Etnis.id - Mengulas budaya dengan segenap dimensinya memang menarik. Tak ada habis-habisnya. Banyak topik yang diulas. Wajar saja, karena budaya bertautan erat dengan kehidupan manusia.
Ketika berbicara manusia, turut serta pula perbincangan budaya. Dalam budaya, biasanya ulasan yang amat fenomenal, yakni soal tarian dan tradisi-tradisi yang erat dengan upacara ritual. Kedua ulasan tersebut, umumnya identik dengan kesejarahan.
Selain itu, ada juga yang memuat nilai-nilai edukatif. Seperti pembinaan anak agar tertata perilaku kesehariannya. Sebut saja, Pesondo. Tradisi ini berlaku pada masyarakat Kulisusu, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Dalam ritusnya, tersirat makna yang cukup edukatif yakni pemberian wejangan dan petuah-petuah bagi anak, agar tumbuh menjadi orang baik dan bermanfaat kelak.
Uniknya, tradisi ini hanya berlaku sekali seumur hidup pada satu keluarga. Khusus bagi anak sulung. Mengapa harus anak sulung? Sejauh ini, belum ada alasan pasti di balik spesifiknya tradisi ini.
Jelasnya, beberapa orang tua meyakini bahwa anak sulung sejak kelahirannya penuh dengan nilai spritualistik. Umumnya, dipercaya akan membawa energi bawaan yang berpengaruh kuat, baik pada dirinya maupun keluarganya. Barangkali, keyakinan itulah yang dijadikan dasar di balik ritual Pesondo. Terlebih, bila anak tersebut dinilai banyak melenceng dari kebaikan.
Tradisi ini sebenarnya dulu hanya dilakukan oleh masyarakat turunan bangsawan (Ode). Seiring perkembangan zaman, kini Pesondo bisa dilakukan oleh semua lapisan, tak ada lagi perbedaan strata sosial dalam tradisi.
Kendati demikian, tidak semua orang yang dipercayakan untuk memimpin Pesondo dan memberikan wejangan buat anak pada tradisi ini. Hanya dipercayakan pada wolia, yakni dukun beranak yang berperan dalam membantu prosesi kelahiran anak tersebut.
Wolia diyakini punya ikatan batin dengan anak yang dilahirkan. Sebab, ialah yang dianggap berhubungan dengan hidupnya jiwa si anak. Tentulah, dalam hubungan ini, maka segala bawaan negatif bagi si anak kelak bisa diupayakan hilang. Pesondo jadi mediator untuk menghilangkan bawaan tersebut.
Pesondo dijalani bila anak tersebut dinilai penuh bawaan negatif. Misal, terlihat bandel dalam keseharian. Bisa pula karena anak sering buang air sembarang tempat. Atau karena anak sering sakit-sakitan. Banyak hal yang menjadi alasan dilakukannya Pesondo.
Masyarakat meyakini bahwa bawaan negatif si anak diakibatkan oleh gangguan gaib. Misalkan oleh jin atau juga ada yang meyakini disebabkan oleh gangguan roh para leluhur, yang disebut kankerehako.
Kala anak tersebut terlihat bandel atau bertindak aneh-aneh, biasanya orang tuanya berkata, "mente yo kankerehakono apu-apuhako ai." Artinya, mungkin disebabkan gangguan dari roh para leluhur.
Prosesi pelaksanaan
Sebelum dilakukan, biasanya keluarga rembuk dulu. Mereka membicarakan seluruh kesiapan pelaksaan tradisi. Ketika dirasa sudah siap, barulah ditemui tokoh-tokoh kampung terkait untuk pelaksanaan prosesi.
Dalam penentuan prosesi, dibagi atas tiga hal. Pertama, biasanya Pesondo dilaksanakan pada pagi hari yakni antara pukul 07.00- 09.00 WITA. Anak dimandikan hingga bersih. Hal ini bermakna sebagai tanda kemauan yang suci dan bersih.
Barulah sekitar pukul 08.00 hingga 09.00 WITA, seluruh kebutuhan tradisi disiapkan. Lalu antara pukul 09.00-11.00 WITA, tradisi Pesondo dilaksanakan. Dimulai pembacaan doa oleh tetua kampung.
Kedua, biasanya dalam tradisi masyarakat Buton secara umum, ditentukan berdasarkan penanggalan. Ada hari baik dan hari buruk. Berlaku juga pada tradisi ini. Harus disesuaikan pada hari baik yang disepakati oleh orang tua dan sanak keluarga. Ketiga, selain hitungan penanggalan, juga dipertimbangkan dengan kemampuan keluarga yang hendak melakukan acara tradisi.
Dalam prosesi, dibacakan juga mantra-mantra, oleh masyarakat Kulisusu disebut bhatata. Namun sebelumnya, Wolia terlebih dahulu menyampaikan tujuan dari tradisi yang dimaksud.
Usai itu, barulah bhatata dibacakan. Pembacaan bhatata dimaksudkan agar anak menjadi saleh dan berbakti baik pada orang tua, agama,maupun pada bangsa. Juga diharapkan anak tersebut menjadi pemimpin, berbudi luhur, berwibawa dan peduli kemanusiaan.
Anak yang menjalani Pesondo diangkat oleh wolia. Bisa juga dengan cara ditaruh lalu diputar di atas tala, sejenis loyang berbentuk datar. Anak diangkat atau diputar dengan hitungan delapan kali. Kenapa delapan? Ini sudah petunjuk leluhur.
Angka delapan diyakini sebagai angka kemudahan dan keselamatan dari hal-hal buruk. Pada akhir Pesondo, juga dibacakan doa yang dipimpin langsung wolia. Di antara doa yang dibacakan ada pembacaan salawat nabi dan Alfatihah.
Sebagai bagian dari tradisi, tentu saja Pesondo juga berbenturan dengan perubahan-perubahan sosio-kultural. Rentan untuk tidak terjaga lagi kelestariannya. Sebagian masyarakat Kulisusu sudah tidak lagi melaksanakan tradisi ini. Padahal banyak muatan edukatif yang terserap di dalamnya.
Saya pikir, ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan Membangkitkan literasi kebudayaan, kiranya menjadi salah satu kiat melestarikan budaya. Setidaknya, dengan menuliskan kembali tradisi-tradisi. Itu sudah cukup mengingatkan betapa kita tumbuh kembang dalam bangsa yang kaya akan khazanah budaya.
Editor: Almaliki