Harmoni musik Karo oleh Eta Margondang menggema di panggung UncleD. Sejumlah musisi Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak yang tergabung di dalamnya, menghadiri gelaran “Jamuan Kultura”, kenduri lintas budaya yang digagas oleh Panca dan Ozak dari Yayasan Kultura, Juni lalu.
Seperti falsafah Suku Batak, marsiadapari, pekerjaan yang berat jika dipikul bersama-sama dapat meringankan beban kumpulan, jamuan malam itu juga dibangun di atas pondasi kekerabatan antar-puak wilayah Danau Toba.
Bangso Batak mengenal istilah puak untuk menyebut kekerabatan dalihan na tolu dari berbagai kelompok marga yang menetap di suatu wilayah. Di skena musik tradisi, Eta Margondang seperti membangkitkan kesadaran bahwa musik dapat mempererat ikatan kekerabatan antar-puak.
Sedangkan konteks gotong-royong yang terkandung pada marsiadapari menjadi nafas kultur agraris di Sumatera Utara. Jamuan Kultura mengadaptasi falsafah itu sehingga memiliki persambungan dengan situasi kini, bahkan mewujud kerja sama musik antar-musisi lintas genre.
Masyarakat perkotaan yang antroposentris kerap terlupa akan ritual budaya dan kekayaan tradisi. Tetapi di Jamuan Kultura, ruang hampa itu kembali terisi dengan kumandang musik Karo. Ditandai dengan hadirnya Bottlesmoker, dua musisi elektronik asal Bandung yang merilis album Parakosmos pada tahun 2017 lalu.
Personel Bottlesmoker, Anggung Suherman dan Ryan Adzani, menyajikan idiom musik tradisi dari berbagai daerah hingga ke titik ekstrimnya. Ba Aluk, Bonet Circle dan Ratapan Timor adalah tiga dari sepuluh lagu yang memberi sentuhan berbeda di musik elektronik, yang keseluruhannya mengadaptasi sastra lisan dari berbagai daerah di Indonesia.
Kelindan antara permainan alat musik dari musisi-musisi Eta Margondang serta keterampilan Bottlesmoker dalam meramu suara arkais menggunakan perangkat mutakhir, menciptakan kemerduan dan materialitas tertentu, yang ketika mendengarkannya, mampu menggerakkan tubuh untuk terlarut dalam iramanya.
Di antara musisi yang hadir, Brevin Tarigan, seniman asal tanah Karo yang terdedah di jagat musik tradisi sebagai komposer sekaligus katalis dalam grup musik bentukannya, Eta Margondang, serta Martogi Sitohang, pemusik etnik Batak dengan spesialisasi seruling sang guru yang namanya melambung selepas konser melibatkan ribuan pelajar di Humbahas, juga berkisah tentang ritual dan adat istiadat Batak di sela-sela memainkan seruling.
Ritual Erpangir Ku Lau
Alunan musik pengiring ritual adat Suku Batak menjadi salah satu sumber inspirasi musisi Eta Margondang dalam penciptaan karya. Di antaranya, erpangir ku lau, ritual membasuh raga di sungai Karo yang terpetakan di pentas Jamuan Kultura.
“Erpangir ku lau dilaksanakan di lokasi pemandian air panas Lau Sidebuk-debuk”, tukas Brevin, “lokasi ini diyakini masyarakat Karo sebagai tempat yang sakral”. Lau Sidebuk-debuk adalah destinasi wisata populer, satu dari tiga jalur pendakian ke Gunung Sibayak.
Dalam pelaksanaan ritual ini, musik dibawakan dengan tempo yang semakin cepat oleh para musisi, seiring gerak tubuh gurusibaso (berperan menyampaikan permohonan kepada debata) yang tariannya tereskalasi ketika menyambut kedatangan debata.
Tradisi Karo mengenal berbagai jenis ritual erpangir ku lau sesuai hajat komunitas maupun perorangan. Di antaranya, bertujuan untuk membuang sial, menyembuhkan penyakit, mengusir gangguan makhluk halus, menabalkan seseorang menjadi guru atau dukun, mengurasi permintaan begu singararak-ngarak, persentabin pranikah agar prosesi berjalan lancar, serta rutin selengguri atau ritual berkeramas di sungai disebabkan memiliki ilmu jinujung (begu jabu atau arwah leluhur) sebagai salah satu kekuatan dalam diri seseorang.
Asal Muasal Perkatimbung Beru Tarigan
Dalam Jamuan Kultura, Eta Margondang juga memperkenalkan lagu bertajuk "Perkatimbung Beru Tarigan", di mana kulcapi, instrumen petik dawai khas Batak Karo menjadi yang utama namun tak berdiri sendiri.
Iringan tiga alat musik lainnya, akordeon, keyboard, dan perkusi ikut memberi sentuhan kontemporer. Keteng-keteng bambu sebagai pembawa ritme serta mangkuk metronom, turut dihadirkan.
Lagu diulang, lirik berisi permohonan rezeki, kesehatan, dan rupa-rupa hajat dtutup dengan kumandang lagu "Oda-oda", yang berarti “Ayo menari” hingga patam-patam (sampai akhir atau penghujung acara).
Alam pikir kosmosentris masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dilatari oleh pemahaman bahwa manusia memiliki struktur dan tatanan yang sama dengan jagat raya. Kerangka berpikir filsafati ini meletakkan alam sebagai objek utama yang penjagaannya bersifat mandatori.
Pada masyarakat Karo, corak kosmosentris mewujud ke dalam sebuah tembang bertajuk “Perkatimbung Beru Tarigan”, diangkat dari cerita rakyat dengan tokoh utamanya, Beru Tarigan.
Dikisahkan, dua kerajaan terlibat konflik sengit dan hendak menghancurkan satu sama lain. Pertempuran itu berlangsung berhari-hari. Para simbisa dan pandikkar yang memperjuangkan kehormatan raja bersiap diri meski gentar.
Pertempuran itu, pada akhirnya, dimenangkan oleh Kenjulu, Kerajaan Kenjahe kalah telak. Beru Tarigan, putri Raja Kenjahe yang cerdas dan rupawan, ditangkap sebagai tawanan perang sebagai tanda kemenangan.
Raja Kenjulu sangat gembira mengetahui kemenangan pasukannya. Kegembiraannya semakin memuncak ketika mengetahui pasukannya menculik putri Raja Kenjahe. Pasukan datang dengan gagah berani, meski tubuh mereka bergelimang luka dan darah.
Rakyat bersorak, petugas istana menabuh genderang, mereka bersuka cita. Beru Tarigan ditahan, sementara seluruh kota merayakannya dengan kenduri. Namun kesenangan, seperti halnya duka, pada akhirnya akan berakhir, orang-orang kembali ke rutinitas.
Raja kemudian teringat pada Beru Tarigan dan memerintah empat tentara untuk menjemputnya di tahanan. Saat menyadari dirinya akan dijadikan persembahan, sang putri segera melumuri tubuh dan wajahnya dengan tanah liat agar raja murka.
Beru Tarigan digiring ke sungai oleh pengawal. Mereka menunggu sementara ia membersihkan diri. Sang putri mandi dengan penuh semangat. Kaki dan tangannya menyentuh air, menghasilkan suara gemericik laksana petikan alat musik dawai.
Tatkala angin berhembus lembut, para penjaga mengantuk dan tertidur satu per satu. Masih terdengar pula irama permainan Beru Tarigan, bahkan semakin lembut lantaran ia mengecoh para pengawal dengan berenang menjauh untuk melarikan diri. Cerita rakyat Beru Tarigan itulah yang menjadi asal muasal lagu Perkatimbung Beru Tarigan yang kerap dibawakan dengan instrumen kulcapi.
Sumatera Utara, sebagai lumbung seni yang menyimpan kekayaan tradisi nenek moyang etnis Batak, mengilhami sejumlah musisi antar-puak untuk menyegarkan ingatan kolektif masyarakat tentang kekerabatan dalihan na tolu. Mereka menjalin ikatan dalam grup musik bernama Eta Margondang sejak tahun 2021 dan berkolaborasi dalam karya.
Bersatunya sub-etnis Karo, Toba, Simalungun, dan Pak-pak berarti mengawinkan pula keragaman tradisi dan alat-alat musiknya, yang meski terkesan serupa, namun tonalitasnya tetap berbeda. Alat musik pukul, petik, dan gesek Suku Batak memiliki tangga nada yang berbeda atau politonal.
Konsep musik Eta Margondang diangkat dari tradisi Batak namun dikemas sedemikian rupa sehingga musiknya tetap relevan untuk dinikmati hingga saat ini.
Gagasan besarnya, memperkenalkan masyarakat luas pada budaya di sekitar wilayah Danau Toba. Salah satunya, musik sebagai sebuah entitas pertunjukan yang dipertontonkan ke hadapan wisatawan.
Eta Margondang menjadi potret kebersamaan dan ikatan kekerabatan dalihan na tolu yang dialihwahanakan ke dalam komposisi musik tradisional Batak dengan ciri kekaryaan yang bersifat universal. Seperti yang diungkap Panca, eksplorasi musik Karo yang menjadi muatan Jamuan Kultura tidak terlepas dari tujuan regenerasi budaya agar keberlanjutannya tetap terjaga, ungkap pria yang sudah mengakrabi ragam budaya Nusantara sejak tahun 2009 itu.