Kabut tipis masih menggelayut di atas Desa Nglurah yang berada di lereng Gunung Lawu. Suasana damai itu tiba-tiba pecah ketika beberapa orang pria dewasa saling menantang satu sama lain sambil membawa beberapa benda yang telah siap untuk dilempar.
Perseteruan orang-orang ini menarik minat puluhan warga untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa warga yang menonton bukannya melerai malah membakar emosi mereka yang saling menantang. Beberapa saat kemudian, orang-orang yang saling bersitegang tadi terlibat tawuran. Warga yang menonton pun menyambutnya dengan gembira.
Tawuran ini, meski terlihat sungguhan, tapi sebenarnya merupakan bagian dari sebuah tradisi yang rutin yang digelar oleh masyarakat Nglurah, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Dilaksanakan setiap hari Selasa kliwon yang jatuh pada wuku dukut dalam sistem penanggalan Jawa.
Menurut keyakinan warga, tradisi dukutan sendiri digunakan oleh masyarakat untuk memperingati hari lahir dari sosok yang bernama Eyang Menggung. Kisah tentang Eyang Menggung memiliki sejumlah versi, salah satu versi menyebutkan bahwa sosok ini diyakini sebagai salah satu pengikut setia dari Prabu Airlangga.
Menurut keyakinan warga, Eyang Menggung memiliki nama lain yakni Narotama. Selain sebagai pengikut setia, ada pula yang meyakini bahwa sosok ini adalah penasehat dari Prabu Airlangga. Pelaksanaan tradisi dukutan ini dilakukan di pelataran situs menggung yang berada di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Meski acara dilangsungkan pada Selasa kliwon, tapi sebenarnya acara sudah dimulai sejak sehari sebelumnya. Di hari Senin sore sudah dilakukan pasrah sesaji, yakni menyimpan atau menyanggarkan sesaji yang akan dipakai dalam acara dukutan di sebuah bale yang berada tidak begitu jauh dari situs menggung.
Saat disanggarkan ini, sesaji dan uba rampe disimpan dengan cara dipisahkan menjadi dua bagian, yakni sesaji utama dan sesaji pendamping. Antara sesaji dan uba rampe utama dengan yang pendamping memang tidak terlalu banyak perbedaan. Hal yang membedakan hanyalah cara penyimpanannya saja. Untuk sesaji dan uba rampe utama, disimpan di sebuah ruang khusus yang dinamakan tinon. Ruangan yang dinamakan tinon pun terbagi menjadi dua yakni tinon jaler dan tinon estri.
Sedangkan untuk sesaji dan uba rampe pendamping diletakkan di luar dari tinon. Sesaji dan uba rampe dalam tinon tidak boleh ada yang mengambil atau mendekatinya sampai acara dukutan dimulai. Jika larangan ini dilanggar, dikhawatirkan akan terjadi ada sesuatu yang hal yang tidak diinginkan.
Guna memastikan tidak ada yang melanggar peraturan, seluruh sesaji dan uba rampe, baik yang utama maupun pendamping harus sudah dikumpulkan oleh warga pada hari Senin sore sebelum waktu magrib. Setelah terkumpul, beberapa orang akan ngeleki semua sesaji tersebut di malam hari.
Jenis sesaji dan uba rampe yang digunakan dalam tradisi dukutan, antara lain tumpeng jagung, gandik, pisang, berbagai pala pendhem (umbi-umbian), jajanan pasar, pisang rebus, tempe bakar dan sayuran jantung pisang. Semua sesaji dan uba rampe setelah diujubkan, akan digunakan untuk ‘tawuran’oleh sejumlah pemuda yang terpilih.
Tumpeng jagung adalah sebuah tumpeng yang terbuat dari nasi jagung. Sedangkan gandik adalah sebuah jajanan tradisional berbahan dasar jagung. Tempe bakar yang digunakan dalam tradisi dukutan merupakan pengganti dari ayam ingkung. Penggunaan tempe bakar sebagai pengganti ayam ini dilakukan lantaran dalam tradisi dukutan, tidak satupun boleh diambil dari sesuatu yang bernyawa. Aturan lain dalam tradisi ini adalah larangan bagi pembuat sesaji. Orang-orang yang membuat sesaji dalam tradisi dukutan, tidak diperbolehkan mencicipi masakan buatannya sendiri.
“Dalam sesaji dan uba rampe yang digunakan memang tidak diperkenankan menggunakan beras dan sesuatu yang memiliki nyawa, seperti ayam contohnya. Di sisi lain saat memasak sesaji dan uba rampe tersebut, pembuatnya tidak diperkenankan untuk mencicipinya. Pembuatan sesaji ini juga melalui proses panjang. Proses pembuatan sudah dimulai semenjak hari Jumat dan harus selesai pada Senin siang,” ujar mbah Ridin, salah satu tetua desa setempat.
Prosesi Tawuran
Bagian yang paling dinanti dalam tradisi ini adalah saat-saat tawuran. Sesi tawuran ini terjadi ketika sesaji sudah selesai diujubkan (didoakan) oleh seorang tetua desa di area situs menggung. Tidak semua orang bisa ikut dalam sesi ini. Hanya orang-orang terpilih yang boleh mengikuti ‘tawuran’ ini. Dan pemilihan siapa yang berhak ikut serta ditentukan oleh keputusan warga.
Pelaksanaan ‘tawuran’ ini dibagi ke dalam dua tempat, yakni pelataran situs menggung dan sebuah punden desa lainnya yang dinamakan kali njero. Sedangkan ‘tawuran’ yang dilaksanakan di sekitaran situs menggung terbilang lebih tertata.
Sebelum ‘tawuran’ digelar secara terbuka, para pemuda terlebih dahulu melemparkan sesaji kepada warga yang hadir sembari memutari situs menggung. Selepas mengitari situ, barulah ‘tawuran’ dilaksanakan secara terbuka.
Setelah dirasa cukup, arena ‘tawuran’ dipindahkan ke sebuah tempat yang dinamakan punden kali jero. Sebelum ‘tawuran’ dibuka oleh tetua desa, sesaji diujubkan kembali untuk digunakan sebagai senjata dalam ‘tawuran’.
Tumpeng nasi jagung yang telah diremas dan dicampur dengan uba rampe lain kemudian berubah menjadi senjata. Gandik yang telah sedikit mengeras, menjadi ‘senjata’ yang paling disukai sebab gampang untuk melemparnya.
Uniknya, ‘tawuran’ ini justru dinikmati oleh warga. Jika ada yang terkena lemparan dan mengenai warga yang tengah menyaksikan 'tawuran', mereka tidak akan marah. Justru menganggap lemparan sesaji itu akan mendatangkan keberkahan bagi dirinya.
Setelah semua senjata dan uba rampe digunakan untuk tawuran, acara dukutan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh para tetua desa. Doa penutup dilakukan di bale yang semula digunakan untuk menyimpan sesaji dan uba rampe. Dalam upacara dukutan, ‘tawuran’ dilakukan sebatas bagian dari tradisi saja, sehingga peserta tidak diperkenankan untuk membawanya ke ranah yang lebih pribadi. Dengan demikian, saat acara berakhir, maka semua dianggap selesai. Mereka yang terlibat dalam ‘tawuran’ tidak diperkenankan untuk menyimpan dendam.
Pada malam harinya, digelar sebuah pagelaran wayang kulit. Uniknya, warga tidak mengetahui siapa yang mendalangi dan lakon apa yang akan dimainkan. Hal ini sengaja dilakukan untuk memancing rasa ingin tahu warga terhadap pagelaran wayang yang akan digelar.
“Semua yang dilakukan dalam acara dukutan hanya sebatas acara adat dan tradisi saja. Tidak ada unsur agama yang dibawa. Tradisi dukutan dilaksanakan untuk melestarikan warisan leluhur. Di dalam acara ini, terdapat sebuah pesan bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dibawa ke ranah pribadi, sekaligus pentingnya saling memaafkan kepada sesama,” pungkas mbah Ridin.
Penyunting: Nadya Gadzali