Masyarakat Jawa memiliki segudang tradisi, adat istiadat, kebudayaan yang mengakar kuat dalam beragam jenis dan bentuk. Salah satunya, penggunaan blangkon. Blangkon merupakan penutup kepala yang terbuat dari kain batik dan digunakan oleh kaum pria Jawa sebagai identitas martabat maupun kedudukan sosial bagi pemiliknya.

Sebagian besar masyarakat Jawa menjadikan blangkon sebagai ciri khas yang konon dulunya dijadikan pembeda antara kaum ningrat keraton dengan masyarakat jelata yang hanya memakai iket sebagai penutup kepala.

Masyarakat Jawa menganggap bahwa kepala pria mempunyai arti penting, sehingga masyarakat Jawa Kuno menggunakan penutup kepala sebagai suatu keharusan dan wajib dikenakan setiap hari.

Sebelum dinamai blangkon, dahulu orang-orang Jawa Kuno menyebutnya iket. Iket merupakan wujud dan mempunyai kegunaan yang sama dengan blangkon. Akan tetapi, masih berwujud kain motif batik tertentu tergantung di daerah mana blangkon tersebut digunakan.

Cara menggunakan blangkon kuno biasanya dililitkan ke bagian kepala kemudian dibentuk sedemikian rupa. Di balik bentuk blangkon yang sederhana, ada makna mendalam yaitu pengharapan tentang nilai-nilai hidup.

Makna keindahan dari blangkon dapat dilihat dari motif dan bentuk blangkon, sedangkan etika juga dapat dilihat dari keseharian masyarakat etnis Jawa.

Pada zaman dahulu, pembuatan blangkon tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hal ini dikarenakan adanya penetapan pakem atau aturan sendiri dalam pembuatan blangkon. Jadi, hanya beberapa orang yang dipercaya untuk membuat blangkon.

Di era modernisasi saat ini, budaya, adat istiadat, dan berbagai bentuk ideologi terserap ke tanah Jawa, sehingga memberikan dampak terhadap kebiasaan, pola pikir, dan lain sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa terjadinya pergeseran budaya, blangkon menjadi salah satu yang terkena dampak. Awalnya, blangkon menjadi benda kebanggaan kaum pria Jawa, namun kini tergeser oleh produk-produk Barat.

Blangkon dan pakaian adat Jawa kini hanya dikenakan ketika menghadiri acara-acara formal seperti pernikahan dan upacara adat Jawa. Jarang digunakan sebagai penutup kepala untuk kegiatan sehari-hari oleh kaum pria Jawa.

Sebutan blangkon berasal dari kata blangko, yang memiliki arti mencetak kosong, blangko merupakan bahasa Belanda blanco, istilah yang digunakan masyarakat Jawa untuk menyebut sesuatu yang siap pakai. Ukuran blangkon kurang lebih 105 cm x 105 cm pada cetakan ukuran kepala.

Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang telinga kanan dan kiri melalui dahi dan bagian atas kepala. Umumnya, ukuran blangkon bernomor 48 dan paling besar bernomor 59.

Salah satu pendapat ahli kebudayaan bernama Becker mengungkapkan, “That an object useful, that it required virtuoso skill to make neither of these precludes it from also thought beautiful. Some craft generate from within their own tradition a feeling for beauty and common of taste”.

Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem juga tegantung sejauh mana seseorang mengerti akan standar ketentuan-ketentuan yang sudah dijadikan standar sosial. Pakem yang berlaku untuk blangkon ternyata bukan hanya dipatuhi oleh pembuatnya, melainkan pada pengguna blangkon itu sendiri.

Saat agama Islam memasuki tanah Jawa, blangkon dikaitkan dengan nilai transendental. Di Bagian belakang blangkon terdapat dua ujung kain yang terikat, satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lainnya adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu yang bermakna menjadi syahadatain. Ini merupakan gagasan bahwa syahadat harus ditempatkan paling atas bahwa pemikiran-pemikiran dari kepala harus dilingkupi oleh syariat-syariat Islam.

Ada dua tipe blangkon yang dikenal secara umum. Pertama, menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan, blangkon ini merupakan salah satu gaya dari Yogyakarta.

Mondholan menandakan model rambut pria pada masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon tersebut harus kencang supaya tidak mudah lepas dan kencang.

Kedua, model trepes yang merupakan gaya Surakarta. Blangkon gaya trepes merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena mayoritas pria kini berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon.

Selain dari dua daerah tersebut, ada bentuk blangkon dari daerah lain yaitu:

Blangkon Yogyakarta

1. Blangkon Kedu atau Yogyakartaan

2. Blangkon Senopaten

Blangkon Jawa Tengah

1. Blangkon Perbawan Surakartaan

2. Blangkon Banyumasan

Blangkon Jawa Timur

1. Blangkon Warok Panoragan

2. Blangkon Jathil Panoragan

3. Blangkon Gemblak Panoragan

4. Blangkon Jawa Timuran (Bentuk dasar dari Blangkon Gamblak digunakan di Surabaya, Malang, Lumajang, dan Madura)

5. Blangkon Brongkos Wagon Tuban

6. Blangkon Ublank Jember

7. Blangkon Isyana Pasuruan

8. Blangkon Odheng Okra Probolinggo

9. Blangkon Odheng Situbondo

10. Blangkon Ki Togo Bondowoso

11. Blangkon Banyuwangian

12. Blangkon Odheng Madura

13. Blangkon Tongkosan Madura

14. Blangkon Togo Madura

Blangkon Jawa Barat

1. Blangkon Makuta Wangsa Pasundan

2. Blangkon Keraton Cirebonan

Blangkon Jakarta

1. Blangkon Abang Jakarta

Blangkon Banten

1. Blangkon Makuta Wangsa Baduy

Blangkon Bali

1. Blangkon Udeng Bali

Blangkon Nusas Tenggara Barat

1. Blangkon Sapuk Sasak (Bentuk dasar dari Udeng Bali)

Blangkon Kalimantan Selatan

1. Blangkon Laung Tukup Banjar

Blangkon Kalimantan Tengah

1. Blangkon Lawung Dayak

Peralatan dalam pembuatan blangkon antara lain yaitu kelebut, papan, gunting, jepitan, pemuluk, jarum, congkeng, capi, dan solet. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kain batik, kertas karton atau kardus, dan benang.

Proses pembuatan blangkon jika dijelaskan secara ringkas adalah sebagai berikut:

Pertama, memotong kain kodian sesuai ukuran, selanjutnya memotong kardus ataupun karton sebagai lingkar kepala, dilanjutkan menjahit dasaran congkeng, lalu mengelem pada blangkon, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering melepas cetakan kemudian dijahit menggunakan tangan, lalu siap dikenanakan.

Blangkon sebagai komoditas budaya menjadi representasi atau citra diri yang rapi, sopan, dan berseni. Penggunaan blangkon oleh masyarakat Jawa menjadi sebuah perlambang atau bentuk kesadaran bahwa diri sendiri sebagai hamba Tuhan dan khilafah di bumi, serta pengendalian diri yang berbasis atas hubungan manusia dengan Tuhan. Blangkon menjadi bagian dari realitas dan identitas kaum pria etnis Jawa yang berwibawa.

Penyunting: Nadya Gadzali