Etnis.id - "Singgahlah di Desa Sedaeng jika ingin mencerap makna kematian." Barangkali itulah sepenggal narasi yang dapat menggambarkan magisnya ritual adat Suku Tengger di Sedaeng.

Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Pasuruan, Jawa Timur, Sedaeng menjelma surga bagi para penghayat kebudayaan. Tabiat sinkretik Hindu-Jawa yang mengilhami laku spiritual masyarakatnya, membuat desa ini terus bergeliat di antara ingar bingar jagat pariwisata.

Makna kematian bagi Suku Tengger berkorelasi erat dengan filosofi Jawa: Sedulur Papat Kalima Pancer, suatu oposisi biner yang meliputi seluruh entitas dalam konstelasi jagat ageng atau makrokosmos—yang meski berada dalam posisi berlawanan, tetap saling melengkapi (complexio oppositorum).

Konsepsi ini menaruh manusia di posisi pancer jagat alit atau yang disebut dengan mikrokosmos. Dalam tradisi kejawen, Sedulur Papat Kalima Pancer juga sering dikaitkan dengan perwujudan sedulur gaib yang menyertai kelahiran manusia, yaitu kakang kawah (air ketuban); adi ari-ari (plasenta); getih (darah); dan puser (tali pusat).

Sebagaimana kelahiran, kematian sejatinya merupakan sebuah babak baru. Suku Tengger di Desa Sedaeng melibatkan empat unsur penyusun hidup manusia dalam upacara kematian. Tanah sebagai media untuk mengubur jenazah; air untuk menyucikan raga; kayu pasak untuk menandai pusara; serta elemen api yang digunakan pada upacara kremasi.

Elemen itulah yang kemudian menopang berdirinya bangunan praktik budaya lokal yang dikenal sebagai upacara adat Entas-entas: Tradisi menyempurnakan Sang Atma (arwah) dari belenggu keduniawian, agar dapat menapaki jalan terang menuju swargaloka atau nirwana dalam keadaan moksa.

Suasana Entas-entas pada hari pertama di balai desa
Suasana Entas-entas pada hari pertama di balai desa/Bonfilio Yosafat

Kematian tanpa upacara Entas-entas, bagi Suku Tengger adalah sebuah proses yang tak tuntas. Sebab di dalam alam pikirnya, sudah tertanam pemahaman ‘dunia antara’—yang meski tak terjangkau oleh nalar manusia, wilayah ini diyakini sebagai ruang tunggu bagi arwah-arwah yang belum diswargakan.

Barangkali, bisa disamakan dengan eksistensi purgatorium dalam tradisi Anglo-Katholik atau konsep Gehenna dalam teologi Yudaisme. Entas-entas diselenggarakan di waktu-waktu yang tak bisa diprediksi. Pelaksanaannya bergantung pada tanggal yang ditentukan oleh dukun adat setempat, dipadukan dengan makna yang terkandung dalam pasaran Jawa.

Selain merupakan upacara tertinggi dalam tingkatan penghormatan terhadap leluhur, Entas-entas juga diyakini sebagai mekanisme preventif agar kehidupan manusia terhindar dari malapetaka. Maka tak heran, jika ritus ini lebih menyerupai kenduri ketimbang menggambarkan suasana dukacita.

Tepat setelah matahari terbenam, Entas-entas dimulai dengan menggelar prosesi Rakan Tawang. Sebuah laku yang menandai sakralnya hubungan antara manusia–leluhur–Sang Pencipta, lewat perantara kemenyan dan rapalan mantra.

Saat mantra dirapalkan oleh dukun adat dalam Rakan Tawang
Saat mantra dirapalkan oleh dukun adat dalam Rakan Tawang/Bonfilio Yosafat

Meski diselenggarakan di aula balai desa, sejumlah orang terlihat membalut tubuhnya dengan kain penghangat sejenis sarung. Sebab jam segitu, suhu udara di lereng Gunung Bromo berhembus pada kisaran 7 hingga 10 derajat celcius.

Selepas Rakan Tawang, keluarga dan kerabat mendiang kemudian memberkati kulak secara bergantian. Kulak adalah sejenis bambu yang dijadikan wadah untuk menampung benda-benda persembahan bagi leluhur. Pada ritual ini, tergambar dengan jelas bahwa kematian tidak lantas membuat arwah kehilangan perlakuan istimewa.

Berbeda dari gelaran hari pertama. Pada rangkaian Entas-entas hari kedua, sejumlah properti ritus diarahkan ke sebuah ruang terbuka. Diiringi tabuhan alat musik tradisional yang membahana di sepanjang jalan menuju arena penyembelihan hewan.

Bersanding dengan areal perkebunan warga, Mbeduduk Ing Sanggar Padudukan atau ritual penyembelihan hewan ini, terlihat kontradiktif dengan lanskap Tengger yang bersahaja. Jika dicermati lebih jauh, momen ini agaknya cukup padu untuk memantik sebuah dialektika tentang warisan budaya leluhur yang semestinya memang kekal di tangan para pelestari.

Tak peduli seberapa derasnya arus modernisasi, setiap ritual adat yang dilestarikan sejatinya sudah menjadi swargaloka tersendiri bagi khazanah kebudayaan di Nusantara.

Pada ritual penyembelihan hewan, seorang pandita dan beberapa dukun adat kembali menopang ritual dengan magisnya mantra. “Setiap hewan yang disembelih dianggap suci,” ujar seorang warga yang hadir.

Kesadaran kolektif ini lazim ditemui di kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekuatan transenden. Sebab suatu pengorbanan, meski diwarnai pertumpahan darah, tak selamanya berkonotasi negatif. Justru sebaliknya, kesakralan ritual ini dianggap dapat memberikan berkah bagi kehidupan, terutama bagi kesuburan tanah yang berujung pada hasil panen yang berlimpah.

Tak terasa, hari menua. Udara dingin menyergap dan balai desa kembali dipenuhi kerumunan warga. Sedaeng mulai diselimuti kabut ketika prosesi Entas-entas sampai pada ritual Nyolong Iwa. Prosesi penyerahan sesaji kepada istri salah seorang pemangku adat, berupa potongan daging hewan yang disembelih pada saat Mbeduduk Ing Sanggar Padudukan.

Disusul dengan Ngaturi Sitiderma, sesuai penamaannya, ritual ini merupakan gambaran rasa syukur atas segala sesuatu yang diperoleh dari kehidupan. Baik berkah panen, peternakan, maupun hasil usaha (perdagangan atau sebagai tenaga kerja).

Ngaturi Sitiderma/Bonfilio Yosafat
Ngaturi Sitiderma/Bonfilio Yosafat

Bersama dengan itu, simbol Ibu Pertiwi pun menjelma pada sosok istri pemangku adat. Ia kemudian mengolah daging hewan yang diserahkan oleh keluarga mendiang, untuk dijadikan sesaji bagi leluhur sekaligus panganan untuk seluruh warga.

Tahapan ritual ini mewakili keluhuran budaya Jawa, serta menunjukkan betapa pentingnya naluri dan peran perempuan dalam memelihara dan merawat kehidupan lewat keterampilan mengolah aneka santapan.

Tepat pukul dua siang keesokan harinya, warga Sedaeng bersiap menapaki ritual pamungkas. Layaknya upacara adat Ngaben, upacara kematian bagi Suku Tengger juga tidak terlepas dari tradisi pemurnian jiwa, lewat ritual kremasi.

Kremasi dalam ritus Entas-entas/etnis.id/budaya/Bonfilio Yosafat
Kremasi dalam ritus Entas-entas/Bonfilio Yosafat

Sebagaimana penelusuran Robert W. Hefner dalam karya tulisnya, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, bahwa Suku Tengger dan umat Hindu di Pulau Bali ditengarai memang berbagi akar budaya yang sama.

Diperkuat oleh cerita tutur yang berkembang di masyarakat tentang invasi kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah pada abad ke-16. Akibat pergolakan politik yang terjadi, sebagian warga Majapahit terbagi menjadi dua arus migrasi. Sebagian melarikan diri ke Pulau Bali, sebagian lainnya bersembunyi di kawasan pegunungan di Jawa Timur—yang ditengarai sebagai Gunung Bromo.

Seorang warga Tengger memainkan tibung slompret
Seorang warga Tengger memainkan tibung slompret/Bonfilio Yosafat

Sebelum dilaksanakan ritual kremasi, beberapa perwakilan keluarga mendiang tampak bergegas memikul altar berisi boneka petra. Gaduh suasana balai desa pun perlahan-lahan digantikan oleh alunan tibung slompret dan permainan alat musik dari sekelompok orkestra—bersamaan dengan bergeraknya arak-arakan peziarah ke lokasi kremasi yang bertempat di punden luhur.

Di situlah letak perbedaan yang cukup signifikan dengan upacara adat Ngaben. Tanpa mengurangi kesakralan makna dan filosofi Entas-entas, boneka petra dihadirkan sebagai simbol untuk mengenang mendiang semasa hidup. Sementara jasad atau tulang belulangnya tetap dibiarkan bersemayam di pekuburan.

Bagian dari ritus Entas-entas yakni Andeg-andeg Batur Ngiseni Kulak
Bagian dari ritus Entas-entas yakni Andeg-andeg Batur Ngiseni Kulak/Bonfilio Yosafat

Meski lebih menyerupai sebuah perayaan, sepertinya bukan semata takhayul jika masyarakat Tengger menganggap Entas-entas sebagai medium pembebasan jiwa paling tinggi. Sebab beberapa hal memang menjadi lebih masuk akal, ketika berhenti dipertanyakan di ruang nalar.

Seperti Suku Tengger yang memercayai adanya swargaloka sebagaimana yang diyakini para pendahulunya atau sesederhana menganggap tema kematian sebagai sesuatu yang rileks untuk diperbincangkan sembari menyeruput seduhan kopi.

Catatan: Artikel hasil kolaborasi penulis dengan seorang fotografer asal Yogyakarta, Bonfilio Yosafat. Perjalanan ke Desa Sedaeng dilakukan secara bersama-sama pada bulan Agustus 2019.

Editor: Almaliki