Mengajar dan meneliti di bidang etnomusikologi (terutama di lembaga pendidikan ISI Surakarta) selama lebih dari satu dekade telah memberi saya pandangan mengenai perkembangan serta keterbatasan paradigma dalam disiplin ini. Secara dasar, etnomusikologi mempelajari musik dalam konteks budaya, tetapi sering kali, pandangan bahwa musik tradisional harus dilestarikan dalam bentuk aslinya menjadi kendala tersendiri yang menghambat perkembangan.
Di balik pandangan ini, terdapat ketakutan besar terhadap hilangnya identitas, yang salah diinterpretasikan sebagai ancaman terhadap keaslian musik itu sendiri. Walaupun niat menjaga tradisi merupakan hal baik, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengakui bahwa perubahan adalah keniscayaan, bagian dari evolusi alami dalam budaya (baca Nettl, 2005; Stokes, 1994). Dalam konteks ini, kita perlu mengubah cara pandang terhadap musik tradisi, menganggapnya sebagai fenomena dinamis, terus berkembang dan beradaptasi dalam perubahan zaman.
Ilusi mempertahankan kemurnian musik tradisi
Upaya mempertahankan "kemurnian" musik tradisi muncul dari anggapan sempit bahwa budaya bersifat tetap. Padahal, menurut Stokes (1994), identitas budaya dalam musik selalu beradaptasi karena adanya interaksi sosial, migrasi, dan modernisasi. Feld (1984) juga menunjukkan bahwa struktur musik mencerminkan struktur sosial, sehingga perubahan dalam musik tradisi mencerminkan perubahan dalam masyarakat.
Dalam studi kasus tertentu, seperti ditunjukkan oleh Seeger (2004), pelestarian musik tradisional kerap mengabaikan kenyataan bahwa teknologi dan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, ketakutan terhadap perubahan justru menghambat pemahaman akan adaptasi budaya yang alami.
Dampak revolusi digital adalah salah satu contoh nyata yang mengubah cara orang mengakses, memproduksi, dan mendistribusikan musik (Shen, H. , 2023). Teknologi digital tidak hanya memengaruhi alat musik atau teknik rekaman, tetapi juga cara tradisi musik dipelajari dan diteruskan. Internet telah membuka akses terhadap berbagai jenis musik dari seluruh dunia, sehingga tradisi kini dapat dijangkau oleh khalayak global (Baily, 2001). Dengan demikian, definisi "kemurnian" musik tradisional menjadi semakin sulit dipertahankan, karena teknologi memungkinkan perubahan dan pertukaran lebih cepat.
Beberapa pihak menganggap modernitas sebagai ancaman bagi nilai-nilai tradisional, tetapi Meintjes (2003) berargumen bahwa kapitalisme global juga mengubah cara pandang kita terhadap musik tradisional, yang kini tidak hanya dilihat sebagai ekspresi budaya tetapi juga sebagai komoditas dalam pasar dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak perlu dianggap ancaman, tetapi sebagai bagian dari adaptasi budaya tak terhindarkan (Turino, 2008).
Dalam konteks kapitalisme, musik tradisi menjadi produk yang bisa diproduksi dan diperdagangkan secara global, makna "keaslian" kemudian menjadi sesuatu yang lebih fleksibel. Etnomusikologi, oleh karena itu, perlu mengembangkan pendekatan lebih setara dan terbuka terhadap perubahan. Menurut Guilbault (2007), menerima teknologi baru, kapitalisme global, dan faktor sosial-politik lainnya yang membentuk musik tradisi dapat membuat etnomusikologi menjadi lebih relevan terhadap isu-isu kontemporer.
Dalam pandangan Rice (2014), musik sebaiknya dipahami sebagai fenomena dinamis yang terus berubah sesuai perkembangan sosial. Perspektif ini penting bagi para etnomusikolog dalam menghadapi tantangan mutakhir.
Wong (2009) menjelaskan bahwa perubahan dalam musik tradisi merupakan respons terhadap pergeseran sosial atau ekonomi, seperti urbanisasi atau pola konsumsi baru. Oleh karena itu, perubahan ini sebaiknya dipahami sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang beralih, bukan sebagai "kehilangan" budaya, tetapi sebagai refleksi dari kekuatan sosial yang membentuk dunia kita di hari ini.
Meski banyak pendukung “etnomusikologi tradisional” yang percaya bahwa mempertahankan "kemurnian" musik merupakan cara terbaik untuk melestarikan warisan, pandangan ini semakin ditantang oleh kebutuhan akan keterbukaan terhadap perubahan (baca Wallach, 2014).
Kebudayaan, khususnya musik, berkembang seiring dengan perubahan interaksi sosial dan teknologi, bahwa keaslian tidak selalu berarti ketetapan, tetapi bisa mencakup fleksibilitas (Stokes, 2004). Hesmondhalgh (2000) menjelaskan bahwa globalisasi telah memungkinkan pertukaran budaya lebih luas, bahkan dalam genre musik tradisi sekalipun.
Terkait hal itu, Portalés dan Rodrigues (2018) menunjukkan bahwa pengaruh media digital telah membuat musik tradisi lebih liat-lentur, mengubah cara melestarikan tradisi melalui metode yang sebelumnya tidak terpikirkan. Semakin kompleksnya jaringan global, konsep keaslian dalam musik tradisi menjadi semakin sulit untuk didefinisikan (Blum, Bohlman, & Neuman, 2003).
Banyak musisi kini memandang tradisi sebagai dasar untuk inovasi, daripada sekadar norma yang harus dilestarikan semata. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan globalisasi. Idris, Mustaffa, dan Yusoff (2016) mengusulkan bahwa penerapan teknologi baru dalam musik tradisional bukanlah sekadar proses modernisasi, tetapi juga upaya pelestarian.
Ketika teknologi membantu menyimpan, mereproduksi, dan menyebarkan musik tradisi, hal ini sebenarnya memperpanjang umur tradisi tersebut, meskipun mungkin dengan sedikit modifikasi untuk menyesuaikan konteks zaman. Dalam perspektif ini, sekali lagi, tradisi dipandang sebagai sebuah kerangka fleksibel yang dapat beradaptasi dengan perubahan (Titon, 2009). Sejalan dengan pandangan bahwa musik tradisional, seperti jaga kebudayaan lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang membentuknya.
Solís (2004) menjelaskan bahwa dalam etnomusikologi masa kini, pandangan tentang "kemurnian" telah bergeser. Etnomusikolog mulai menerima bahwa musik dapat beradaptasi dengan konteks kon-temporer tanpa kehilangan jati dirinya. Dalam praktik ini, teknologi dan interaksi budaya global menjadi bagian dari proses pelestarian itu sendiri, alih-alih ancaman.
Begitu juga dengan Dushni, Shafeta, dan Salii (2024), mencatat bahwa upaya mempertahankan keaslian secara total dan radikal justru seringkali melemahkan perkembangan alami musik. Ia berargumen bahwa keaslian seharusnya mencakup pula penerimaan terhadap pengaruh luar, yang dapat menambah dimensi baru dalam musik. Pada beberapa masyarakat, perubahan dalam musik tradisi dianggap sebagai bentuk perkembangan identitas budaya dinamis, bukan pengkhianatan terhadap akar budaya (Waterman, 1990).
Dengan demikian, kemurnian dalam konteks musik tradisional dapat dipahami sebagai proses adaptasi. Terkait hal ini, Born (2012) menekankan, bahwa dalam era digital, musik tradisi tidak hanya berperan sebagai ekspresi lokal tetapi juga sebagai bagian dari budaya global. Relasi antara identitas lokal dan teknologi digital menciptakan bentuk ekspresi baru, di mana tradisi-lokal dapat hidup berdampingan dengan pengaruh global.
Bias laten
Bias laten dalam etnomusikologi menciptakan persepsi bahwa musik dari masyarakat non-Barat perlu dilestarikan dalam bentuk statis, seolah-olah masyarakat tersebut tidak terlibat dalam dinamika global. Sebagaimana dijelaskan oleh Erlmann (1996), pendekatan ini mengandaikan bahwa budaya non-Barat adalah entitas tertutup yang tidak dapat mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh modernisasi atau globalisasi.
Pengaruh kolonial dalam etnomusikologi secara tidak sadar mempertahankan sudut pandang hierarkis di mana musik Barat dianggap sebagai model superior yang "dinamis", sementara musik non-Barat diasumsikan sebagai objek "statis" dan perlu dilindungi dari pengaruh eksternal.
Dalam penelitian musik tradisi, penekanan pada pelestarian sering kali mengabaikan kenyataan bahwa budaya terus bertransformasi. Menurut Agawu (2003), sikap ini memperkuat ide-ide kolonial tentang keunggulan Barat, di mana musik dari masyarakat "lain" sering dianggap eksotis dan kurang maju. Perspektif ini tidak hanya menempatkan musik Barat sebagai standar utama, tetapi juga mendevaluasi keragaman ekspresi budaya di luar konteks Barat.
Proses penelusuran sejarah musik dari masyarakat ini cenderung mempertahankan stereotip lama, seolah-olah tradisi mereka berada dalam ruang waktu yang hampa, alias terisolasi. Hirarki dalam etnomusikologi ini tidak hanya terjadi secara eksplisit tetapi juga dalam bentuk bias laten. Sebagai contoh, Bohlman (1999) menunjukkan, bahwa studi musik non-Barat sering kali terjebak dalam narasi "eksotika" yang mewakili pandangan kolonial.
Musik non-Barat menjadi objek romantisasi tanpa memperhatikan dinamika sosial dan politik yang sesungguhnya membentuk musik tersebut. Bias ini dapat mempersempit pemahaman terhadap kontribusi musisi lokal dalam membentuk tradisi musik yang terus berkembang dan berinteraksi dengan dunia masa kini.
Lebih lanjut, dalam pendekatan bias laten ini, musik non-Barat diperlakukan sebagai sesuatu yang terjebak dalam dimensi waktu [seperti dijelaskan oleh Said (1978) dalam konsep orientalisme]. Musik-musik ini sering kali diperlakukan seolah-olah tidak berkembang atau beradaptasi dengan pengaruh-pengaruh baru, padahal kenyataannya, musik non-Barat selalu mengalami evolusi. Perspektif ini sering kali menghilangkan nilai dan pengalaman dari komunitas musik tersebut dalam menciptakan dan mempertahankan identitas musik mereka dalam konteks kontemporer.
Dengan memposisikan musik mereka sebagai sesuatu yang "harus dilestarikan" (dipertahankan, diadilihungkan), etnomusikologi kadang-kadang menegasikan suara dan agen budaya yang ada di dalamnya. Merujuk Slobin (1992), banyak etnomusikolog menganggap musik non-Barat dalam kerangka pandangan Barat, yang pada akhirnya menghilangkan otonomi budaya masyarakat tersebut dalam menentukan nasib dan evolusi musik mereka.
Bias laten dalam etnomusikologi juga tercermin dalam kecenderungan untuk mendokumentasikan musik tradisi secara rinci-rigid, tetapi kurang memberi ruang bagi kreativitas dan inovasi yang dibawa oleh musisi lokal. Waterman (1990) menarasikan bahwa musisi dari masyarakat non-Barat sering kali dianggap sebagai "penjaga tradisi", sementara kreativitas mereka dalam mengadaptasi musik untuk memenuhi kebutuhan sosial kontemporer tidak selalu diakui.
Pendekatan ini mengabaikan aspek dinamis dalam perkembangan musik dan hanya berfokus pada pelestarian bentuk musik yang dianggap murni. Etnomusikologi yang bias cenderung mempertahankan pandangan romantis tentang musik tradisi, melanggengkan stereotip tentang budaya non-Barat sebagai budaya tidak berubah, alias mandeg.
Etnomusikologi harus bergerak menuju pendekatan lebih setara, di mana musik dari berbagai budaya dihargai dalam konteks sosial dan politiknya sendiri (Born, 2012). Dengan demikian, bias laten ini dapat diatasi melalui kesediaan untuk menerima bahwa semua budaya berkontribusi terhadap dinamika global dalam cara yang sama-seimbang.
Bias laten dalam etnomusikologi juga dapat muncul melalui penggunaan bahasa dan terminologi yang menyiratkan superioritas budaya Barat. Istilah-istilah seperti "musik dunia", “meusik eksotik”, atau mungkin "musik tradisional" digunakan untuk mendefinisikan musik non-Barat, sedangkan musik Barat disebut sebagai "musik klasik", “modern”, atau "kontemporer". Pembagian semacam ini secara implisit menciptakan hierarki di mana musik Barat dianggap lebih maju atau superior (Shen, H. , 2023). Penyematan label yang memisahkan musik Barat dan non-Barat perlu dipertanyakan karena dapat memperkuat stereotip dan mengabaikan kompleksitas budaya lokal.
Dengan memperlakukan musik non-Barat sebagai entitas yang terjebak dalam waktu, beberapa peneliti secara tidak sengaja memelihara bias kolonial, melihat budaya non-Barat sebagai sesuatu yang tetap dan tentu saja: "primitif". Di sisi lain, bias laten juga bisa muncul dalam pendekatan penelitian yang menganggap masyarakat lokal tidak memiliki pengetahuan atau kapabilitas untuk mengembangkan musik mereka sendiri tanpa intervensi atau pengaruh dari luar.
Dalam menghadapi bias ini, beberapa ahli mengusulkan pendekatan lebih reflektif dan kolaboratif dalam penelitian. Titon (2009) misalnya, menekankan pentingnya bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk memahami musik dalam konteks lebih holistik. Kolaborasi ini tidak saja membantu mengurangi bias, tetapi juga memberikan kesempatan bagi komunitas untuk berbicara atas nama mereka sendiri, mengurangi ketergantungan pada pandangan dari pihak luar.
Bentuk lain dari bias laten adalah anggapan bahwa musik tradisional harus dilindungi dari komersialisasi atau kapitalisme. Meintjes (2003) mengamati bahwa pandangan ini sering kali mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal mungkin memiliki pandangan berbeda tentang nilai ekonomi dari musik mereka.
Dalam beberapa kasus, musik tradisi justru memperoleh relevansi baru sebagai komoditas dalam pasar dunia, memberikan keuntungan ekonomi bagi komunitas yang menciptakannya. Pendekatan dekolonial dalam etnomusikologi semakin diakui sebagai cara untuk mengatasi bias laten ini.
Turino (2008) menyarankan bahwa alih-alih melihat musik tradisional sebagai entitas yang harus dilindungi dari pengaruh luar, peneliti sebaiknya melihatnya sebagai bentuk ekspresi yang berhak untuk berkembang. Pendekatan dekolonial ini membuka jalan untuk melihat musik dalam konteks global yang setara, tanpa prasangka yang terbentuk dari sejarah kolonialisme.
Selain itu, pendekatan kritis yang mengakui sejarah kolonial dan pengaruhnya dalam etnomusikologi memungkinkan peneliti untuk memahami dampak jangka panjang dari bias laten. Disiplin ini harus memeriksa ulang konsep-konsep dasarnya, seperti "kemurnian" dan "keaslian", yang sering kali dipengaruhi oleh warisan kolonial dan imperialisme (Blum, S., Bohlman, dan Neuman, 2003).
Dengan menggugat konsep-konsep ini, etnomusikologi dapat menjadi lebih relevan. Dalam beberapa kasus, bias laten dalam etnomusikologi juga terlihat dalam cara penelitian dilakukan. Studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti Barat di komunitas non-Barat sering kali diwarnai dengan asumsi bahwa peneliti memiliki otoritas dalam menginterpretasikan musik lokal.
Pandangan yang menempatkan musik Barat sebagai standar kerap mengabaikan keragaman dan keunikan musik tradisi dari seluruh dunia. Stokes (2004) menunjukkan bahwa etnomusikologi perlu mengakui bahwa musik adalah refleksi dari identitas dinamis yang terus berubah.
Pendekatan ini akan membantu disiplin etnomusikologi untuk melihat budaya musik non-Barat bukan sebagai sesuatu yang harus memenuhi standar Barat, tetapi sebagai entitas yang berkembang dengan sendirinya. Transformasi paradigma ini, bukan hanya soal menghilangkan bias laten, tetapi juga tentang membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat dalam pembentukan wacana musik mereka sendiri (Wong, 2009).
Idris, Mustaffa, dan Yusoff (2016) menunjukkan bahwa akses global terhadap musik tradisi melalui internet memungkinkan lebih banyak orang untuk menghargai dan mempelajari budaya lokal. Namun, akses ini juga menciptakan tantangan baru terkait hak kepemilikan dan hak cipta, yang belum diatur dengan baik di negara-negara non-Barat.
Untuk masa depan, peneliti etnomusikologi perlu lebih sadar akan bias laten yang kemungkinan besar tanpa disadari memengaruhi penelitian mereka. Terkait hal itu, Born (2012) menyarankan agar disiplin ini mengambil langkah proaktif untuk mendekati semua musik sebagai subjek setara. Bukan hanya soal menghilangkan bias, tetapi juga tentang mengakui hak setiap komunitas untuk menginterpretasi musik mereka tanpa tekanan dari standar eksternal manapun.
Partisipatoris
Salah satu kelemahan utama dari pendekatan etnomusikologi klasik adalah kecenderungan untuk berfokus pada analisis dan dokumentasi musik tanpa mempertimbangkan kontribusi yang dapat diberikan kembali kepada komunitas asal musik tersebut (Beng, 2015). Hal ini menciptakan hubungan eksploitatif di mana komunitas lokal hanya menjadi sumber data bagi para peneliti tanpa memperoleh manfaat langsung dari penelitian tersebut.
Banyak ahli melihat kondisi ini sebagai perpanjangan praktik kolonial dalam bentuk lebih halus, di mana pengetahuan diambil dari komunitas tanpa memberi kembali kepada mereka secara memadai (Turino, 2008).
Pendekatan partisipatoris menawarkan perspektif alternatif lebih beretika dan menghargai peran pemilik musik sebagai aktor aktif dalam proses penelitian. Melalui pendekatan ini, masyarakat native tidak hanya menjadi objek penelitian tetapi juga subjek yang memiliki kendali dan suara dalam narasi penelitian tentang musik mereka (Guilbault, 2007).
Pendekatan partisipatoris juga memungkinkan komunitas untuk turut serta menentukan arah studi dan hasil yang ingin dicapai. Ketika pemilik musik dilibatkan dalam proses penelitian, hasilnya menjadi lebih relevan dan bermakna, tidak hanya untuk dunia akademis tetapi juga untuk kehidupan sehari-hari mereka (Baily, 2001).
Tanpa pendekatan itu, penelitian etnomusikologi berisiko kehilangan urgensinya, menjadi sekadar usaha akademik yang tidak berdampak pada kehidupan nyata komunitas sekalligus memiliki potensi untuk memperkaya data yang diperoleh, karena masyarakat pemilik musik sering memiliki wawasan tersendiri tentang budaya musik mereka, yang tidak selalu dapat diakses oleh peneliti dari luar.
Namun, menerapkan pendekatan partisipatoris tidak selalu mudah. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana membangun hubungan saling menghormati dengan masyarakat pemilik musik yang diteliti.
Banyak peneliti menganggap diri mereka memiliki otoritas lebih dalam menginterpretasikan musik dan budaya non-Barat, sebuah pandangan yang masih berakar pada sikap kolonial (Titon, 2009). Dengan pendekatan partisipatoris, sikap ini dapat dihindari karena masyarakat native menjadi mitra aktif dalam proses penelitian, bukan hanya sumber informasi.
Pendekatan partisipatoris juga berpotensi membangun kepercayaan lebih kuat antara peneliti dan komunitas yang diteliti. Ketika komunitas merasa dihargai dan diperlakukan dengan adil, mereka lebih berpartisipasi dalam proses penelitian dengan penuh keterbukaan (Shen, H. , 2023).
Dalam hal pelestarian budaya, pendekatan partisipatoris juga menunjukkan keunggulan signifikan. Dengan melibatkan komunitas pemilik dalam penelitian musik, mereka tidak hanya melihat musik sebagai sesuatu yang akan hilang, tetapi sebagai elemen budaya yang dapat terus hidup dan relevan bagi generasi mendatang (Wong, 2009). Partisipasi ini membantu komunitas untuk mempertahankan dan mengembangkan musik mereka dengan cara sesuai dengan perubahan sosial dan teknologi yang terjadi di sekitar mereka.
Tidak hanya itu, pendekatan partisipatoris juga memungkinkan komunitas untuk memperoleh keterampilan baru yang dapat bermanfaat dalam jangka panjang. Guilbault (2007) menunjukkan bahwa ketika komunitas lokal belajar tentang teknik dokumentasi atau analisis musik dari proses penelitian, mereka dapat menggunakan keterampilan ini untuk mendokumentasikan budaya mereka sendiri secara mandiri di masa depan. Hal ini memperkuat otonomi budaya dan mengurangi ketergantungan pada peneliti dari luar. Pendekatan ini juga membantu mengurangi bias laten yang (mungkin) ada pada peneliti.
Pandangan bahwa penelitian harus berdampak langsung pada komunitas yang diteliti adalah prinsip penting dalam etnomusikologi modern. Menurut Nettl (2005), disiplin ini seharusnya tidak hanya mengamati dan mendokumentasikan, tetapi juga melibatkan diri dalam upaya “pemberdayaan” komunitas lokal.
Turino (2008) berpendapat bahwa pendekatan partisipatoris memungkinkan komunitas untuk merasa bahwa penelitian dilakukan "bersama" mereka, bukan "atas" mereka. Ini adalah pergeseran penting dalam etnomusikologi yang perlu didorong, terutama dalam upaya untuk memutus siklus eksploitatif yang masih sering terjadi dalam penelitian di komunitas non-Barat.
Selain itu, peneliti wajib mempertimbangkan hak komunitas atas hasil penelitian. Dushniy, A., Shafeta, V., & Salii, V. (2024) menekankan bahwa komunitas lokal memiliki hak untuk memilih apakah hasil penelitian akan disebarluaskan atau tidak, terutama jika penelitian tersebut dapat mempengaruhi pandangan tentang identitas mereka sendiri. Hak ini merupakan bagian dari upaya menghargai otonomi budaya lokal dan menghindari potensi eksploitasi.
Idris, Mustaffa, dan Yusoff (2016) menyarankan bahwa hasil penelitian sebaiknya disajikan dalam format yang dapat diakses oleh komunitas lokal, seperti materi edukatif atau program pelatihan yang dapat membantu mereka dalam menjaga dan mengembangkan musik tradisional mereka sendiri.
Dengan kemajuan teknologi digital, pendekatan partisipatoris juga dapat diperkuat melalui penggunaan alat-alat teknologi yang memungkinkan komunitas lokal untuk mendokumentasikan dan menyebarkan musik mereka sendiri. Portalés dan Rodrigues (2018) menunjukkan bahwa teknologi digital dapat menjadi alat bagi komunitas lokal untuk lebih berpartisipasi aktif dalam proses pelestarian budaya mereka.
Pendekatan partisipatoris adalah bagian dari tanggung jawab etis dalam etnomusikologi. Born (2012) menegaskan bahwa tanpa pendekatan ini, disiplin etnomusikologi akan terus membawa beban kolonial dalam bentuk eksploitasi yang halus.
Penyunting: Nadya Gadzali