhang, kenong/bendhe, kethuk, gong, dan vokal. Dalam ansambel gamelan, bunyi yang terwakili pada bundengan merupakan bunyi dari ricikan wingking atau disebut dengan gamelan struktural. Di dalam ansambel gamelan, gamelan struktural terdiri dari gong, kempul, kethuk-kempyang, dan kenong.

Perbedaannya, terletak pada penambahan pada vokal dan kendhang. Sedangkan dalam ansambel gamelan, kendhang dan vokal masuk ke dalam barisan ricikan ngajeng: dominan sebagai penghias dan pemimpin. Adanya unsur antara nada ritmis (gamelan struktural), perkusif (kendhang), dan melodis (vokal) menjadi keistimewaan tersendiri karena berada di dalam satu instrumen musik bundengan.

Dengan begitu, dapat diartikan bahwa di dalam satu instrumen musik bundengan, sudah terdapat beberapa instrumen ansambel gamelan. Dengan kata lain, dalam satu bundengan saja, sudah terwakili bentuk ansambel, kendati dalam ukuran yang minimalis. Pun begitu, akan menjadi sebuah kelaziman, jika masyarakat menyebut bundengan dengan julukan “gamelan in one”.

Unik

Bundengan merupakan alat musik yang tergolong sebagai alat musik dawai. Secara umum, pelarasan alat musik dawai adalah dengan diputar (seperti gitar, siter, biola, dan lain sebagainya).

Namun, hal ini tidak berlaku terhadap bundengan. Sistem pelarasan pada bundengan adalah dengan menggeser bandul ke kiri atau ke kanan.  Bandul ini terbuat dari carang bambu yang di dalamnya disilangi dengan lidi. Hal ini ditujukan sebagai pengait agar pelarasan dapat terjalin.

Diambil dari skripsi Muhammad Said Abduloh tahun 2017, tampak sebuah bandul yang digunakan untuk melaras nada pada bundengan. Dalam hal pelarasan dawai, bundengan memiliki keunikan tersendiri, karena sistem pelarasan yang dilakukan dengan cara menggeser yang mungkin hanya ada pada bundengan.

Mitos

Dalam kesenian Nusantara, tidak akan afdol jika tidak membahas hal kontekstualnya. Memang secara parsial, kesenian Nusantara meliputi hal tersebut. Bundengan (kowangan) mengilhami keyakinan masyarakat bahwa eksistensinya mampu menangkal petir.

Dasar kepercayaan inilah yang menjadikan bundengan (kowangan) sebagai tudung atau pelindung tubuh petani dari hujan: karenanya petir tidak akan mengenai penggunanya.

Penangkal petir pada bundengan (kowangan) ini terletak di bagian ujung instrumen: bentuknya tegak dan terbungkus oleh ijuk. Saat ditelusuri, rata-rata jawaban yang didapat adalah tidak tahu-menahu ihwal asal mula mitos itu, karena sudah digunakan secara turun-temurun.

Meskipun begitu, salah satu aktivis bundengan mampu memberikan jawaban yang kiranya mempu mengurai alasan di balik mitos yang ada sebagai untuk sarana pengetahuan, sehingga mampu dijadikan pijakan bagi para generasi penerus.

Barangkali, leluhur memiliki pengetahuan ilmiah yang terbatas, namun mereka selalu memakai ilmu tanda atau titen. Sebagai contoh, leluhur menggunakannya untuk melakukan atau menciptakan sesuatu, seperti pada musim tanam, musim tebang, dan lain sebagainya.

Kesenian pun tidak luput dari perhatian leluhur. Sejak dahulu, pohon aren yang menjulang tinggi sangat jarang terkena sengatan petir. Hal ini berlaku di hampir seluruh tempat. Bahkan, ada beberapa masyarakat yang memberikan julukan pohon aren sebagai pohon misteri.

Atas fenomena tersebut, leluhur menerapkan ijuk (pohon aren) sebagai bahan pelindung yang ada pada bundengan (kowangan), sehingga petir tidak akan menyambar.

Meskipun masih menjadi misteri, namun sejak dahulu, belum ditemukan fakta bahwa ada bundengan (kowangan) yang tersambar petir. Dari ilmu tanda, kemudian lahirlah mitos bahwa benda ini mampu menangkal petir.

Leluhur

Sebelumnya, bundengan diklaim sebagai alat musik yang hampir punah. Namun dewasa ini, para pegiat seni Wonosobo terus memperjuangkannya. Pelestarian bundengan tentu menjadi penting, karena memiliki banyak keistimewaan.

Bundengan hasil pengejawantahan masyarakat Wonosobo, memberikan bukti bahwa warisan budaya leluhur masih bertahan hingga kini. Penguraian akan makna-makna serta manfaat bundengan yang dipaparkan dalam tulisan ini, menjadi sebuah medium penyadaran agar masyarakat mau melestarikannya.

Secara subyektif, bundengan merepresentasikan kreatifitas masyarakat terdahulu. Fungsi holistik pada bundengan Wonosobo, mulai dari sistem pelarasan, julukan dan mitos, membuatnya selalu layak untuk dikisahkan ulang dari generasi ke generasi.

Dengan adanya pengetahuan tersebut, kiranya bundengan dapat menjadi pemantik untuk generasi saat ini, agar memiliki kesadaran untuk melestarikan warisan budaya leluhur. Karena produk kebudayaan tidak terlahir begitu saja. Banyak rekam jejak dan sejarahnya yang masih terabaikan.

Penyunting: Nadya Gadzali